Bank Indonesia bersih-bersih. Seiring dengan makin panasnya skandal Bank Bali, bank sentral kini memainkan jurus sapu bersih untuk menghalau para bankir yang reputasinya kurang sedap. Mereka yang punya cacat, pernah terserempet dosa bisnis perbankan, entah itu kongkalikong dengan nasabah, menggelar praktek bank dalam bank, mengobral kredit untuk kelompok tertentu, atau membedaki laporan keuangan, dipastikan sudah harus lengser dan enyah dari dunia perbankan, per 1 September 1999. Mereka dikandangkan dalam kelompok yang kesandung ujian fit and proper, uji kepantasan dan kelayakan.
Kendati diramaikan dengan ribut-ribut Bank Bali, saringan fit and proper ini sebenarnya tak ada hubungannya dengan skandal politik uang itu. Saringan ini merupakan salah satu persyaratan jika bank masih mau hidup. Semula, uji fit and proper cuma diterapkan untuk bank-bank yang minta tambahan modal pemerintah dalam program injeksi modal massal (rekapitalisasi) perbankan. Tapi belakangan ujian itu juga dipakai untuk menyortir para pengurus bank yang banknya langsung melompat ke kelas A dengan biaya sendiri.
Alasannya, semua bank, tak peduli apakah ia diambil oper dan diinjeksi modal pemerintah atau hidup secara swadana, semuanya harus bersih dari orang yang dinilai tak pantas. Pemerintah khawatir, jika masih ada bankir cacat ikut mengurus bank, mereka akan menjadi virus ganas yang segera menularkan bibit penyakitnya ke bank lain yang sehat. Akibatnya, upaya untuk menyehatkan sektor finansial tak kunjung tercapai.
Sayangnya, "daftar hitam" itu tak hendak diumumkan oleh bank sentral. Mereka yang tak lulus saringan diperlakukan persis seperti bankir yang kena cekal: cukup dikirimi surat pemberitahuan. Tanpa rincian dosa-dosa, tanpa penjelasan ini dan itu, hanya dikatakan: Anda tak lolos uji fit and proper. Titik. Surat pemberitahuan singkat dan padat ini sudah mulai disebarkan sepanjang pekan lalu.
Nah, justru karena pemberitahuannya terkesan diam-diam itulah, pembicaraan tentang bankir yang tersandung uji fit and proper menjadi menarik. Siapa saja anggota daftar hitam memang tak jelas benar. Tapi, menurut sumber TEMPO, saringan fit and proper ini sangat galak. "Hampir semua bank, besar dan kecil, kelas A maupun B, pasti ada personelnya yang tak lolos," katanya.
Di antaranya adalah tiga petinggi Bank Bali. Presiden Direktur sekaligus ahli waris Bank Bali, Rudy Ramli, sudah dipastikan terjegal. Begitu pula dua orang direksi, Firman Soetjahja dan Hendri Kurniawan. Ketiga nama itu dianggap yang paling bertanggung jawab atas perjanjian pengalihan tagihan piutang interbank, cessie, antara Bank Bali dan PT Era Giat Prima (EGP). "Ni Made Kesi" yang menjerat Bank Bali dengan setoran komisi Rp 546 miliar ini akhirnya menyeret keterlibatan sederet pejabat penting.
Seberapa besar dosa Rudy Ramli? Tak ada yang tahu. Yang jelas, bankir muda yang kenyang pengalaman ini semula terkenal sebagai profesional keuangan yang hati-hati, konservatif. Menurut seorang bankir senior, Rudy mulai agak gelap mata setelah tagihan Bank Bali senilai Rp 1,2 triliun di BPPN tak kunjung cair. Rudy dikabarkan makin kelabakan setelah menyadari bahwa peranan Keluarga Ramli di Bank Bali akan makin kecil saja. Tekanan inilah yang kabarnya membuat Rudy mulai menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan. Konon, Rudy mulai melepas aset-aset Bank Bali yang lancar.
Benar atau tidak, cerita itu tak mendapatkan konfirmasi. Tapi apa pun dosanya, sanksi untuk Rudy dan kawan-kawan tergolong amat keras. Mereka seolah masuk dalam daftar "orang-orang kusta" yang harus dijauhi. Rombongan Rudy sama sekali tak boleh memasuki bisnis perbankan atau bahkan bisnis yang ada kaitannya dengan lembaga keuangan. Pemerintah juga tak mau tokoh-tokoh ini tetap ambil bagian dalam manajemen Bank Bali—secara sembunyi-sembunyi. Untuk itu, "Bahkan untuk memasuki halaman Gedung Bank Bali pun, mereka dilarang," kata sumber tadi.
Rudy tak mau berkomentar banyak atas pencekalan dirinya memasuki halaman bank yang diwarisinya dari keluarga itu. Dia hanya meyakinkan, larangan itu sudah lazim. Bankir lain yang banknya diambil oper pemerintah juga diperlakukan sama. "Ini prosedur biasa," katanya enteng.
Selain Bank Bali, sapu bersih juga melanda Bank Internasional Indonesia (BII). Eka Tjipta Widjaja dan anak lelakinya, Indra Widjaja, penguasa saham BII, termasuk yang ikut kesandung. Apa dosanya? Juga tak disebut dengan rinci. Tapi, kepada TEMPO, seorang pejabat moneter memastikan, dua pentolan Sinar Mas ini terjerat pelanggaran batas maksimum pemberian kredit alias BMPK.
Kabarnya, BII memberikan kredit ke kelompok usaha Sinar Mas sampai Rp 5 triliun lebih. Padahal, berdasarkan jumlah modalnya, kredit BII ke kelompok ini mestinya tak boleh lebih dari Rp 700 miliar. BII berkilah, kredit berupa jaminan letter of credit alias L/C Tjiwi Kimia dan Indah Kiat itu cuma melampaui BMPK karena harga dolar melonjak. Belakangan, ribut-ribut ini dibereskan setelah L/C ditransfer ke sebuah bank pemerintah.
Bagaimana dengan dugaan mendongkrak tagihan ke BPPN? Sumber TEMPO tak bisa mengonfirmasi cerita ini. Cuma, katanya, praktek seperti itu tak mudah dilakukan. Bank sentral dengan sangat ketat melakukan verifikasi semua tagihan interbank di bank-bank yang dibredel. Untuk mengecek apakah tagihan itu benar-benar ada, BI melakukan sistem ceking silang dengan bedah akuntansi alias forensic accounting. Jadi, "Hampir mustahil," kata sumber yang dekat dengan kalangan keuangan ini.
Selain Eka dan Indra, seombyok petinggi BII yang lain ikut pula terjegal. Dari delapan orang di jajaran komisaris, cuma tiga yang bertahan. Mereka adalah Suryadi Purnama, Hendrik Tee, dan Djafar Widjaja. Selebihnya, Eka Tjipta Widjaja, Soengkowo Prijoredjo, Muktar Widjaja, Oesman Widjaja, dan Gandi Sulistiyanto, digusur. Dewan direksi BII juga begitu. Dari tujuh direksi cuma Hiroshi Todano dan Herman yang bisa dipertahankan. Lainnya, Indra Widaja, Yuli Soedargo, Leo F. Nagasaputra, Doddy Susanto, dan Gokaryadi Tjandra, disapu bersih.
Sayang, Indra Widjaja tak bisa ditemui untuk konfirmasi. Tapi, menurut Gandi Sulistiyanto, Indra memang lagi sibuk mencari pengganti nama-nama yang digusur itu. Pergantian ini, menurut Gandi, tak semata disebabkan hasil uji fit and proper. Sebelumnya, lembaga keuangan kondang Goldman Sachs dan Salomon Smith Barney yang disewa BII sebagai konsultan sudah mengusulkan perombakan pengurus. "Kebetulan," kata Gandi, "baru bisa dilakukan bersamaan dengan hasil saringan itu sekarang. Ia tak bersedia menyebutkan rincian nama petinggi yang segera lengser.
Sementara Bank Bali dan BII kesandung, Lippo justru lolos. Tapi itu bukan semata karena seluruh menajemen Bank Lippo layak dipertahankan. Menurut sumber TEMPO, yang membuat Lippo lolos adalah kemampuannya menyerap sasmitaning alam. Lippo, seperti selalu mendapat wangsit, mampu mendengar dan melihat sebelum kejadian. James Riady, pemilik Grup Lippo, kabarnya sudah lebih dulu mendengar bocoran hasil uji fit and proper. Sebelum BI bertindak, James buru-buru menggeser bankir yang kesandung tes. Adalah Wina Widjaja, direktur pelaksana, yang kini ditarik ke induk perusahaan Lippo.
Sebetulnya, daftar hitam mereka yang kesandung ini masih panjang. Hanya, pejabat BI enggan mengumumkan secara resmi, kriteria, siapa, dan bank mana saja mereka. Secara umum Gubernur BI Syahril Sabirin menjelaskan, daftar hitam itu bervariasi. Ada yang permanen, ada juga yang hanya sementara. "Tergantung kesalahan masing-masing," katanya. Semakin berat "dosa" bankir, sanksi tentu saja kian berat. Nah, lantaran sifat hasil uji yang sangat beragam ini, BI memilih tutup mulut.
Secara umum, langkah sapu bersih BI ini boleh diacungi jempol. Sejumlah bankir menilai jurus BI kali ini bersih, tegas, dan tanpa pandang bulu. Cuma, ada beberapa kejanggalan yang dicatat Direktur Socgen Global Equities, Lin Che Wei. Mestinya uji kelayakan hanya digelar untuk bank-bank kelas A yang ujian fit and proper-nya belum digelar. Sebaliknya, untuk kelompok bank yang direkapitalisasi (kelas B), mestinya tak lagi memerlukan tahap tes ini. Sebab, saringan itu sudah termasuk paket uji tuntas BI. Hasil uji tuntas itulah yang dipakai sebagai ukuran apakah sebuah bank lolos mengikuti program rekapitalisasi atau tidak.
Lalu mengapa sekarang BII, Bank Bali, dan juga Lippo, ikut-ikutan tersandung uji fit and proper? Che Wei mencium muatan politik dalam program ini. "Pemerintah tampaknya ingin meraih simpati setelah kasus Bank Bali," katanya.
Kejanggalan lain? Masih ada. Indra Widjaja, Direktur Utama BII, ternyata masih diberi kewenangan merombak jajaran para petinggi di bank papan atas itu. Artinya, tak ada jaminan bahwa bankir yang tak lolos fit and proper itu pasti tak akan mempengaruhi manajemen BII kelak di masa depan.
Tapi begitulah. Celah-celah agaknya memang selalu ada.
Mardiyah Chamim, Iwan Setiawan, Leanika Tanjung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini