Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di atas panggung seluas 12 x 18 meter persegi, Ahmad Albar melantunkan Panggung Sandiwara. Dari bawah panggung, kita melihat rocker tua yang sudah berkepala lima itu sebagai seseorang yang telah bertarung melawan waktu. Rock memang musik yang istimewa. Manakala aktor musik keras ini mengurangi kecepatan beat, mendendangkan Panggung Sandiwara, sebuah balada, suaranya bergetar dahsyat.
Volume suara Ahmad Albar, personel kelompok God Bless, masih yahud. Ia bersenandung dantentu sajaberteriak parau membawakan lagu-lagu yang bercerita tentang hidup ini: Rumah Kita, Panggung Sandiwara, Syair Kehidupan, Menjilat Matahari, dan Kehidupan. Tapi pertunjukan yang bertajuk ASEAN Rock Concert: Say No to Drugs, awal bulan ini, memperlihatkan sesuatu yang alami. Ia memekik keras, mengikuti dentum drum dan permainan bas yang mempesona, tapi tak banyak melonjak. Di atas panggung, tak kelihatan deretan uban di rambutnya yang kribo. Tapi, seusai ia menyanyikan lima sampai enam tembang, kelihatanlah bahwa napasnya semakin pendek.
Waktu bergulir, dunia berubah. Rock, yang dulusetidaknya di negeri bapak moyangnya, Amerikaberpasangan dengan seks bebas dan penggunaan obat-obat psikedelia (sex, drugs, and rock'n'roll), memang mencoba berjalan sendiri. "Sejak dulu, rock selalu diidentikkan dengan narkoba (narkotik dan obat berbahaya). Seharusnya masyarakat tidak bisa menyamaratakan begitu saja. Ini kesempatan kami untuk menunjukkan, pemusik rock tak selalu bersentuhan dengan barang itu," papar Ian Antono, gitaris God Bless.
Di arena pertunjukan, di Lapangan Pantai Bende, Ancol, Jakarta, sebuah spanduk besar menganjurkan agar masyarakat meninggalkan segala narkotik. Bahkan delapan band rock kondang dari Indonesia dan beberapa negara lain di Asia Tenggara mendengungkan hal yang sama. Ini sebuah pesta rock cukup besar buat merayakan ulang tahun Kepolisian RI yang ke-54. Dari Indonesia ada God Bless, Edane, /rif, dan Seurieus Band. Sedangkan dari Malaysia ada kelompok Wings. Band lainnya adalah Ramli Sarip & Soul Journey mewakili Singapura, Razorback dari Filipina, dan Perfect Rock Star dari Thailand.
Ada masanya, era 1960-an, psikedelia menjadi inspirator kreativitas artistik. Pemakaian narkotiktentumelahirkan generasi teradiksi. Tapi Dr. Timothy Leary dan Richard Alpert, keduanya pengajar Universitas Harvard, mengumumkan hasil eksperimennya dengan gagah. Mereka menyebutkan pemakaian obat-obat itu justru mengembangkan kesadaran manusia. Sebelumnya, ada Dr. Albert Hoffman yang menemukan lysergic acid diethylamide (LSD), narkotik yang mengantar pemakainya ke pengalaman mistis dan artistik, sebagaimana yang dialami orang-orang suci dan seniman besar.
Tapi, dari para artis rock kita, meluncur keterangan berbeda. Fariz R.M. mengurai salah satu pengalamannya dulu, saat masih diperbudak oleh narkoba. Suatu hari Faiz, demikian panggilannya, bertaruh dengan sesama penyanyi, Kembar Group. Ia menantang duo kembar Alex dan Yakob untuk take vocal bersama di studio setelah mengkonsumsi narkoba. "Waktu itu kita lagi gila-gilaan," tutur Faiz kepada TEMPO suatu hari. Salah satu dari duo kembar itu ditugasi Faiz memantau dari balik kaca studio. Hasilnya? "Ya, jelas kacau rekamannya. Enggak jelas kita ngerekam apaan. Jadi, enggak benar kalau dibilang narkoba asyik buat berkarya," ujar Faiz terkekeh.
Ada sejumlah kesaksian senada. Indra, mantan pemain keyboard Slank, kini yakin narkotik tak berkaitan dengan kreativitas artistik. Bersama empat personel Slank lainnyaPay (gitar), Bongky (bas), Bimbim (drum), dan Kaka (vokal)Indra mulai mencicipi barang haram itu pada 1994. Putaw menjadi barang favorit yang dipakai Indra dan kawan-kawan. "Kita dulu bego aja mau ditawari barang itu. Katanya sih asyik buat main musik. Padahal, kalau makai barang itu, yang ada kita malahan tidur dan capek, enggak bisa rekaman," ujar Indra.
Regenerasi terjadi. Sekarang rambut para rocker yang banyak berkreasi pada 1970-an di negeri ini semakin putih dan tipis. Rock medium yang bagus untuk memerangi narkoba. Tapi tak begitu jelas apakah rock telah berjalan sendiri, melepaskan diri dari slogan generasi bunga tahun 1970-an itu.
Telni Rusmitantri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo