Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Pilihan yang Diragukan

Pemilihan pimpinan KPK dinilai lebih didasarkan pada pertimbangan politik. Calon yang bagus pun tergusur.

21 Desember 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Senyum Taufiequrachman Ruki, 57 tahun, membawa berkah. Beberapa waktu lalu, seorang anggota panitia seleksi Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia menyodorkan pertanyaan kepadanya:”Apa yang Anda lakukan jika koruptornya seorang anggota DPR?” Pertanyaan ini terasa menyudutkan Taufiequrachman karena ia pernah menjadi anggota Fraksi TNI/Polri DPR. Lalu, sambil tersenyum, ia menjawab akan tetap mengusutnya.

Bukan hanya masuk dalam 10 calon pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi yang dilempar ke parlemen, Taufiequrachman akhirnya terpilih menjadi lima anggota pimpinan lembaga ini. Lewat pemilihan yang digelar oleh Komisi II DPR, Selasa pekan lalu, bahkan ia juga dinobatkan menjadi Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pensiunan polisi itu mengantongi 43 suara, disusul Amien Sunaryadi 42 suara, Sjahruddin Rasul 39 suara, Tumpak H. Panggabean 26 suara, dan Erry Riyana Hardjapamekas 24 suara. Kelima orang inilah yang terpilih menjadi pimpinan KPK. Lima calon lainnya kandas, yakni Muhammad Yamin, Marsillam Simanjuntak, Iskandar Sonhadji, Momo Kelana, dan Chairul Imam.

Diakui oleh Trimedya Panjaitan, anggota Komisi II DPR bidang hukum, terpilihnya Taufiequrachman menjadi Ketua KPK disokong oleh semangat kolegial. Soalnya, ia pernah bertugas di parlemen. Tapi jabatan terakhir orang Rangkasbitung itu sebenarnya Deputi Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan. ”Saya juga memilih Ruki karena dialah yang terbaik di antara polisi lainnya sebagai calon,” kata Trimedya.

Saat tim investigator Komisi II berkunjung ke rumah Taufiequrachman Ruki di Rempoa, Tangerang, menurut Trimedya, kehidupan Taufieq tampak sederhana. ”Untuk jenderal bintang dua polisi dan pernah di Direktorat Lalu-Lintas Polda Jawa Barat, dia tak punya apa-apa,” kata politikus PDIP itu. Boleh jadi Trimedya berlebihan menyanjungnya, karena kekayaan Taufiequrachman yang dilaporkan ke Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) pada 2001 lalu tidak bisa dibilang kecil. Total hartanya sekitar Rp 836 juta.

Menurut sumber TEMPO di DPR, Taufiequrachman Ruki terpilih karena dia ”titipan” Kantor Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan. Hanya, Deputi VII Kementerian Polkam Bidang Komunikasi dan Informasi, Brigjen Polisi Alex Bambang Riatmojo, membantahnya. ”Tak ada deal atau pertemuan antara DPR dan Kementerian Polkam sebelum pemilihan KPK,” ujarnya kepada Yandhrie Arvian dari Tempo News Room.

Yang terjadi, kata Taufiequrachman, dirinya sekadar mendapat rekomendasi dari Menteri Koordinator Polkam Susilo Bambang Yudhoyono. ”Itu juga sebagai respons pertanyaan panitia seleksi, tentang dedikasi, reputasi, dan integrasi saya,” ujarnya.

Empat anggota pimpinan KPK lainnya berasal dari profesi yang berbeda-beda. Sehari-hari Amien Sunaryadi dikenal sebagai akuntan. Jabatan terakhirnya adalah Manajer Senior Unit Dispute Analysis Price Waterhouse Cooper. Tumpak Panggabean sebelumnya menjadi seorang pejabat di Kejaksaan Agung. Erry Riyana pernah memimpin PT Timah. Lalu, Sjahruddin Rasul dikenal sebagai auditor. Jabatan yang pernah disandangnya adalah Deputi Pengawasan Bidang Penyelenggaraan Akuntabilitas Departemen Keuangan.

Diisi figur dari keahlian yang beragam, sebenarnya komposisi pimpinan KPK cukup ideal. Hanya, bekas wakil ketua panitia seleksi calon pimpinan lembaga ini, Abdul Gani Abdullah, mempertanyakan kenapa Muhammad Yamin (Kepala Pusat Pendidikan dan Latihan Kejaksaan Agung) tidak terpilih. Sama-sama dari kejaksaan, menurut Gani, Yamin masih lebih baik ketimbang Tumpak.

Tudingan memang sempat mampir ke Tumpak Panggabean. Ia dituduh menghalangi perkara Nurdin Halid, saat menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan. Namun, kabar ini sudah dibantahnya ketika dikonfirmasi oleh panitia seleksi bentukan Departemen Kehakiman. Ketika itu, ”Saya cuma tak mau perkara Nurdin Halid menjadi ne bis in idem (diadili dua kali dalam perkara yang sama),” katanya.

Abdul Gani juga menyesalkan mengapa para calon yang memperoleh skor tinggi dalam seleksi di Departemen Kehakiman justru tersingkir. Selain Yamin, yang mendapat nilai bagus adalah Marsillam Simanjuntak (bekas Jaksa Agung dan Menteri Kehakiman) dan Iskandar Sonhadji (pengacara). Kebetulan, mereka juga disokong oleh sejumlah LSM. Tampaknya, ”Pemilihan di DPR didominasi pertimbangan politik,” ujarnya.

Sebelumnya, Sudirman Said dari Masyarakat Transparansi Indonesia sudah menduga DPR akan menjadi ”ladang pembantaian” calon-calon terbaik. Apalagi, jauh hari seorang petinggi Fraksi PDIP telah mengisyaratkan agar tidak memilih figur seperti Marsillam.

Lihat saja yang terjadi di DPR menjelang pemilihan. Seorang anggota Komisi II dari Fraksi PDIP, tak lama setelah menguji Marsillam Simanjuntak, tampak berbicara dengan seseorang lewat telepon genggamnya. Ia bercerita menyinggung soal sesi tanya-jawab dengan Marsillam. ”Bolehlah dia jago bicara dan memberi kuliah hukum ke kita, tapi kan yang menentukan kita,” tuturnya.

Isu adanya permainan duit juga sempat merebak. Seorang calon yang akhirnya tak terpilih sempat diminta oleh seorang pejabat tinggi supaya menyetor ratusan ribu dolar Amerika. Dia dijanjikan terpilih menjadi pimpinan KPK. ”Anda tinggal ongkang-ongkang kaki, kami yang mengaturnya di DPR,” kata sumber itu, menirukan tawaran sang pejabat tinggi. Tapi tawaran itu ditampiknya.

Yang berperan besar mengatur skenario hasil pemilihan itu, menurut sumber TEMPO, adalah kalangan anggota Komisi II dari Fraksi PDIP dan Fraksi Partai Golkar. Jangan heran jika pilihan mereka pun sebagian seragam. Dalam penghitungan, terdapat 17 suara yang menyebut lima nama yang sama. Lalu, ada tujuh kertas suara lainnya yang menyebut lima nama dengan susunan sama.

Hanya, Ketua Komisi II, Teras Narang, yang kebetulan juga anggota Fraksi PDIP, menepis adanya skenario untuk mengegolkan sejumlah calon. ”Tak ada titip-titipan. Fraksi PDIP juga tidak pernah melakukan pemplotan nama-nama untuk dijadikan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi,” kata Teras kepada Priandono Kusumo dari Tempo News Room.

Kalangan LSM jelas tidak puas terhadap hasil pemilihan tersebut. Menurut Ketua West Java Corruption Watch, Harlans M. Fachra, terpilihnya Taufiequrachman dan Tumpak sebenarnya bertabrakan dengan semangat Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Soalnya, dalam bagian konsideran undang-undang ini, dinyatakan bahwa komisi tersebut perlu dibentuk karena gagalnya lembaga kepolisian dan kejaksaan dalam pemberantasan korupsi selama ini. ”Kalau kedua institusi negara itu sudah gagal, kenapa calon dari lembaga itu yang dipilih,” katanya.

Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, Amien Rais, pun tak yakin KPK bisa berjalan dengan baik bila komitmen politik pemerintah untuk memberantas korupsi tak ada. ”Walaupun ada tujuh orang malaikat yang jadi anggota komisi korupsi, tidak akan bisa apa-apa jika pemerintah tidak punya komitmen politik,” ujarnya.

Menurut seorang bekas hakim agung, KPK sebenarnya juga bukan benteng terakhir untuk memberantas korupsi. ”Karena masih ada lembaga peradilan yang justru biasanya menggiling semua proses yang sudah dibangun menjadi hancur lebur,” katanya. Solusinya? Komisi Yudisial, yang RUU-nya masih terhambat di DPR, segera diselesaikan. Komisi ini akan punya peran penting dalam memilih kembali hakim-hakim.

Sejumlah keraguan memang menerpa KPK. Apalagi pimpinan yang terpilih kurang sesuai dengan harapan masyarakat. Meski begitu, Taufiequrachman Ruki berjanji akan bersikap tegas. ”Saya tak gentar menghadapi koruptor. Saya siap menghadapinya, walaupun beking-beking itu berasal dari polisi, TNI, atau bekas atasan. Saya diangkat oleh rakyat, bukan diangkat oleh panglima atau Kapolri,” katanya.

Hanya, kini publik lebih mendambakan tindakan nyata dan segera.

Ahmad Taufik, Multazam, Adek dan Adi Mawardi (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus