Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Baku Tuding Setelah Bobol

Meski dicekal, terhukum Alex Manuputty leluasa pergi ke Amerika Serikat. Aparat hukum saling lempar tanggung jawab.

21 Desember 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKALI lagi pagar-pagar hukum di negeri ini amat gampang diterobos. Alexander Hermanus Manuputty, yang berstatus ”dicegah” dan diputus hukuman empat tahun penjara, tiba-tiba sudah berada di Amerika Serikat. Ketika aparat hukum saling menyalahkan, Ketua Front Kedaulatan Maluku (FKM) itu beraksi dengan leluasa di Kota Red Lands, California. Di sana ia menggalang dukungan internasional, berkampanye, dan berdemonstrasi di depan Konsulat Jenderal RI buat memperjuangkan cita-cita politiknya.

Sudah sebulan di Amerika, Alex—begitulah dia biasa disapa—mengaku dalam keadaan sehat walafiat. Dihubungi TEMPO lewat telepon pada Jumat pekan lalu, suara lelaki 55 tahun itu pun terdengar riang sekali. ”Saya mengusahakan agar dibentuk komisi untuk menangani pelanggaran hak asasi manusia di Maluku,” ujarnya.

Lelaki kelahiran Papua itu sungguh beruntung. Telah divonis dalam perkara makar, semestinya ia mendekam di bui. Apalagi pada 29 Oktober lalu Mahkamah Agung telah mengeluarkan putusan kasasi atas kasusnya. Isinya menguatkan vonis pengadilan banding: menghukum terdakwa empat tahun penjara karena dinilai terbukti melakukan makar.

Alex didakwa makar karena getol menyerukan pengibaran bendera Maluku Selatan (RMS) di sekitar Seram dan Saparua. Seharusnya ia diadili di Pengadilan Negeri Ambon. Karena dikhawatirkan sidangnya membuat keruh proses perdamaian di sana, terdakwa lalu diadili di Jakarta atas perintah Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Ujungnya, Pengadilan Negeri Jakarta Utara menvonis Alex hukuman tiga tahun penjara. Di tingkat banding hukuman ini kemudian dinaikkan menjadi empat tahun penjara.

Kenapa kini Alex bebas berkelana? Salah satunya, gara-gara eksekusi putusan yang lamban. Kendati ia sudah divonis oleh MA sejak 29 Oktober silam, salinan putusannya tidak segera bisa diterima oleh kejaksaan. Menurut Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung, H. Kemas Yahya Rahman, Kejaksaan Negeri Jakarta Utara baru menerima pemberitahuan tentang vonis kasasi tersebut pada 21 November lalu, hampir sebulan setelah putus. Surat ini sekadar pemberitahuan. Salinan putusannya sendiri lebih telat lagi diterima. ”Kejaksaan Negeri Jakarta Utara baru menerima salinannya pada 15 Desember lalu,” ujarnya.

Sebenarnya penasihat hukum Alex telah menerima salinan putusan kasasi agak lebih awal, pada 5 Desember. Tapi ini pun terbilang terlambat karena pada 22 November terpidana sudah pergi ke Amerika.

Lambatnya aliran salinan putusan membuat celah bagi terpidana untuk kabur. Kebetulan masa tahanan Alex, selama 170 hari, berakhir pada 7 November lalu. Sehari kemudian, Kepala Lembaga Pemasyarakatan Tangerang, Bibin Sudirman, melepasnya. Itu pun, kata Sahara Pangaribuan, penasihat hukum Alex, setelah pihaknya datang dulu ke Mahkamah Agung untuk menemui Direktur Pidana MA, Moegihardjo. Sang Direktur Pidana saat itu menyatakan sudah ada putusan kasasi. Hanya, ia tidak bisa menunjukkan salinan putusan kepadanya. Katanya, sudah dikirim ke pengadilan negeri. Jadi, ”LP tak punya dasar hukum untuk menahan klien kami,” ujar Sahara.

Hanya, Mahkamah Agung tak mau disalahkan. Menurut Ketua MA Bagir Manan, lolosnya terpidana tak ada kaitannya dengan cepat-lambatnya putusan kasasi. Tidak ada pula tautannya dengan telatnya salinan putusan diterima oleh kejaksaan. Soalnya, ”Dia dalam keadaan dicekal (cegah dan tangkal), seharusnya tidak boleh pergi. Jadi jangan dicampur aduk,” kata Bagir. Alex dalam status dicegah sejak 27 Desember tahun lalu, dan berlaku selama setahun.

Begitu pula kejaksaan. Kemas Yahya malah menyalahkan pihak keimigrasian. ”Kenapa enggak ditahan paspornya?” tanyanya. Menurut Yahya, seharusnya pihak imigrasi menarik paspor orang-orang yang dicegah ke luar negeri, sehingga tak mungkin keluar dengan paspor asli.

Tapi keimigrasian juga tak mau dipersalahkan. ”Masa, saya harus mengambil semua paspor tahanan? Ada berapa tahanan di seluruh Indonesia?” ujar Muhammad Indra, Direktur Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian.

Bukan kali ini saja aparat hukum kebobolan. Sebelumnya, Samadikun Hartono, terpidana kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI), diduga lolos karena diizinkan berobat ke negara lain, lalu tidak kembali. Kini Alex pun tentu lebih kerasan berada di Amerika dari- pada menjalani kehidupan di penjara.

Endri Kurniawati, Ahmad Taufik, Dimas Adityo (Tempo News Room)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus