Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Mengintai kaki pengunjung

Hidup tidaknya ruang diskotik ditentukan oleh dee jaynya. persyaratannya ketrampilan teknis, penguasaan alat dan punya cita rasa musik. beberapa pengalaman orang-orang yang jadi dee jay di diskotik.(hb)

21 April 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HIDUP tidaknya ruang diskotik, sangat ditentukan oleh dee-jay-nya. Peran ini nampaknya gampang sekali dimainkan. Tapi ada beberapa persyaratan yang harus dimiliki: keterampilan teknis termasuk penguasaan peralatannya, mengerti dan punya citarasa musik, harus pandai-pandai membaca gelagat pengunjung, serta punya berbagai akal untuk mengatasi kesulitan jika misalnya orang tak juga turun ajojing. Benny Shertian, 37, yang sudah 4 tahun menjadi dee jay Guwa Rama, merasa sudah memiliki semua persyaratan sehingga diskotiknya memang selalu berjalan sebagaimana diharap. Apalagi karena pekerjaannya di sana agak menjadi lebih mudah, sebab bosnya yang bernama Horst Muller sudah memilih dan merekamkan lagu-lagunya pada pita ril. Dan Guwa Rama pun mengkasetkan lagu-lagunya, dijual untuk yang berminat dengan harga yang sama dengan harga pasaran. "Jadi tugas saya cuma tinggal menghidangkannya," kata Benny, lulusan STM Jatinegara 1961 yang kini harus menghidupi isteri dan kedua anaknya. Berapa gaji yang diterimanya, Benny enggan menyebut. "Yah, dicukup-cukupkanlah," ujarnya. "Yang jelas, isteri saya punya pengertian besar." Benny bertugas tiap malam, kecuali malam Rabu -- istirahat dan kumpul anak-bini. Sebelum diskotik dibuka, ia kontrol dulu semua lampu, pita ril dan sistim suara. Jika pengunjung sudah banyak, "saya perhatikan kaki mereka. Jika sudah mengetuk-ngetuk lantai, itu pertanda lagu-lagu hot harus dimainkan," tuturnya. Dan biasanya feeling Benny memang mengena. Tapi jauh sebelum itu Benny putar dulu lagu-lagu penghangat -- tapi bukan yang lagi top. Sebab, "kalau langsung kita putar lagu-lagu yang sedang digemari dan ternyata pengunjung belum ingin turun, 'kan sayang?". Tiap hari Benny pulang pukul 2 dinihari (di malam liburan sampai jam 3) ke rumah orangtuanya, tempat ia dan keluarganya tinggal. Meski begitu badannya tetap sehat segar dan gembira. Soalnya "saya selalu mengusahakan tenangnya pikiran. Itu prinsip saya, "katanya. Johannes Likumahuwa, 26, juga di Guwa Rama, menjadi serep Benny. Berbeda dengan Benny, Johanes menjadi dee jay sekedar sambilan. "Menyalurkan hobi musik," katanya. Pekerjaan sehari-harinya ialah sound-man HI Sheraton. Jadi di diskotik itu statusnya cuma honorer, untuk menggantikan Benny tiap malam Rabu. "Permintaan lagu dari pengunjung mutlak harus dipenuhi," kata bujangan itu. Dan sulitkah menjajagi selera pengunjung yang beragam itu? "Kalau kita selalu mengikuti lagu-lagu yang sedang hit, tidak sulit. Sebab, meskipun pengunjung itu beragam, seleranya 'kan sering sama." Ia pernah mengalami kesialan yang hampir saja merenggut nyawanya. Suatu malam tiba-tiba seorang pengunjung remaja mengamuk memecahkan gelas dan merusak perabot. Mungkin mabok. Mereka yang sedang ajojing kontan bubar. Tinggal Johannes sendirian di belakang kotak diskotiknya, menjaga peralatan. Si pemabuk langsung memburunya dan menodongkan pistol. Sambil berkeringat dingin ia menerangkan pada brandal itu "Saya petugas di sini." Dan selamatlah ia. Itu terjadi di malam takbiran 1977. Yetty Roslina, 23, menjadi dee jay Pitstop sejak 5 bulan lalu setelah ditatar 3 bulan lamanya. Sebelum itu ia bekerja di sebuah majalah hiburan sebagai sekretaris selama 2 tahun, lalu diajak ke Australia oleh kakaknya tapi cuma bertahan 3« bulan -- dan balik lagi ke Jakarta. Lalu melamar ke Pirstop, dan "saya heran, kok diterima," tuturnya. Ia bukan tak mengerti musik. Sebab sejak kerja di majalah itu hampir tiap malam berdisko di 'Boden Powel', Cempaka Putih, Jakarta, bersama teman-temannya. Karena rumahnya memang di dekat situ. Malah menjadi dee jay juga di sana -- coba-coba. "Ternyata ketika dites di sini (Pitstop), saya bingung. Sebab peralatannya lain sekali dengan yang dulu saya kenal," Tapi sesudah kelabakan, dan sesudah ditatar, ia pun bisa. Berbeda dengan di Guwa Rama, Yetty mengaku pemilihan lagunya sesukanya sendiri saja. "Tapi lagu-lagu yang top memang diputar belakangan," kata anak nomor 4 dari 9 bersaudara asal Padang ini. "Orangtua tak setuju saya kerja malam," tuturnya. "Tapi saya ngotot saja, soalnya saya senang. Resikonya memang cukup berat. Misalnya disangka sebagai perempuan yang bisa "dibawa." Memang wajar, sebab selama ini 'kan orang menilai tempat semacam ini sama saja dengan klab malam atau tempat yang dituduh mesum." Yetty mengaku memang banyak hidung belang yang mengajaknya kencan: oom-oom, juga pemuda. Tapi ia tak pernah tergoda, katanya. "Repot, deh."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus