Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Ajojing di tengah gunjing

Diskotik yang siang masih buka akan ditutup, ada keresahan dari kalangan remaja karena banyak pelajar yang masuk disko. untuk mengatasinya pengurus ikosis mendatangi kadapol metro jaya anton sudjarwo. (hb)

21 April 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENGAN kira-kira 30 meja bundar kecil dan 100 kursi putar beroda, serta sebuah bar dan tata-ruang yang apik, diskotik Pitstop seperti menandai bangkitnya kembali dunia disko khususnya di Ibukota. Dan bersama Pitstop yang terletak di belangkang Hotel Sari Pacific, adalah The Oriental Club (Jakarta Hilton), Guwa Rama (HI Sheraton), Tanamur, Ankerage, dan berpuluh disko muda-mudi lain -- baik yang menjadi wadah ajojing maupun yang sekedar menyewakan peralatan lengkap untuk pesta remaja. Kebangkitan ini justru terasa karena beberapa waktu sebelumnya kelesuan melanda dunia kegiatan muda-mudi ini. Dan kelesuan kemarin itu juga disebabkan karena sebelumnya semangat ajojing sudah diumbar sedemikian rupa, bahkan sampai ke pinggir-pinggir kota -- waktu itu bersama dengan populernya wabah narkotik. Singkatnya, harga ajojing waktu itu menjadi murah dan dijauhi menak-menak. Adapun naiknya, kembali sekarang ini, barangkali dibawa oleh pengaruh Kenop 15 dan harga BBM. Karena tidak semua orang mampu, disko menjadi elit lagi. Dalam hal ini Ais, 18 tahun, putera Ali Said SH yang memimpin rombongan Disko Studio 12 (pecahan Madlod pimpinan Boy Ali Sadikin), menunjuk video kaset yang sekarang membanjir di sini (TEMPO 15 April) sebagai salah satu penyebabnya. "Banyaknya video kaset yang berisi film musik seperti Saturday Night Fever dan Grease-nya John Travolta itu, yang menggairahkan kembali," katanya. Mungkin benar. Dan karena itu dunia disko memang dunia yang mahal. Untuk masuk Pitstop misalnya, malam Minggu satu orang harus bayar Rp 6000. Sama dengan di Oriental Club Hilton. Masuk Guwa Rama di HI, Rp 3000. Masuk Tanamur Rp 1500. Sindikat Diskotik Pitstop dan TOC lebih mahal mungkin karena tempatnya lebih baik dan koleksi lagunya bagus-bagus. Tapi mungkin juga karena kedua diskotik ini (ditambah The Matahari Club di Bali Hyatt Hotel, Sanur) sama-sama dikelola Juliana's of London -- semacam sindikat diskotik antar bangsa yang punya cabang di berbagai negara -- yang menyediakan seluruh peralatan disko dan sekaligus dee jay-nya, yakni yang mengendalikan lagu-lagu. Si kusir ini tiap 6 bulan sekali pindah ke sebuah cabang Juliana's di negara lain. Di mana sih, letak yahudnya disko-disko Juliana's itu? Ais sendiri mengaku merasa kagum terutama pada tataruangnya. Sedang lagu-lagunya? "Kami tiap minggu dapat kiriman 10 PH lagu-lagu baru dari London," kata Joan Rich (24 tahun), kusir disko Pitstop. Lalu kata Ais: "Mereka selalu mendapat prioritas dari produser PH untuk melejitkan lagu-lagu terbaru, untuk menguji dan mencari pasaran. Terutama di Amerika lnggeris dan Jepang -- pasar terbesar bisnis musik." Jadi tak heran jika lagu di disko Juliana's memang selalu baru. Yang mungkin perlu anda tahu: penggemar disko yang paling akut ialah para pelajar SLP sampai SLA klas 1-dan sedikit klas 2 seperti dituturkan Ais. Tetapi sebenarnya ada pembagian umur. Pitstop misalnya, hanya membolehkan mereka yang sudah 17 tahun. Anindita Zachman, manajer relasinya, kepada Abdul Muthalib dari TEMPO berkata "Pengunjung rata-rata berusia 20 sampai 30 tahun. Orang-orang tua cuma sekali seminggu. Tapi anak-anak 17 tahunan itu, bisa 5 kali seminggu." Bagaimana pula dengan anak-anak belia SLP, seperti di disko-disko remaja, yang tenaganya justru baru tumbuh? Memang, disko remaja ini sering kelihatan sebagai penyaluran tenaga belia -- semacam olah raga bermusik. Adapun TOC di Hilton rupanya lebih diperuntukkan bagi orang dewasa -- sebagaimana dikatakan Titi Samhani, humasnya yang manis itu. "Karena itu," tuturnya, "suasananya diciptakan berbeda dengan disko lain. Musik tidak terlalu bising. Lampu sederhana, dan tempat duduk memakai sofa, sehingga sifatnya hampir mirip sebuah lobi." Itu berbeda dengan di Guwa Rama misalnya, yang lebih murah dan lebih santai pengunjung diperbolehkan mengenakan celana jin dan oblong dan tanpa batas umur, sehingga terasa bebas. Dan karena itu banak dikunjungi remaja puber -- yakni publiknya disko-disko seperti milik Ais itu. Disko Ais sendiri termasuk yang sewaan -- yang tidak menyediakan tempat ajojing. "Hampir semua yang mengundang Studio 12 ialah mereka yang berulangtahun belasan. Dan rasanya belum pernah kami diundang untuk memeriahkan ulang tahun di atas 17," katanya kepada Yudhistira dari TEMPO. Kenapa? "Karena yang di atas 17 sebenarnya sudah mulai merasa malu pada teman-temannya kalau masih pakai disko untuk ulang tahun," lanjut manajer belia yang mengaku sudah sanggup beli sebuah mobil kolt pengangkut peralatan diskonya -- di samping punya deposito lumayan di bank. 'Pertemuan' Sebagai gambaran saja: disko Ais, yang merupakan gabungan beberapa disko kecil, sekarang punya tenaga 33 orang siswa-siswi SLP dan SLA, dan banyak juga mahasiswa. Tarifnya untuk acara ulang tahun Rp 80 ribu. Tapi mereka sering dikontrak hotel besar, untuk memeriahkan pesta, dengan tarif 150 ribu semalam. Tapi Ais ingin menekankan sekali lagi, bahwa menurut pengamatannya, yang paling jago dalam hal ajojing ialah mereka yang SLP itu. "Show dancer kami pun anak-anak SLP itu," katanya. Yang dimaksud ialah mereka yang bertugas memancing orangorang dewasa untuk bergoyang, dengan tampil lebih dulu tanpa malu-malu. Dan yang merepotkan dari kebisingan disko ini memanglah terlalu banyaknya pelajar yang gandrung. Apalagi ketika ada beberapa diskotik yang buka siang hari, sehingga membujuk para pelajar untuk bolos atau pulang sekolah langsung berdisko -- sehingga Pemda DKI pun bertindak menutup diskotik yang buka siang itu. Bahkan Gubernur Tjokropranolo menyatakan jumlah disko akan dibatasi dan izin baru hanya akan diberikan untuk hotel. Gubernur tidak merasa kawatir disko-disko akan berkembang jadi semacam klab malam. Ketika disinggung adanya kesan dijadikannya kegiatan itu sebagai ajang pertemuan si hidung belang (dewasa) dengan si kumbang malam, Gubernur berkomentar: "Tempat manapun bisa saja digunakan untuk itu -- tergantung yang punya niat. Yang jelas di diskotik 'kan tidak ada hostes." Tapi rupanya ada semacam keresahan di kalangan remaja sendiri. Katnis ming gu lalu, sembilan orang pengurus IKOSIS (Ikatan Organisasi Siswa Intra Sekolah) ganti mendatangi Kadapol Metro Jaya Brigjen Pol. Anton Sudjarwo. Mereka antara lain dibingungkan oleh berita, khususnya di sementara koran, bahwa sekitar 40.000 pelajar DKI biasa masuk tidak hanya ke disko -- tapi jua klab malam, hotel dan sebagainya (lihat Pendidikan).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus