DENGAN kira-kira 30 meja bundar kecil dan 100 kursi putar
beroda, serta sebuah bar dan tata-ruang yang apik, diskotik
Pitstop seperti menandai bangkitnya kembali dunia disko
khususnya di Ibukota. Dan bersama Pitstop yang terletak di
belangkang Hotel Sari Pacific, adalah The Oriental Club (Jakarta
Hilton), Guwa Rama (HI Sheraton), Tanamur, Ankerage, dan
berpuluh disko muda-mudi lain -- baik yang menjadi wadah ajojing
maupun yang sekedar menyewakan peralatan lengkap untuk pesta
remaja.
Kebangkitan ini justru terasa karena beberapa waktu sebelumnya
kelesuan melanda dunia kegiatan muda-mudi ini. Dan kelesuan
kemarin itu juga disebabkan karena sebelumnya semangat ajojing
sudah diumbar sedemikian rupa, bahkan sampai ke pinggir-pinggir
kota -- waktu itu bersama dengan populernya wabah narkotik.
Singkatnya, harga ajojing waktu itu menjadi murah dan dijauhi
menak-menak.
Adapun naiknya, kembali sekarang ini, barangkali dibawa oleh
pengaruh Kenop 15 dan harga BBM. Karena tidak semua orang mampu,
disko menjadi elit lagi. Dalam hal ini Ais, 18 tahun, putera Ali
Said SH yang memimpin rombongan Disko Studio 12 (pecahan
Madlod pimpinan Boy Ali Sadikin), menunjuk video kaset yang
sekarang membanjir di sini (TEMPO 15 April) sebagai salah satu
penyebabnya. "Banyaknya video kaset yang berisi film musik
seperti Saturday Night Fever dan Grease-nya John Travolta
itu, yang menggairahkan kembali," katanya.
Mungkin benar. Dan karena itu dunia disko memang dunia yang
mahal. Untuk masuk Pitstop misalnya, malam Minggu satu orang
harus bayar Rp 6000. Sama dengan di Oriental Club Hilton. Masuk
Guwa Rama di HI, Rp 3000. Masuk Tanamur Rp 1500.
Sindikat Diskotik
Pitstop dan TOC lebih mahal mungkin karena tempatnya lebih baik
dan koleksi lagunya bagus-bagus. Tapi mungkin juga karena kedua
diskotik ini (ditambah The Matahari Club di Bali Hyatt Hotel,
Sanur) sama-sama dikelola Juliana's of London -- semacam
sindikat diskotik antar bangsa yang punya cabang di berbagai
negara -- yang menyediakan seluruh peralatan disko dan
sekaligus dee jay-nya, yakni yang mengendalikan lagu-lagu. Si
kusir ini tiap 6 bulan sekali pindah ke sebuah cabang Juliana's
di negara lain.
Di mana sih, letak yahudnya disko-disko Juliana's itu? Ais
sendiri mengaku merasa kagum terutama pada tataruangnya. Sedang
lagu-lagunya? "Kami tiap minggu dapat kiriman 10 PH lagu-lagu
baru dari London," kata Joan Rich (24 tahun), kusir disko
Pitstop. Lalu kata Ais: "Mereka selalu mendapat prioritas dari
produser PH untuk melejitkan lagu-lagu terbaru, untuk menguji
dan mencari pasaran. Terutama di Amerika lnggeris dan Jepang --
pasar terbesar bisnis musik." Jadi tak heran jika lagu di disko
Juliana's memang selalu baru.
Yang mungkin perlu anda tahu: penggemar disko yang paling akut
ialah para pelajar SLP sampai SLA klas 1-dan sedikit klas 2
seperti dituturkan Ais. Tetapi sebenarnya ada pembagian umur.
Pitstop misalnya, hanya membolehkan mereka yang sudah 17 tahun.
Anindita Zachman, manajer relasinya, kepada Abdul Muthalib dari
TEMPO berkata "Pengunjung rata-rata berusia 20 sampai 30 tahun.
Orang-orang tua cuma sekali seminggu. Tapi anak-anak 17 tahunan
itu, bisa 5 kali seminggu." Bagaimana pula dengan anak-anak
belia SLP, seperti di disko-disko remaja, yang tenaganya justru
baru tumbuh? Memang, disko remaja ini sering kelihatan sebagai
penyaluran tenaga belia -- semacam olah raga bermusik.
Adapun TOC di Hilton rupanya lebih diperuntukkan bagi orang
dewasa -- sebagaimana dikatakan Titi Samhani, humasnya yang
manis itu. "Karena itu," tuturnya, "suasananya diciptakan
berbeda dengan disko lain. Musik tidak terlalu bising. Lampu
sederhana, dan tempat duduk memakai sofa, sehingga sifatnya
hampir mirip sebuah lobi." Itu berbeda dengan di Guwa Rama
misalnya, yang lebih murah dan lebih santai pengunjung
diperbolehkan mengenakan celana jin dan oblong dan tanpa batas
umur, sehingga terasa bebas. Dan karena itu banak dikunjungi
remaja puber -- yakni publiknya disko-disko seperti milik Ais
itu.
Disko Ais sendiri termasuk yang sewaan -- yang tidak menyediakan
tempat ajojing. "Hampir semua yang mengundang Studio 12 ialah
mereka yang berulangtahun belasan. Dan rasanya belum pernah kami
diundang untuk memeriahkan ulang tahun di atas 17," katanya
kepada Yudhistira dari TEMPO. Kenapa? "Karena yang di atas 17
sebenarnya sudah mulai merasa malu pada teman-temannya kalau
masih pakai disko untuk ulang tahun," lanjut manajer belia yang
mengaku sudah sanggup beli sebuah mobil kolt pengangkut
peralatan diskonya -- di samping punya deposito lumayan di bank.
'Pertemuan'
Sebagai gambaran saja: disko Ais, yang merupakan gabungan
beberapa disko kecil, sekarang punya tenaga 33 orang siswa-siswi
SLP dan SLA, dan banyak juga mahasiswa. Tarifnya untuk acara
ulang tahun Rp 80 ribu. Tapi mereka sering dikontrak hotel
besar, untuk memeriahkan pesta, dengan tarif 150 ribu semalam.
Tapi Ais ingin menekankan sekali lagi, bahwa menurut
pengamatannya, yang paling jago dalam hal ajojing ialah mereka
yang SLP itu.
"Show dancer kami pun anak-anak SLP itu," katanya. Yang dimaksud
ialah mereka yang bertugas memancing orangorang dewasa untuk
bergoyang, dengan tampil lebih dulu tanpa malu-malu.
Dan yang merepotkan dari kebisingan disko ini memanglah terlalu
banyaknya pelajar yang gandrung. Apalagi ketika ada beberapa
diskotik yang buka siang hari, sehingga membujuk para pelajar
untuk bolos atau pulang sekolah langsung berdisko -- sehingga
Pemda DKI pun bertindak menutup diskotik yang buka siang itu.
Bahkan Gubernur Tjokropranolo menyatakan jumlah disko akan
dibatasi dan izin baru hanya akan diberikan untuk hotel.
Gubernur tidak merasa kawatir disko-disko akan berkembang jadi
semacam klab malam.
Ketika disinggung adanya kesan dijadikannya kegiatan itu sebagai
ajang pertemuan si hidung belang (dewasa) dengan si kumbang
malam, Gubernur berkomentar: "Tempat manapun bisa saja digunakan
untuk itu -- tergantung yang punya niat. Yang jelas di diskotik
'kan tidak ada hostes."
Tapi rupanya ada semacam keresahan di kalangan remaja sendiri.
Katnis ming gu lalu, sembilan orang pengurus IKOSIS (Ikatan
Organisasi Siswa Intra Sekolah) ganti mendatangi Kadapol Metro
Jaya Brigjen Pol. Anton Sudjarwo. Mereka antara lain
dibingungkan oleh berita, khususnya di sementara koran, bahwa
sekitar 40.000 pelajar DKI biasa masuk tidak hanya ke disko --
tapi jua klab malam, hotel dan sebagainya (lihat Pendidikan).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini