Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Mengintip Kesamaan Budaya Masyarakat Adat Suku Boti dengan Baduy

Masyarakat adat Boti adalah suku paling menolak modernisasi di Nusa Tenggara Timur. Lokasinya sangat terpencil, dan belum dialiri listrik.

20 Juli 2018 | 13.44 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Suku Boti di Provinsi Nusa Tenggara Timur dikenal menolak modernisasi. Mereka mempertahankan adat istiadat dengan teguh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Masyarakat adat masih banyak yang mempertahankan tradisi mereka. Suku Baduy di Banten misalnya. Meski digempur modernisasi di sekitarnya, tanah adat di sana terlarang segala yang modern masuk mempengaruhi masyarakat adat setempat. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di Provinsi Nusa Tenggara Timur, aku juga menjumpai masyarakat adat yang menolak modernisasi. Mereka teguh mempertahankan tradisi mereka.  

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suku Boti. Ke sanalah aku hari ini. Tanpa rencana. Pertama kali mendengarnya dua tahun lalu waktu pertama kali ke Kupang. Singgah di salah satu toko kain tenun, tertarik dengan salah satu motif. Eh, ternyata motif itu dari Boti.

Konon katanya suku Boti adalah suku paling menolak modernisasi di Nusa Tenggara Timur. Lokasinya katanya sangat terpencil, dan belum dialiri listrik. Katanya mistis masih sangat kuat. Yang paling dipercayai semua orang: makanan akan tiba-tiba muncul apabila kita bertamu. Oh ya, satu lagi: katanya kalau siapa pun yang akan datang ke sana, Bapa Raja akan tahu siapa yang akan datang, berapa orang, apakah orang baik atau jahat, dan kapan akan datang.

Aku akan ceritakan apa yang terjadi tadi.

Pertama, lokasinya memang jauh. Berada di Kecamatan Ki’e, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Sekitar hampir tiga jam dari Kota Soe, atau enam jam dari Kupang. Jalanan bukan terisolasi, tapi memang akses yang masih sangat buruk. Jalan masih batuan sertu dan tanah liat.

Kedua, suku Boti adalah penghayat kepercayaan Uis Neno Ma Uis Pah. Seperti Parmalim di Sumatera Utara, Sunda Wiwitan di Jawa Barat, dan Marapu di Sumba.

Ketiga, lokasi Suku Boti tinggal belum dialiri listrik, kecuali genset yang ada di rumah Bapa Raja. Rumah Bapa Raja sendiri yang sudah berlantai keramik dan berdinding kayu. Masyarakat lainnya tinggal di Rumah Bulat, rumah adat di NTT. Selain listrik, masyarakat juga sudah memakai baju, dan bawahan adalah kain tenun. Mahal ya pakaian sehari-hari mereka 

Keempat, makanan dan minuman yang tiba-tiba muncul itu kayaknya fiksi. Tadi kami disuguhi kopi, jagung bunga (popcorn tradisional), dan pisang goreng (tanpa tepung ya!). Kopinya memang masih panas, tapi jagung bunga dan pisang sudah dingin. Artinya gak ada yang tiba-tiba muncul ya gaes! Ada banyak mama-mama yang menyediakannya.

Kelima, Bapa Raja (mungkin) tidak tahu kami akan datang. Karena kami awalnya memang tidak berencana ke sana. Juga Bapa Raja sedang tidak berada di rumah saat kami tiba.

Di luar itu semua, hal menariknya adalah mereka memang masih memegang teguh adat istiadat. Ada aturan yang tak tertulis, juga hal-hal yang tak bisa diperbincangkan bebas.

Misalnya, laki-laki tidak diperbolehkan memotong rambut. Kalau anak lebih dari dua, maka salah satunya tidak akan bersekolah untuk menghindari ilmu pengetahuan yang mengkontaminasi kebudayaan. Jumlah Bapa Raja sebelumnya yang diketahui hanya empat generasi, selebihnya tidak bisa dibahas. Ada loppo (pondok) yang khusus diperuntukkan bagi Bapa Raja. Suku Boti mengenal sembilan hari dalam seminggu, dan hari kesembilan adalah hari beristirahat.

Mari berkunjung ke Suku Boti!

 

Tulisan ini sudah tayang di Gustersihombing

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus