Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Ngada - Jika anda menempuh perjalanan selama 30 menit dari Bajawa, ibu kota Kabupaten Ngada, di Flores, ke arah Selatan, bersiaplah “menemukan” lorong waktu yang akan membwa ke masa lampau. Anda akan sampai di kampung adat Bena yang masih mempertahankan kebiasaan dan adat era megalitikum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kampung Bena terdapat di kaki Gunung Inerie. Ini adalah gunung api dengan puncak tertinggi di Pulau Flores. Ketinggiannya 2.245 meter di atas permukaan laut
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di bawah tanah lapang luas dengan pepohonan bambu di sekelilingnya, berdirilah kampung Bena. Sebelum masuk ke kampung adat, para pelancong harus membayar tiket masuk Rp 25 ribu untuk turis lokal.
Setelah mendapatkan tiket, anda akan dipinjami ikat kepala yang harus dipakai sebagai salah satu syarat masuk perkampungan.
Menyusuri kampung Bena, waktu seakan berhenti. Kampung ini seperti gerbang lokomotif waktu yang membawa siapa pun mundur menuju kehidupan ribuan tahun silam.
Cara hidup masyarakat masih begitu tradisional. Rumah-rumah kuno nan unik dibediri. Bentuk perkampungannya berundak-undak, seperti sebuah desa di perbukitan. Bangunan rumah penduduk masih terbuat dari kayu beratap rumbai-rumbai.
Di sana berdiri kira-kira 45 rumah. Keluarga yang tinggal di rumah-rumah tersebut berasal dari sembilan suku. Di antaranya suku Bena, Ago, Dizi, Dizi Azi, Deru Lalulewa, Deru Solamae, Khopa, Wahto, dan Ngada.
Rumah-rumah di perkampungan adat dibangun dengan mempertahankan kontur asli tanah. Itulah sebabnya, bentuk kampung tersebut berundak-undak.
Di ujung kampung, ada sebuah bukit kecil, yang menjadi titik kumpul masyarakat untuk berdoa dan beribadah. Di sana bersemayam patung Bunda Maria.
Patung Bunda Maria berdiri di tengah bebatuan yang ditata seperti gua. Di sekeliling gua juga terdapat batu-batu besar.
Bebatuan tak cuma dijumpai di bukit. Di muka tiap rumah pun terdapat bebatuan besar dengan ujung runcing. Batu itu merupakan simbol pemujaan terhadap roh-roh nenek moyang.
Masyarakat Kampung Adat Bena hidup mempertahankan tradisi leluhur mereka sejak zaman batu. Maka itulah kampung ini disebut kampung megalitikum.
Di beranda rumah, para perempuan menggelar alat tenun bukan mesin. Setiap hari mama-mama—sebutan untuk perempuan sudah beristri—memintal benang dan menenunnya menjadi kain tradisional yang dipasarkan kepada wisatawan.Seorang penenun yang tinggal di Kampung Adat Bena, Flores
Kain-kain tenun itu dijual mulai Rp 75 ribu hingga jutaan rupiah. Harganya cukup mahal lantaran bahan-bahannya alami. Pewarnanya berasal dari akar tumbuh-tumbuhan dan dedaunan.
Sementara para perempuan menenun, laki-laki bekerja sebagai peladang. Saat siang hari, para bapak pergi ke kebun di lereng gunung.
Ritus hidup masyarakat adat Kampung Bena menarik perhatian wisatawan asing. Suzanne van den Beek, warga asli Belanda, yang ditemui di Kampung Bena, mengaku tak menyangka bisa menjumpai perkampungan zaman batu di masa modern.
“Ini luar biasa mengagumkan dan saya belum pernah menjumpainya sebelumnya,” tuturnya.
Kampung Bena menjadi salah satu bukti sejarah bahwa peradaban masyarakat adat yang banyak bermukim di Flores masih terus hidup.
Untuk mencapai kawasan ini dari Bajawa juga merupakan pengalaman mengesankan. Tempo pernah menjangkau kampung ini dengan menumpang motor warga setempat, Juli 2017.
Menyusuri jarak sepanjang 19 kilometer, hampir tak terlihat kehidupan di jalan yang menghubungkan Kota Bajawa dan Kampung Bena. Selepas perkotaan kecil, hanya hutan dan pegunungan yang tampil di kanan-kiri jalanan.
Medannya pun tak main-main. Tanjakan, turunan, dan kelokan esktrem serta-merta bisa dijumpai. Laurent, 35 tahun, yang memberi tumpangan Tempo hati-hati betul mengatur gas motornya.
“Jalanan licin. Lumpur turun kalau habis hujan,” kata Laurent saat itu. Meski sedang kemarau—kala itu, cuaca Bajawa tak bisa ditebak. Wilayahnya yang terletak di dataran tinggi membuat hujan sekonyong-konyong bisa turun.
Kira-kira 30 menit setelah berjibaku dengan medan yang berliku-liku, pemandangan berubah. Kini, yang tampak adalah kantong-kantong perkampungan di lereng gunung.
“Itu Gunung Inerie,” kata Laurent. Saat itulah perjalanan menuju Kampung Bena telah finish, dan saatnya menyusuri loorng waktu di Kampung Bena.
Artikel lain: Begini Rasanya Menyusuri Kampus UIN Sunan Kalijaga