Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Menyusuri Nirwana Alas Wadas

Penduduk sekitar menyebut Hutan Wadas sebagai tanah surga. Keanekaragaman hayati Hutan Wadas menjadi sumber penghidupan warga Desa Wadas.

29 Maret 2022 | 08.00 WIB

Petani terdampak rencana penambangan batu andesit untuk material Proyek Strategis Nasional Bendungan Bener sedang memanen singkong di hutan Desa Wadas Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, Ahad, 27 Maret 2022. TEMPO | Shinta Maharani
Perbesar
Petani terdampak rencana penambangan batu andesit untuk material Proyek Strategis Nasional Bendungan Bener sedang memanen singkong di hutan Desa Wadas Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, Ahad, 27 Maret 2022. TEMPO | Shinta Maharani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Yogyakarta - Garengpung berkicau nyaring beradu dengan burung pipit dan kutilang dalam cuaca cerah pagi itu. Capung beterbangan dengan sorot cahaya matahari yang menerobos rimbun hutan Wadas di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, Ahad, 27 Maret 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Para petani dan pemilik ladang mulai menapaki jalan menanjak menuju perbukitan hijau yang berjarak tiga kilometer dari jalan utama Dusun Kaliancar. Sebagian bertelanjang kaki dan sebagian memakai sandal dan sepatu kets yang menyisakan lumpur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Hari itu, Puji Supangat, 56 tahun, petani Desa Wadas mengantar saya dan enam jurnalis dari Yogyakarta mengelilingi alas hingga siang hari. Penduduk menyebut alas itu sebagai tanah surga Wadas. Hutan Wadas mengandung batuan andesit yang akan ditambang pemerintah sebagai material Proyek Strategis Nasional Bendungan Bener, yang berjarak 10 kilometer dari alas tersebut.

Puji menjadi peta berjalan, menunjukkan satu per satu tumbuhan yang menjadi komoditas andalan mereka. Kemukus, tanaman rempah endemik Indonesia menjalar pada batang-batang pohon di sepanjang kanan dan kiri jalan. Ada pula pohon vanili yang merambat subur di pepohonan. Dua tanaman ini menurut Puji sangat menjanjikan. Harga vanili misalnya bisa mencapai Rp 200 ribu per kilogram.

Pohon vanili di hutan Desa Wadas Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, Ahad, 27 Maret 2022. TEMPO | Shinta Maharani

Tanaman itu juga tidak memerlukan perawatan secara khusus, misalnya pemupukan. “Tumbuh secara organik karena pupuk kimia bisa membunuh kemukus dan vanili,” kata Puji. Di Hutan Wadas, dia memiliki lahan seluas sekitar dua hektare. Selain kemukus dan vanili, dia juga menanam durian, petai, pisang, dan cabai rawit. Musim penghujan kali ini membuat Puji sedih karena dia gagal memanen durian. Sebanyak 40 pohon duriannya tidak berbunga dengan baik.

Puji mengunggulkan panen durian karena paling menjanjikan dari semua tanaman yang dia punya. Bila hasil bagus, maka dalam satu kali panen dia bisa mendapatkan keuntungan Rp 40 juta. Wadas terkenal dengan komoditas durian yang memiliki rasa khas manis legit.

Di sepanjang perjalanan, kami mengamati beragam tanaman, tumbuh rimbun, dan produktif selepas disiram air dari langit pada Sabtu malam. Petani Wadas menanam dan mewariskan tanah dari generasi ke generasi. Mereka menerapkan sistem pertanian multikultur yang memberi hasil dari beragam tanaman secara bergantian sepanjang tahun. Pohon aren, kelapa, singkong, palem, mahoni, kolang kaling, dan kopi juga tumbuh melimpah. Selain tanaman berbatang keras, mereka juga menanam kunyit, jahe, kencur, dan temu lawak.

Petani Desa Wadas memanen singkong di hutan Wadas, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, Ahad, 27 Maret 2022. Mereka hanya dapat memanen singkong karena terdampak rencana penambangan batu andesit untuk material Proyek Strategis Nasional Bendungan Bener. TEMPO | Shinta Maharani

Perjalanan kami ke hutan terhenti di tengah jalan. Kami melihat tiga petani sepuh yang sedang memanen singkong. Dua di antaranya sedang istirahat di kebun singkong yang tanahnya dicangkul. Mereka membawa bekal berupa pisang dan lemet, makanan khas Jawa berbahan singkong, gula aren, dan kelapa parut. Saya dan seorang jurnalis menghampiri mereka dan melahap lemet.

Ismun, satu dari tiga petani itu mengatakan panen singkong mengobati rasa sedihnya karena keluarganya tidak bisa mengolah gula aren berbahan baku air nira yang diperoleh dari pohon arena atau enau. Air nira tidak keluar dengan lancar sehingga penyadap menghentikan aktivitasnya.

Menurut warga Dusun Karang itu, pohon aren terhambat mengeluarkan air nira karena penyadap menghentikan aktivitasnya selama hampir sepekan selama kisruh di Wadas. Mereka takut ke hutan setelah polisi menangkap warga penolak tambang batuan andesit.

Pohon karet dan pohon kemukus di Hutan Wadas, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, Ahad, 27 Maret 2022. TEMPO | Shinta Maharani

Ismun memiliki 50 pohon aren yang dia tanam di sekitar pohon randu alas atau Bombax ceiba berukuran jumbo. Pohon tua yang dibebat kain putih ini berada tepat di calon lokasi tambang batu andesit. Pohon itu menjadi pengikat Warga Wadas menolak tambang, bisa dibilang pohon sakral. Di lahan seluas 1 hektare miliknya, selain pohon aren, dia menanam durian.

Lelaki berusia 64 tahun itu menjelaskan, idealnya penyadapan nira dilakukan sehari dua kali, yakni pagi dan sore. Empat pohon nira bisa mengisi delapan bumbung atau wadah air nira dari bambu. “Kini macet. Air nira susah keluar,” ujar Ismun.

Dia kemudian mengandalkan hasil panenan komoditas lainnya karena isterinya tidak bisa mengolah gula aren. Singkong satu di antaranya, yang dia panen setiap enam bulan sekali. Singkong itu diolah menjadi keripik. Satu kilogram keripik bernilai Rp 18 ribu dan Ismun menjualnya ke pasar dan warung-warung terdekat dari rumahnya.

Bagi Ismun, lahan menjadi penopang kehidupan keluarganya. Ismun tak akan melepas lahannya untuk penambangan batu andesit. “Demi anak cucu. Berapapun tidak kami jual,” kata dia.

Gubuk-gubuk warga Desa Wadas Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, di hutan, Ahad, 27 Maret 2022. TEMPO | Shinta Maharani

Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas atau Gempa Dewa, Walhi Yogyakarta, dan LBH Yogyakarta membuat laporan tentang potensi Desa Wadas. Laporan itu menyebutkan tanaman budidaya yang ditanam oleh warga Dusun Wadas bernilai mahal, seperti petai yang mencapai Rp 241 juta per tahun, kayu sengon Rp 2 miliar per tahun, kemukus Rp 1,35 miliar per tahun, vanili Rp 266 juta per tahun, dan durian Rp 1,24 miliar per tahun.

Desa Wadas juga memiliki keragaman fauna, khususnya burung yang bisa terancam ekosistemnya jika terjadi penambangan. Jenis burung di Wadas antara lain kleci, kutilang, walet sapi, cekak gunung, madu kelapa, tekukur, pipt, bondol haji, trocokan, blekok sawah, prenjak jawa, prenjak sisi merah, dan elang.

Setelah mendengar cerita Ismun, rombongan kami bersama Puji melanjutkan perjalanan. Puji mengajak kami menaiki jalanan berlumpur menuju puncak perbukitan. Dia menunjukkan sebuah makam yang dipayungi rimbun daun pohon kemloko atau pohon malaka (Phyllanthus emblica). Warga Wadas meyakini makam itu adalah kuburan pengikut Pangeran Diponegoro yang bernama Dipoyudo.

Setelah berziarah ke makam dan melewati jalan terjal perbukitan itu, kami turun pulang menuju rumah Tumisih, warga yang kami tinggali selama dua hari. Dua pemuda yang banyak membantu kami, Heni dan Budi menghentikan langkah kami. Mereka meminta kami menunggu sejenak.

Rupanya mereka mengambil kelapa muda hijau dari pohon terdekat. Peluh kami dari hasil menyusuri hutan terbayarkan dengan kesegaran air kelapa muda itu. Semuanya berbagi air kelapa muda dan meneguknya.

Baca juga:
3 Kali Didatangi Ganjar, Warga Desa Wadas: Sama Sekali Tak Ada Hasil

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik Tempo.co Update untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram lebih dulu.

Shinta Maharani

Shinta Maharani

Kontributor Tempo di Yogyakarta

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus