Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sunlie Thomas Alexander
Cerpenis & penyair, tinggal di Yogyakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tidak. Tak ada pembantaian terhadap warga Uighur di Xinjiang," kata Bapak Ma, pengusaha asal Xinjiang, kepada saya dalam bahasa Mandarin di serambi Masjid Huaisheng. Kami berdua membuka semua pintu masjid tertua di Cina itu sembari menunggu waktu zuhur. Masjid itu berada di kompleks makam Saad bin Abi Waqqas-sahabat Nabi Muhammad SAW.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Itu adalah hari kedua saya di Guangzhou. Sehari sebelumnya, di dalam kereta super-cepat yang membawa kami dari Hong Kong menuju ibu kota Provinsi Guangdong ini, saya memang sudah mengutarakan keinginan untuk berziarah ke makam Sayyidina Saad kepada Bapak Zhou Xin, yang menemani perjalanan saya ke Cina. Mengetahui saya seorang muslim Tionghoa, wartawan senior sebuah harian bisnis terkemuka Hong Kong itu langsung mengangguk sepakat.
"Baik, Sunlie. Biar nanti kamu bisa melihat sendiri bagaimana pemerintah Republik Rakyat Cina memperlakukan muslim, tempat ibadah, dan bangunan-bangunan suci Islam, apakah memang seperti yang selama ini digembar-gemborkan oleh media Barat," kata dia antusias.
Tidak begitu mudah mencari letak permakaman yang telah dijadikan sebagai heritage kebudayaan oleh Pemerintah Kota Guangzhou ini. Sopir taksi yang mengantar kami dari Beiyuan Hotel pun bisa dikatakan sepenuhnya bergantung pada panduan GPS di layar ponselnya. Sebab, memang tidak banyak warga Guangzhou yang mengenal situs bersejarah ini kendati usianya sudah mencapai ratusan tahun. Bahkan seorang warga lokal yang ditanya oleh Pak Zhou mengaku sama sekali belum pernah mendengar ihwal keberadaannya.
Barulah setelah berputar-putar cukup lama dan bertanya kepada seorang perempuan penjual tiket taman rekreasi tak jauh dari lokasi selepas menyeberangi zebra cross, kami berhasil menemukan letak permakaman muslim ini.
Toh, makam paman (dari pihak ibu) Rasulullah SAW ini, beserta Masjid Huaisheng, tak pernah sepi dari pengunjung. Saban hari ratusan orang datang dari berbagai penjuru Cina dan dunia untuk berziarah. Apalagi pada hari-hari sekitar Maulid Nabi. Hal ini terjadi tentu saja mengingat reputasinya yang memang amat termasyhur di dunia Islam internasional, di samping pengaruhnya yang begitu besar dalam kebudayaan Islam Tiongkok.
Karena itu, tak mengherankan jika belum juga mencapai gerbang permakaman, kami sudah berpapasan dengan sejumlah peziarah, baik yang berkelompok maupun tampak sendirian. Kebanyakan dari mereka mengenakan kopiah putih atau berkerudung hitam. Begitu melihat saya dan Pak Zhou, mereka pun menganggukkan kepala dan tersenyum ramah. "Assalamualaikum," sapa saya, yang dibalas mereka dengan nada bersahabat.
Ah, saya jadi teringat kepada Anis, seorang teman Buruh Migran Indonesia (BMI) di Hong Kong yang pernah bercerita bahwa pada musim liburan atau saat cuti, banyak rekannya sesama BMI yang berziarah ke makam ini. Tanpa mempedulikan jarak atau biaya, biasanya para pekerja migran itu datang berkelompok menggunakan kereta cepat dari Hong Kong melalui jalur Shenzen.
Hari itu, beberapa bulan lalu, cuaca Kota Guangzhou cukup panas, berkisar 35-36 derajat Celsius. Kemeja yang saya kenakan pun nyaris basah kuyup. Meski demikian, begitu kami menginjakkan kaki ke dalam kompleks permakaman, seketika udara berubah menjadi sejuk dan adem berkat barisan pepohonan besar di kiri-kanan jalan masuk.
Sebelum memasuki kawasan ini, saya wudu terlebih dulu di sisi kiri gerbang permakaman. Pak Zhou-meskipun beragama Buddha-juga langsung membuka sepatu dan kaus kakinya lalu ikut membasuh tangan, muka, dan kaki di bawah kucuran air keran sebagai bentuk penghormatan beliau karena hendak memasuki area suci umat Islam.
Ada beberapa kuburan muslim di kedua sisi jalan setapak yang kami lewati menuju makam Sayyidina Said. Semuanya merupakan makam keluarga pejabat muslim dari suku Hui pada zaman Dinasti Ming dan Dinasti Qing.
"Ini seorang jenderal muslim," ujar Pak Zhou sambil menunjuk sebuah makam yang tampak cukup terawat. Saya mencoba mengartikan tulisan beraksara Mandarin di batu nisannya, tapi merasa kesulitan karena penguasaan aksara Cina saya yang memang masih terbatas, di samping inskripsi itu sendiri ditulis dalam bentuk syair kuno.
Kompleks makam Saad bin Abi Waqqas terletak di sisi barat Lanzhou, Jalan Jiefang Utara, Distrik Yuexiu (Bukit Guihua), Kota Guangzhou. Makam itu oleh masyarakat setempat lebih dikenal sebagai Qingzhen Xian Xian Gu Mu atau Makam Kuno Orang Suci Muslim. Dalam bahasa Mandarin, "qingzhen" merupakan salah satu istilah yang ditujukan kepada penganut agama Islam. Sementara itu, "xian xian" berarti orang bijak atau orang suci yang telah wafat.
Selain itu, makam tersebut kerap disebut sebagai Hui-Hui Fen, yang bermakna kuburan muslim. Kata "Hui" di sini seyogianya merujuk pada suku Hui, salah satu suku di Cina yang menganut agama Islam. Jadi, Islam pun sering disebut sebagai Huijiao atau agama suku Hui. Sebutan itu sudah ada sejak zaman Dinasti Yuan.
Menurut catatan, Sayyidina Saad wafat di Guangzhou pada 674 dalam usia 80 tahun. Beliau dikirim oleh Khalifah Usman bin Affan sebagai utusan resmi untuk Kekaisaran Tiongkok pada masa pemerintahan Kaisar Gaozong dari Dinasti Tang, tepatnya pada 650. Itu merupakan kedatangannya yang ketiga ke Cina.
Satu dari 10 orang yang syahdan dijamin masuk surga oleh Rasulullah SAW ini pertama kali datang ke Guangzhou melalui laut dari Habasha (Etiopia) pada 629 (ada yang menyebut 630) untuk memperkenalkan agama Islam. Kemudian, pada 637, beliau kembali lagi ke Cina melalui Persia membawa salinan mushaf Al-Quran bersama tiga orang sahabat, yakni Thabit bin Qays, Uwais al-Qarni, dan Hassan bin Thabit.
Pada masa kedatangannya yang ketiga kali itulah beliau mendirikan Masjid Huaisheng atas izin dari Kaisar Gaozong. Berdiri di atas area seluas 3.600 meter persegi, masjid ini dibangun dengan perpaduan arsitektur Cina tradisional dan Arab yang memukau. Hanya, arsitektur Cina memang tampak lebih dominan, dari pilar-pilar bundar bercat merah, ukiran-ukiran dan motif, wujud pintu, hingga atapnya yang berujung lengkung dan dihiasi genting hijau.
Masjid ini juga memiliki sebuah menara azan yang terkemuka karena keunikannya, yakni Menara Guangta atau Menara Cahaya. Menara itu dinamakan demikian karena pada zaman dulu menara abu-abu berbentuk silinder ini tidak hanya berfungsi mengumandangkan azan. Menara tersebut juga menjadi semacam mercusuar untuk memandu perahu-perahu yang melintas di Sungai Zhu Jiang atau Sungai Mutiara.
Huaisheng mengalami beberapa kali renovasi, termasuk ketika sebagian bangunan suci ini dilahap api pada 1695. Berdasarkan manuskrip, masjid ini pertama kali diperbaiki pada 1350, yakni pada masa Dinasti Yuan. Perbaikan selanjutnya dilakukan pada era Dinasti Qing pada masa pemerintahan Kaisar Kangzi (Guangxu). Inskripsi "Jiao Chong Xi Yu" (Agama dari Barat) pada plakat yang menghiasi gerbang utara masjid merupakan pemberian Kaisar Kangzi dan konon ditulis oleh ibu suri Cixi sendiri.
Pada periode Republik Cina, tepatnya pada 1935, ruang salat masjid direnovasi total dengan fondasi beton bertulang dan diperluas hingga dapat menampung lebih-kurang seribu orang. Pada masa inilah pintu utamanya dipindahkan dari timur ke selatan aula utama, sehingga langsung menghadap ke arah halaman selatan.
Kesan saya sejak awal, sebagai sebuah heritage, kompleks makam Sayyidina Saad dan Masjid Huisheng memang terpelihara dengan sangat baik. Bahkan hingga kini pemerintah Kota Guangzhou masih terus memperbaruinya. Terbukti pada saat kunjungan kami, sejumlah bangunan tampak sedang diperbaiki. Menurut Mandor Bao, muslim asal Qinghai yang bertanggung jawab atas proyek ini, perusahaan yang mengerjakan adalah perusahaan konstruksi dari Beijing yang sudah cukup berpengalaman dalam merenovasi masjid.
"Ya, karena di utara memang terdapat lebih banyak muslim dan bangunan masjid," tutur Pak Zhou kepada saya.
Kami bertemu dengan Bapak Ma di teras makam Sayyidina Saad tak lama setelah saya selesai membacakan surah Yasin di samping makam dan bermaksud hendak mengambil foto makam-makam lain. Berkaus hitam lengan pendek dengan celana panjang abu-abu dan membawa tas sandang hitam, pria suku Hui ini menyahut dengan ramah saat disapa oleh Pak Zhou. Begitu mengetahui beliau datang dari Xinjiang, kami langsung tertarik untuk menanyakan kepada dia seperti apa kondisi daerah itu sekarang. Apakah memang sekacau yang diberitakan oleh media? Namun jawabannya ternyata cukup tak terduga.
"Saya berani mengatakan bahwa keamanan publik di Xinjiang saat ini amat baik di segala aspek, terutama perekonomian, yang berkembang dengan pesat. Pemerintah membangun infrastruktur di Xinjiang dengan serius, dari sekolah, rumah sakit, hingga apartemen."
"Namun hampir semua laporan media di luar negeri bernada negatif. Terutama terkait dengan Cina sebagai negara komunis yang dianggap memusuhi agama," kata saya berkeras. Mendengar kata-kata saya, Pak Ma mengulum senyum.
"Saya bukan anggota Partai Komunis, tapi saya mengatakan yang sebenarnya. Dan saya tegaskan sekali lagi bahwa Partai Komunis dan pemerintah Cina sudah bekerja keras menjaga kami. Kalau tidak percaya, Anda boleh datang sendiri ke sana untuk melihat-lihat. Begitu pula dengan para wartawan dari negara Anda dan orang-orang yang percaya pada pemberitaan media Barat. Silakan saja datang ke Xinjiang dan melihat langsung apakah saya berkata jujur atau tidak," ucap dia dengan mimik serius.
Tentu saja saya juga mengetahui bahwa muslim Uighur memang telah lama menjadi jualan politik oleh Barat seiring dengan memanasnya perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina. Namun, persoalannya, media Barat memang memiliki jaringan dan pengaruh sangat kuat dalam mengangkat isu yang menjadi titik lemah Beijing ini secara reguler, sehingga tidak mampu diimbangi secara memadai oleh media-media Cina.
Padahal, seperti diungkapkan Pak Ma, akar permasalahan muslim Uighur di Xinjiang adalah separatisme. Di sana ada kelompok-kelompok yang ingin memisahkan diri dari RRC dan mendirikan negara Islam. "Mereka ini adalah orang-orang Uighur yang pulang dari Timur Tengah membawa paham radikal dan terlibat dengan berbagai kelompok Islam garis keras transnasional, seperti ISIS dan Al-Qaidah. Di Xinjiang, mereka melakukan beragam aksi terorisme dengan sasaran utama warga mayoritas Han. Tentu saja pemerintah mesti menindak tegas mereka," kata Pak Ma.
Selain pemberitaan, hoaks yang disebarkan di media sosial ikut memperumit informasi. Termasuk berbagai hoaks tentang pelarangan puasa dan salat di Cina yang beredar luas di Tanah Air. Padahal fakta yang saya temukan di Guangzhou justru memperlihatkan sebaliknya. Pintu masjid tak pernah terkunci serta waktu salat tertera jelas dalam beberapa bahasa di depan masjid, lengkap dengan jadwal ceramah dan daftar ulama yang akan mengisinya. Toko dan warung muslim (yang pemiliknya kebanyakan warga Cina keturunan Timur Tengah) juga bertebaran di sekitar Masjid Huaisheng.
"Selain merenovasi masjid dan bangunan muslim lainnya, pemerintah Cina mendanai kegiatan-kegiatan keagamaan. Tentu saja bukan cuma Islam, melainkan juga agama-agama lain. Yang ditindak oleh pemerintah kami adalah gerakan-gerakan radikal yang menjurus ke arah separatisme dan terorisme," Pak Ma menambahkan.
Selain dengan Bapak Ma, kami sempat mengobrol dengan seorang peziarah dari Pakistan dan Bangladesh di makam Saad bin Abi Waqqas. Saya menyapa mereka dalam bahasa Inggris dan berbasa-basi menanyakan asal mereka. Menurut peziarah asal Pakistan itu, ia datang ke Guangzhou untuk berbisnis, tapi meluangkan waktu untuk berziarah ke makam Sayyidina Saad. Ia cukup senang ketika mengetahui bahwa saya datang dari Indonesia.
"Semua muslim adalah keluarga, di mana pun," kata dia.
"Ya, saya kira itu benar. Anda melihat pohon kurma Arab di sana?" ujar Pak Zhou sambil menunjuk ke arah sebatang pohon kurma yang tumbuh rindang di halaman masjid. "Pohon itu juga tumbuh dengan baik di Cina." Kami semua tertawa karena memahami maksudnya. Sebelum berpisah, lelaki Pakistan yang saya lupa namanya itu sempat membagikan cokelat batangan kepada kami.
Pada malam harinya, ditemani oleh Xie yang sempat belajar bahasa Indonesia di UGM Yogyakarta, saya dan Pak Zhou memutuskan bersantap malam di sebuah restoran Uighur terkemuka di Kota Guangzhou. Drunk Lou Lan, namanya. Restoran ini didesain dengan interior bercorak kearab-araban yang cukup eksotis, lengkap dengan motif-motif khas Uighur, dari pintu, langit-langit, dinding, meja-kursi makan, meja kasir, hingga hiasan piring.
Bahkan, selain menyediakan beragam sajian khas Uighur, termasuk sate kambing yang lezat, Drunk Lou Lan menyediakan bir produksi Xinjiang bermerek Wusu, yang labelnya ditulis dalam tiga bahasa, yakni Inggris, Mandarin, dan Arab. Rasanya tidak kalah oleh bir-bir merek terkenal! Di restoran ini, sambil makan, kami juga disuguhi musik dan tarian Uighur yang dibawakan oleh sepasang penari.
Menziarahi Makam Sahabat Nabi di Guangzhou
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo