Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Cerita dari Dapur Redaksi Media Jerman

Di Jerman, ada mekanisme dukungan publik yang luas dan kuat. Disrupsi Internet tak terlalu mempengaruhi oplah media cetak.

19 Januari 2019 | 06.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kantor majalah Der Spiegel di Hafencity, Hamburg, Jerman.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Disrupsi Internet tak terlalu berpengaruh terhadap bisnis media Jerman.

  • Pembaca berita versi cetak masih banyak.

  • Pembaca menjadi andalan utama bisnis banyak media Jerman.

SETELAH sepuluh hari bertamu ke dapur redaksi media-media besar di Jerman pada pertengahan Desember 2018, seorang teman perjalanan menyimpulkan: negara ini bukan tempat yang baik untuk belajar digital. Alih-alih mengolok, saya mendengarnya sebagai pujian. Media Jerman bisa bertahan di tengah disrupsi Internet. Para awaknya tak lintang pukang mencari bentuk baru media melalui platform digital sebagaimana yang terjadi di belahan dunia mana pun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Majalah paling prestisius di sana, Der Spiegel, masih mencetak 750 ribu eksemplar tiap pekan. Jika harga tiap edisi 4 euro, mereka mendapat penghasilan dari sirkulasi majalah hampir 3 juta euro atau Rp 48,5 miliar. Belum lagi dari pendapatan iklan. Dengan jumlah pembaca 13 juta tiap pekan, majalah ini masih perkasa untuk wilayah Eropa. Mereka juga punya web yang memproduksi podcast, berita 24 jam, analisis peristiwa, video, dengan sistem subscribers.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jumlah pembaca Der Spiegel (Cermin) memang turun dalam 10 tahun terakhir. Puncak oplah mereka 1,5 juta eksemplar per edisi. Ketika saya ke sana, investigasi malapraktik jurnalistik Claas Relotius belum meledak. Bahkan, ketika kami mengobrol dengan Redaktur Pelaksana Investigasi Der Spiegel, Jürgen Dahlkamp, di ruangan lain, pemimpin redaksinya baru membaca surat pengaduan dari Arizona, Amerika Serikat, bahwa reportase Relotius soal patroli di perbatasan Amerika Serikat-Meksiko tanpa mewawancarai para narasumber di artikelnya. Setelah skandal paling memalukan dalam 70 tahun sejarah majalah ini, oplahnya mungkin turun.

Koran mingguan Die Zeit (Tempo) malah mencetak koran makin banyak tiap pekan. Oplah mereka naik seiring dengan kolaborasi cetak dan online dengan menghadirkan berita-berita investigasi. Setiap pekan, koran kiri-liberal ini mencetak 600 ribu eksemplar dengan 2 juta pembaca. Apa resepnya? "Berfokus pada produk," kata Karsten Polke-Majewski, Kepala Departemen Investigasi Die Zeit Online. "Kalau mau online, fokus ke sana, kalau mau cetak juga fokus menggarap pembacanya."

Mungkin karena orang Jerman berpendidikan bagus sehingga mereka masih membaca berita. Barangkali. Di kereta bawah tanah atau bus, masih banyak orang yang menenteng majalah atau koran. Mungkin juga karena orang Jerman-negara penemu teknologi itu-agak menghindarkan diri dari Internet. Menurut Statista, orang Jerman rata-rata menghabiskan waktu online hanya satu jam sehari. Bandingkan dengan Indonesia yang empat jam lebih.

Telepon pintar yang dipegang banyak orang Jerman juga tak mentereng. Seorang kenalan, anak muda 30 tahun dari Bonn, teleponnya masih iPhone 5 dengan layarnya yang kecil dan bungkusnya agak jadul. Ia sama sekali tak punya akun media sosial. Orang-orang tua malah masih ada yang memakai Nokia lawas. Di Jerman, umumnya mereka melindungi telepon dengan bungkus, seolah-olah melindungi barang itu agar tak cepat rusak.

Maka koran dan majalah cetak masih digemari. "Jadi, Jerman bukan tempat belajar yang bagus buat mengembangkan media digital," teman itu, Suwarjono, yang memimpin redaksi Suara.com, mengulang kesimpulannya. Bisa jadi. Meskipun berita digital juga tetap diproduksi oleh media-media besar. Spiegel Online, yang mempekerjakan 200 jurnalis, membuat 50 berita sehari. Jumlahnya memang kecil jika dibandingkan dengan sebuah situs Indonesia yang memproduksi 500-600 berita online sehari.

Barangkali jumlah berita yang sedikit itu karena media Jerman selektif memilih isu dan membuatnya dengan sangat hati-hati. Artikel-artikel di online berupa long-form, bukan berita pendek yang dipecah ke dalam banyak halaman atau tautan per isu seperti di Indonesia. Di Jerman, artikel-artikel online terasa sekali dibuat dengan penuh penghayatan, tanpa usaha menonjolkannya dalam format dan gaya "umpan klik" (click-baiting) seperti media-media daring di Jakarta.

Der Spiegel membedakan tim online dan cetak. Di kantornya yang 13 lantai di Hafencity, Hamburg, tim online berada di lantai paling atas, menyatu tanpa sekat. Sedangkan tim majalah cetak berada di bawahnya. Tiap-tiap wartawan punya ruangan sendiri. Mereka selalu menguncinya setiap kali ke luar ruangan, bahkan untuk ke toilet. Saya diajak ke lantai tim investigasi dan hanya diizinkan masuk ke ruangan reporter. Dahlkamp hanya mengizinkan kami melongok ruangan data yang berserakan dokumen dari jendela kacanya.

•••

SAYA menemukan beberapa hal menarik dari media Jerman. Pertama, independensi. Tiap-tiap wartawan dari media mana pun yang ditanya soal ini akan antusias menjawab dan menjelaskannya. Bagi mereka, independensi adalah hal nomor satu dan tak bisa ditawar dibanding hal-hal lain, misalnya soal ideologi redaksi. Saking independen, beberapa media bahkan tak punya pemegang saham. Pemegang saham koran-koran ini adalah pembacanya sendiri. Seperti koran Die Tageszeitung (Koran Harian) atau Taz.

Koran itu didirikan pada 1978 oleh para mahasiswa yang ingin memproduksi suara alternatif dari media arus utama. Slogan koran ini adalah "rada kurang ajar, mandiri secara komersial, cerdas, dan menghibur". Pembaca adalah tulang punggung keuangan mereka. Tak hanya sebagai pembeli koran, tapi juga pemegang sahamnya. Menurut redaktur Asia-Pacific, Sven Hansen, tiap pembaca hanya boleh memiliki satu lembar saham seharga 500 euro untuk menghindari pemilik mayoritas. Kini ada 300 ribu pemilik.

Setiap hari, koran ini dicetak 350 ribu tanpa iklan. Ketika saya berkunjung ke kantornya di Jalan Friedrich di dekat checking point charlie (tempat pengecekan penduduk Jerman Timur yang hendak masuk ke Barat sebelum 1990) di Berlin, mereka baru pindah ke gedung baru itu.

Menurut Sven, dari biaya 20 juta euro membangun gedung, 5 juta euro berasal dari pembaca. Manajemen Taz membayar utang itu bulanan seperti membayar bunga deposito. Para pembaca tersebut menentukan segala hal: memilih pemimpin redaksi, meminta isu liputan, bahkan mengusulkan ide-ide inovasi memajukan koran dalam rapat pemegang saham tiap tahun.

Di bidang penyiaran, independensi media Jerman juga sangat kental. Ada dua lembaga penyiaran, semacam gabungan TVRI dan RRI, yang mendapat dana publik. Di Jerman, setiap rumah tangga wajib membayar pajak penyiaran 17,5 euro sebulan. Uang ini tidak masuk ke kas negara, melainkan disisihkan di sebuah rekening yang ditransfer kepada lembaga penyiaran itu. "Sehingga pemilik media ini adalah publik, bukan negara," kata Peter Hornung dari Norddeutscher Rundfunk, Lembaga Penyiaran Utara Jerman di Hamburg.

Menurut Nikolaus Steiner, wartawan Monitor, program investigasi televisi untuk Westdeutscher Rundfunk (Lembaga Penyiaran Barat Jerman) yang berpusat di Köln, masyarakat Jerman mulai menyoal pajak penyiaran itu karena nilainya terlalu besar. Tapi, Nikolaus melanjutkan, pajak itulah yang membiayai laporan-laporan investigasinya yang muncul tiga kali sepekan di WDR tentang penyelewengan aparat atau korporasi.

Kedua, kolaborasi. Tak ada lagi persaingan di antara media-media besar Jerman. Mereka kini berkolaborasi menghasilkan liputan-liputan mendalam dan investigatif. Dua atau tiga media mengeroyok satu topik dan menerbitkannya secara bersama-sama. "Kolaborasi membuat dampak liputan menjadi lebih besar," kata Peter Hornung.

Kolaborasi itu juga tak sebatas antar-media, tapi media dengan publik. Seperti dijelaskan Frank Jansen, dari koran Der Tagesspiegel, sebelum para reporter turun ke lapangan, mereka mengumpulkan masyarakat untuk meminta saran topik paling penting. Para wartawan lalu menyusun rencana liputan sebelum menginvestigasinya.

Belakangan muncul Correctiv di Berlin, lembaga nirlaba yang menghimpun wartawan lepas menginvestigasi kasus-kasus krusial di Jerman. Mereka tak punya media, karena itu biasanya para wartawan di sini membuat kerja sama dengan media konvensional untuk menerbitkan kerja-kerja penelisikan itu. Untuk memudahkan menganggit suara publik, mereka membuat sebuah peranti lunak yang bisa diakses masyarakat memasukkan usul-usul liputan.

Hal yang sama dilakukan Algorithm Watch. Lembaga ini didirikan oleh jurnalis dan profesor komputer setahun lalu. Dari kantornya yang kecil di Berlin, mereka menelisik soal-soal yang banyak dikeluhkan orang Jerman. Kini mereka tengah menyusun laporan tentang penelusuran data cek debitor bank. Di Jerman, bank punya data tiap orang dan membuat peringkat untuk kelayakan pemberian kredit. Pemakaian big data ini membuat publik Jerman marah karena tak transparan. "Kami menelusuri untuk apa saja data publik itu dipakai bank," kata Matthias Spielkamp, pendiri AW.

Ketiga, cek fakta. Setiap media punya tim khusus untuk mengecek fakta dalam artikel-artikel yang dibuat para wartawan sebelum dipublikasikan. Anggota cek fakta tidak hanya beranggotakan para jurnalis, tapi juga ahli-ahli dari universitas. Der Spiegel punya 70 orang tim cek fakta, meskipun mereka kecolongan oleh ulah Class Relotius. Di majalah Stern (Bintang) bahkan ada ahli biologi yang menjadi anggota tim ini.

Stern melipatkan jumlah anggota tim cek fakta menjadi sepuluh orang setelah terbongkar skandal diari palsu Adolf Hitler pada 1983. Mereka membeli sebuah diari dari seseorang yang mengaku mendapatkannya dari orang dekat pemimpin Nazi itu. Tanpa mengecek keasliannya, Stern langsung menerbitkannya. Belakangan, ketika sebuah media ingin mempublikasikan diari serupa, terungkap bahwa catatan harian Hitler itu palsu. Sejak itu, oplah Stern anjlok dari 1 juta eksemplar tiap pekan. Hingga kini, majalah tersebut tak lagi bisa mencetak lebih dari 700 ribu.

Menurut Uli Rauss, wartawan investigasi Stern, cek fakta sangat ketat di majalahnya. Selain menambah jumlah anggota timnya, alur pengecekan rigid. Sebelum dipublikasikan, sebuah artikel akan melewati pengecekan oleh redaktur, pemimpin redaksi, tim cek fakta, hingga pengacara. Dengan cara itu, pelan-pelan kepercayaan pembaca Stern pulih meski tak sebesar sebelum skandal diari Hitler tersebut.

•••

DARI semua hal itu, media-media Jerman tetap kukuh menjalankan fungsi media dengan liputan-liputan investigasi. Tak seperti di Indonesia, orang Jerman paham media punya visi dan misi. Frank Jansen dari Der Tagesspiegel mengaku sangat kanan dan anti ideologi kiri. Selama 28 tahun ia menginvestigasi kebangkitan komunitas neo-Nazi di negaranya. Adapun Taz sebaliknya, kiri-liberal. Koran ini bahkan mendukung Partai Hijau dan suporter utama Partai Sosial Demokrat, yang berkolaborasi dengan Partai Kristen mengantarkan Angela Merkel menjadi kanselir.

Sepanjang independen, dalam arti keputusan redaksi tak dipengaruhi pihak lain, orang Jerman tak menyoal keberpihakan dan ideologi media. Apalagi isu-isu yang dipublikasikan menyangkut kepentingan orang banyak. Peran sebagai "anjing penjaga" dan kebutuhan publik akan informasi bertemu dalam bisnis media sehingga disrupsi digital tak menjadi soal.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Bagja Hidayat

Bagja Hidayat

Bergabung dengan Tempo sejak 2001. Alumni IPB University dan Binus Business School. Mendapat penghargaan Mochtar Loebis Award untuk beberapa liputan investigasi. Bukunya yang terbit pada 2014: #kelaSelasa: Jurnalisme, Media, dan Teknik Menulis Berita.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus