Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Bulan Juli lalu, saya berkesempatan untuk kembali ke Lampung setelah lima tahun berselang sejak kali terakhir kesana. Memiliki waktu yang lumayan banyak di sana, saya mencoba mengeksplorasi beberapa tempat wisata di Lampung. Salah satunya Museum Lampung atau Museum Negeri Lampung. Kenapa saya memilih berkunjung ke museum? salah satu alasan saya adalah belajar tentang Lampung dan masyarakatnya. Simak yuk apa saja yang bisa dipelajari di sana!
Sejarah Singkat Museum Lampung
Museum Lampung mulai dibangun sejak tahun 1975, rampung dan diresmikan pada 24 September 1988. Museum yang menjadi kebanggaan masyarakat Lampung ini berlokasi di Kota Bandar Lampung, tepatnya di jalan ZA Pagar Alam No. 64. Saat ini, pengelolaan Museum Lampung berada ditangan UPTD Dinas Pendidikan.
Sebagai museum pertama dan terbesar di Lampung, Museum Lampung memiliki visi dan misi yang jelas. Visinya yaitu perwujudan museum yang berkemampuan prima dalam pelestarian, perlindungan, pemeliharaan, dan pemanfaatan Benda Cagar Budaya (BCB) untuk memantapkan jati diri masyarakat “Sai Bumi Ruwa Jurai”. Sedangkan misinya yaitu peningkatan sistematisasi pelestarian dan perlindungan BCB berdasarkan kaidah museologi. Apa sih “Sai Bumi Ruwa Jurai” jawabannya saya jelaskan dibawah ya.
Koleksi Museum lampung
Memasuki museum, kalian akan dihadapkan pada meja resepsionis untuk melapor dan membayar tiket. Setelah itu, kalian bebas berkeliling museum yang memiliki dua lantai ini. Lantai pertama, koleksi museum didominasi oleh benda-benda zaman prasejarah, Hindu-Budha, Islam, Kolonial, dan Pasca Kemerkedaan RI. Benda-benda tersebut meliputi bebatuan/prasasti, arca-arca, persenjataan, mata uang, hingga perabot rumah tangga. Sedangkan lantai dua, didominasi oleh koleksi yang menggambarkan adat istiadat masyarakat Lampung saat ini. Yuk, kita lihat koleksinya!
Dari sekian banyak prasasti, saya tertarik dengan Prasasti Dadak yang bentuknya batu memanjang dengan ukiran-ukiran yang begitu jelas dan cantik. Prasasti yang ditemukan tahun 1994 di Dusun dadak, Desa Tebing ini terdiri dari 14 baris huruf Jawa Kuno, Bahasa Melayu Madya, terdapat rajah manusia, ragam geometris dan hewan, serta umurnya sejak abad ke 14/15 M. Prasasti ini berisi tentang peminjaman tanah selama 100 tahun untuk keperluan pendirian bangunan suci. Prasasti ini menyebut tokoh Batara Guru Tuha dan Panca Resi serta penguasa air, batu, kayu, dan tanah.
Menyusuri lorong-lorong museum saya berhadapan dengan koleksi-koleksi dari zaman masuknya Hindu, Budha, dan Islam. Terdapat arca berbagai ukuran ditempat ini yang terkumpul dari zaman Hindu-Budha. Untuk peninggalan Islam sendiri, terdapat Prasasti Bodhalung, Al-Qur’an bertuliskan tangan, Stempel Marga Sabu, peralatan minum dan Teko Alpaka, Talam, Naskah, serta keramik yang bertuliskan huruf Arab.
Masyarakat Lampung juga memiliki banyak jenis senjata, diantaranya Payan Kejang (tombak panjang) dan Taming (tameng), Punduk/Tekhapang (keris), Panderang (pedang), dan Panderang tipe Lampung yang digunakan dalam acara Begawi Adat Lampung. Senjata-senjata ini konon digunakan untuk melawan Kolonial. Nah, salah satu Pahlawan Nasional yang berasal dari Lampung yang melawan kolonial adalah Radin Inten II.
Di samping itu, terdapat berbagai macam tempat air/tembikar, kendi saya biasa menyebutnya, di Museum Lampung ini. Dijelaskan bahwa, terdapat dua sistem pengeringan dalam pembuatan tembikar ini, yaitu dengan tungku ladang menggunakan jerami dan tungku oven menggunakan kayu.
Koleksi-koleksi yang berada di Lantai 1 ditutup dengan berbagai macam perkakas rumah tangga yang terbuat dari kramik. Kramik-kramik yang ditemukan di Lampung diantaranya Keramik Cina, Vietnam, Thailand, Jepang, Persia, dan Eropa. Kehadiran keramik ini menjadi bukti adanya kontak perdagangan dan budaya dengan asing sejak abad ke sepuluh masehi.
Sebelum beranjak ke lantai dua, ada baiknya kamu melihat di sisi kiri, terdapat informasi mengenai Aksara dan Bahasa Lampung, yaitu Ka-ga-nga. Aksara dan Bahasa Lampung tidak mengenal tingkat bahasa, hanya tingkatan penuturan. Bentuk aksaranya berasal dari aksara Pallawa (India Selatan) yang diperkirakan masuk Pulau Sumatera semasa Kerajaan Sriwijaya. Selain itu, aksara dan bahasa ini mirip dengan Arab, Rencong, dan Banten.
Siapa Masyarakat Lampung?
Sebelum menjelaskan siapa masyarakat Lampung, ada baiknya saya menjelaskan mengenai Lampung itu sendiri. Dilansir dari wacana.co, menurut Dr.H.N van der Tuuk, kata“Lampung”merujuk pada kata melampung atau mengapung. Sebab, jika dilihat dari laut, Lampung menyerupai bukit yang mengapung.
Di Lampung, terdapat dua golongan masyarakat, yaitu Sebatin/Sai Bathin dan Pepadun. Sebatin/Sai Bathin sendiri memiliki arti satu batin yang merujuk pada satu raja yang diwariskan secara turun temurun. Masyarakat dengan adat Sebatin biasanya mendiami daerah Lampung pesisir. Sedangkan Pepadun, berasal dari nama salah satu perangkat adat dalam proses Cakak Pepadun.
Pepadun sendiri berupa bangku yang digunakan untuk prosesi naik tahta dan pemberian gelar adat (Juluk Adok) yang berjalan lebih demokratis. Adat Pepadun berkembang di Lampung pedalaman. Karenanya, falsafah hidup masyarakat Lampung yaitu “Sai Bumi Ruwa Jurai atau Sang Bumi Ruwa Jurai” memiliki arti “satu bumi dua aliran adat budaya” (Sumber: disarikan dari berbagai sumber).
Saat memasuki area lantai dua Museum Lampung, saya langsung disambut dengan sebuah perahu besar. Perahu dengan panjang hampir 8 meter tersebut bernama Perahu Lesung. Perahu ini ditemukan di Desa Terbanggi Besar, Kecamatan Terbanggi Besar, Lampung Tengah. Berfungsi sebagai alat transportasi di sungai, rawa, dan teluk, perahu ini sudah berusia 120 tahun. Selain Perahu Lesung, terdapat Perahu Kajang dengan ukuran setengahnya yang terbuat dari kayu Rengas dan beratap daun kelapa/aren/nipah.
Saya asik berkeliling menikmati setiap informasi yang tersaji. Seperti sedang menelusuri lorong waktu untuk mengenal masyarakat Lampung lebih dekat. Di lantai dua ini, terdapat berbagai perangkat yang digunakan dari berbagai upacara Daur Hidup masyarakat Lampung, seperti upacara kehamilan, kelahiran, pernikahan, dan kematian.
Setiap upacara tersebut memiliki falsafah hidup seperti yang tertuang dalam “Kitab Kuntara Raja Niti”, yang didalamnya terdapat aturan hidup yang disebut “Titie Gemantie atau Tata Titi”. Intinya mereka sangat menjaga nama baik (Pi’il Pasenggiri) dan gelar adat (Bujuluk Buadok), murah hati (Nemui Nyimah), terbuka (Nengah Nyappur), serta tolong menolong (Sakay Sambayan).
Dari banyaknya upacara adat masyarakat Lampung yang tervisualisasi di Museum Lampung, Busepi adalah yang menarik untuk saya. Serah Sepi Bilah/Busepi (Asah gigi) merupakan upacara adat yang sudah ada sejak masa Hindu-Budha di Lampung.
Upacara ini mengandung makna pengendalian diri dari enam musuh dalam diri manusia, yaitu hawa nafsu, rakus, amarah, kemabukan, kebingungan, dan iri hati. Menjadi penanda seseorang menginjak fase dewasa atau saat pertama akil balik, Busepi menjadi gerbang untuk dapat mengikuti acara pergaulan bujang gadis. Adapun bagian gigi yang diasah adalah gigi geligi. Mirip dengan kebudayaan di Bali ya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Informasi Penting
- Tiket Masuk:
Anak-Anak: 0.5K/orang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dewasa: 4K/orang untuk perorangan dan 1K/orang untuk rombongan
- Jam oprasional:
Selasa-Kamis: 08.00-13.30 WIB
Jumat: 08.00-10.30 WIB
Sabtu-Minggu: 08.00-14.00WIB
Senin dan Tanggal Merah: Tutup
Bagaimana, museum ini wajib kan untuk jadi salah satu list destinasi kamu?
Mari berkelana, bahagia!
Tulisan ini sudah tayang di Kelanaku