HAI Meilyna? Ia aduhai. Rambutnya sebahu. Ia berok mini, blus merah jambu bergaris-garis putih, dengan ikat pinggang terjuntai. Sebuah boneka kecil didekapnya. Kemudian, si mentel ini melompat dari jip Jimny. Ck-ck-ck. Teman-temannya, lelaki dan cewek, satu per satu turun pula dari dua mobil lain. Gadis-gadis itu berdandan menor -- lipstik menyala, pakaian warna-warni, ada yang berkaca mata hitam. Pokoknya, mencolok. Dan mengundang lirikan. Beberapa yang di dalam mobil lain yang berkaca pintu bening tembus pandang, atau jendela terbuka, saling senyum, mereka hilir mudik di kawasan Melawai, Minggu sore pekan kemarin. Sudah tahun lalu daerah perbelanjaan Kebayoran Baru, Jakarta, ini jadi arena jual tampang -- menawarkan penampilan paling keren. Alias ngeceng. Ini istilah dalam bahasa prokem. Suasananya meriah -- memang meriah. Dan jalan juga sering macet dibikinnya. Maklum, itu adalah "JJS" alias Jalan-Jalan Sore. Atau "LM", untuk menyebut kawasan itu Lintas Melawai. Lina, panggilan akrab Meilyna yang tadi. Ia 19 tahun. Ia mahasiswa ASMI. Saban Sabtu atau Minggu sore, sekitar pukul lima, Lina hampir tak absen ngeceng di sana. "Nampang, Mas. Sambil cari yang keren, ya lumayan juga sambil cuci mata," katanya. Lalu ia menebar senyum. "Ohoi," dari arah lain seseorang menyapa. Rupanya, Novi, 22 tahun, pengemudi Daihatsu Minicab. Matanya menari-nari, kecrap-kecrap. Lalu ada senyum. "Hei, apa kabar?" pekiknya. Ya, ya. Di situ juga ada Endah dan memang indah. Spontan Onny, 20 tahun, si cowok pemilik Jimny, menggeleyot di mobilnya. Johannes merapat pula. Kemudian Novi datang. Ketawanya berderai. Sore nyaman, begitu lepas. Dan ini jauh sekali dibanding suasana di rumah. Tak percaya? Apa kata Lina, yang memang tak betah di rumah? "Orangtua saya sering berantem melulu," katanya. "Rumah kami sudah kayak neraka saja." Astaga. Lalu Lina memilih "surga" di jalanan. Dan ketika itu, mobil-mobil pun sudah berendeng, dengan veleg racing, bannya radial. Tak ketinggalan, tape recorder menggelegar dalam lagu-lagu Genesis, Queen, Wham. Atau sesekali George Benson. Semua itu, yah, seolah sudah "kesibukan wajib". Anak-anak muda itu ada yang bergabung dalam satu gerombolan. Lihat stiker Squat di mobil mereka. "Daripada berisik mendengar orangtua cekcok, mendingan nongkrong ramai-ramai sama temen," ujar Lina lagi. Lewat tengah malam, menjelang Minggu dinihari, mobil-mobil boleh dijajal kecepatannya, melintasi Jalan Sudirman dan Thamrin. Makin jauh saja dari kebosanan di rumah, kendati orangtua tidak harus ribut. Endah, misalnya, sembari mengepulkan asap rokok kretek berfilter, bilang begini, "Orangtua saya rukun-rukun saja, tak ada masalah." Di rumah tak ada "sesuatu" yang menggetarkan, menggugah, nyerempet? "Orangtua saya tentu marah jika mengetahui saya sering ngeceng begini. Tapi saya cuek aja." Tak urung arena remaja itu jadi bursa jodoh, mempertemukan sejoli. "Lalu mereka pacaran. Sungguh-sungguh. Bukan sekadar iseng," tutur Onny. Ini berbeda dengan tempat ngeceng lain. Kalau mau cari pacar buat sekadar ngak-ngik-ngok, mojok, lalu kresek-kresek, menurut Onny, "Bukan di sini tempatnya. Tapi di Jalan Sabang." Di kawasan perbelanjaan dekat Menteng, Jakarta Pusat, itu ya ngeceng juga. Waktunya lewat pukul 10 malam, setelah toko tutup. Hawa tengah malam mengandung keinginan yang lahir dari lubuk yang jauh. "Soalnya, di sana kabarnya ada juga beberapa cewek bawaan," kata Lina. Lain dengan di Melawai, gadis-gadis di Jalan Sabang itu rata-rata tak bermobil. Di sini ada Misel, yang juga mengaku bernama Dika. "Saya kelas berapa, coba?" ujarnya mengajak menebak. Lima cowok yang mengerumuninya rata-rata menduga Dika siswi SMA. "Saya masih SMP," kata Dika lagi. Tapi umurnya sudah 17 tahun. "Saya bosan di sekolah. Matematika itu sialan, sejarah apa lagi. Gregetan, deh. Daripada capek melototi buku, di sini lebih enak. Bebas." Dika sudah lama tak pulang. "Mama saya cerewet, banyak aturan. Saya lebih senang tinggal di rumah teman. Mama nggak tahu saya suka di sini," ujarnya. Badannya kurus -- bukan ramping lagi -- lantaran digerogoti malam. Rokok, bir, sate ayam, hampir jadi menu tetapnya saban malam. Dari mana duitnya? Semua itu ia sabet dari cowok yang mencoba mendekatinya atau pernah merangkulnya. Ada satu dua cowok yang berhasil mengajaknya menembus malam, sesekali mampir ke diskotek atau ke sebuah apotek di Kebayoran -- lantas mengarungi impian. Ia pernah ditangkap ketika ngebut mobil. "Gua nggak punya SIM," kata Dika. Setelah petugas dirayu-rayu, ya, bebas lagi. Ia memang cantik dan tak perlu tempelan make-up. Ia senang berok mini. Pahanya bagus. Dan ia mengelak berpacaran tetap. Dika tidak sendiri. Ada Vony, Rika, sebut saja beberapa nama. Banyak di situ. Ada pula para remaja SMA berkecenderungan gay. Nah, kelompok ini jadi semacam "lurah" di Jalan Sabang itu. Ngeceng melalui klub juga ada. Biasanya tertib dan memiliki kegiatan lain. Misalnya melalui VW Club. Barisan VW Kodok berjejer, rombongan VW Combi berbaris. Mobilnya berwarna-warni. Modifikasi dan asesorinya memikat, tak peduli mobil buatan tahun berapa. "Perkumpulan kami terdaftar resmi," tutur Vega Riyanto, ketua Volkswagen Beetle Club. Pengetahuan tentang automotif ternyata juga beredar di antara sesama mereka. Ngeceng juga pernah dilombakan, di Parkir Timur Senayan. Suatu siang, Desember silam, diselenggarakan panitia yang bernama Kreasi Muda Seni & Sport. Biaya untuk pamer tampang dalam gaya habis-habisan itu setiap grup (empat-lima orang dalam satu mobil) dikutip Rp 30 ribu. Lomba diikuti rata-rata oleh anak SLTP dan SLTA. Hadiahnya, selain ada piala, ditambah uang Rp 375 ribu. Laporan Moebanu Moera, Safiq Basri, Tri Budianto S. (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini