Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Bukan Sekadar Tas, Noken Punya Filosofi Penting bagi Masyarakat Papua

Noken memiliki banyak fungsi, mulai dari membawa barang sampai dengan ibadah dan upacara adat.

23 Desember 2024 | 06.37 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Budaya noken dari Papua terdaftar sebagai salah satu warisan budaya takbenda United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) sejak 2012. Tas tradisional ini dianggap memerlukan perlindungan mendesak untuk dilestarikan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Marshall Suebu, Duta Noken Papua, secara umum noken berarti tas yang terbuat dari benang serat kayu. Bentuknya menyerupai jaring dan dikenakan di kepala atau digantung di leher. Tas ini memiliki banyak fungsi, mulai dari membawa barang  sampai dengan ibadah dan upacara adat. Namun, bagi orang Papua, noken lebih dari sekadar tas. Noken merupakan budaya dan filosofi masyarakat Papua dalam kehidupan sehari-hari.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Noken sebenarnya tidak hanya tentang noken (tas) saja, tetapi juga budaya. Noken bukan hanya benda, tetapi ada aktivitas budaya di sana,” kata Marshall kepada Tempo.co di Festival Noken Tanah Papua yang digelar di Sarinah, Jakarta, Jumat, 20 Desember 2024. 

Marshall menambahkan, budaya noken Papua itu digambarkan secara utuh dari hulu ke hilir, dimulai dari mengambil bahan-bahan dari alam berupa daun, bunga, akar, rumput, dan serat batang. Di tengah-tengah, ada upaya untuk menghidupkan dan mempertahankan budayanya. 

“Di hilir adalah hasil atau produk fisik berbentuk tas rajutan yang digunakan masyarakat sehari-hari. Itu yang kita sebut dengan budaya noken,” kata dia. 

Filosofi Noken

Marshall menjelaskan bahwa noken juga memiliki filosofi penting bagi masyarakat Papua, yang memiliki tujuh wilayah adat berbeda. Masing-masing wilayah adat memiliki filosofi noken yang berbeda.

Dalam kebudayaan Saereri di Biak, misalnya, tas tradisional ini disebut dengan inoken som yang berarti kandungan ibu atau rahim. Karena itu, dalam budaya ini, noken juga dianggap sebagai rahim kedua seorang ibu. Kata ini melambangkan hubungan antara yang orang yang mengandung dengan yang dilahirkan. 

“Inoken som sebenarnya melambangkan hubungan. Hubungan itu penting sekali, bisa dalam bentuk yang luas, misalnya orang tua dengan anak, anak dengan adik, keluarga yang satu dengan keluarga yang lain, kampung yang satu dengan yang lain,” kata dia. 

Di wilayah adat Tabi, yang meliputi Jayapura, Kerom, dan Sarmi, benang dari serat tumbuhan untuk membuat noken disebut dengan “ha”. Menurut Marshall, dalam bahasa mereka, "ha" memiliki makna ganda. “Ha” pertama bs berarti tali, dan “ha” kedua berarti darah. 

“Orang-orang di Tabi, khususnya Sentani (Kabupaten Jayapura) menyebut ‘ha’ untuk darah atau tali. Artinya, pada saat merajut noken, dengan menggunakan ha itu, kita sebenarnya sedang mengambarkan bahwa menggunakan noken adalah menjaga hubungan,” kata dia. 

Hubungan itu, kata dia, bisa antara sesama manusia dengan manusia yang lain, antara manusia dengan alam tempat mereka mengambil bahan, dan manusia dengan Sang Pencipta. 

“Jadi, setiap suku punya filosofi masing-masing. Dan yang dilindungi itu adalah filosofinya. Noken bisa saja rusak, bisa saja hancur, tapi filosofi yang ada dalam noken itulah yang sangat penting (sehingga harus dipertahankan),” ujar Marshall. 

Ragam Jenis Noken

Noken merupakan istilah umum untuk menyebut tas di Papua. Namun, sebenarnya ada banyak jenis noken yang bisa ditemukan di Bumi Cendrawasih. Menurut Marshall, di Papua ada lebih dari 250 suku yang menyebut noken dengan nama berbeda-beda.

“Noken itu sebutan umum untuk tas. Tapi ketika masuk ke satu suku, namanya akan beda lagi. Ada 250 suku, ada 250 sebutan dan 250 noken. Kalau setiap budaya punya tiga (jenis noken) maka hitung saja, ada banyak sekali (jenisnya),” kata dia. 

Di wilayah pegunungan Papua seperti Kabupaten Jayawijaya, Papua Pegunungan, yang dihuni suku Dani, noken disebut dengan “su”. Jenisnya juga macam-macam. Novi Matuan, salah satu perajin noken dari Distrik Napua, Jayawijaya, mengatakan bahwa mereka memiliki noken yang khusus digunakan untuk upacara adat, disebut dengan ewe su. Noken ini berbentuk lebar dan dikenakan di kepala. Bedanya dengan noken lain terletak pada warnanya. Noken untuk upcara adat ini menggunakan warna-warna pudar seperti hitam, cokelat tua, dan krem. 

Ada juga noken yang digunakan untuk menari, disebut dengan nona su. “Noken ini khusus nona-nona, digunakan untuk menari dan dipakai di kepala. Warnanya lebih cerah,” kata Novi yang hadir dalam Festival Noken Tanah Papua. 

Menurut Novi, selain untuk upacara adat dan menari, noken memiliki fungsi utama untuk membawa barang. “Semua barang, dari hasil kebun sampai dengan anak, kami membawanya dengan noken,” kata dia. 

Festival Noken Tanah Papua berlangsung di Anjungan Sarinah, Jakarta, pada 20-22 Desember 2024. Di festival ini terdapat workshop membuat noken, ukiran kayu, dan anyaman khas Papua. Selain itu, ada juga pertunjukan seni musik dan tari-tarian Papua.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus