Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Remaja beraksi, produser berjaya

Empat film bertema remaja meramaikan gedung-gedung bioskop. yakni film catatan si boy, lupus, aku benci kamu, macan kampus. tiga diantaranya berdasarkan cerber yang populer dan ternyata laris.

7 November 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI bioskop Palaguna, Bandung, barisan antre begitu panjang, bahkan satu jam sebelum pertunjukan. Di sana diputar film Catatan Si Boy, episode Kugadaikan Cintaku. Padahal, Jumat pekan lalu, film ini sudah memasuki hari putar ke-17. Sebelumnya, film Lupus episode Kejarlah Daku Kau Kujitak juga sukses. Di Surabaya, Boy baru dimunculkan, sementara Lupus, yang diputar tahap pertama selama 18 hari (1-18 Oktober) sudah memasukkan Rp 88 juta lebih. Sukses komersial ini pasti melonjak jika nanti Lupus diputar tahap kedua. Bandingkan dengan film laris sebelumnya, Arini, Masih Ada Kereta yang Akan Lewat, yang diputar 43 hari dengan pemasukan uang Rp 92 juta. Sementara itu, di Jakarta, pekan lalu, diputar film remaja lainnya, Kelompok Empat (nama komplotan empat cewek penghuni asrama), episode Aku Benci Kamu. Ini bersamaan dengan Si Boy, sedangkan Lupus sudah turun ke kelas bawah. Satu film remaja menunggu giliran: Macan Kampus. Kecuali Macan Kampus, yang dibintangi produsernya sendiri, Rano Karno, tiga film yang disebut tadi ceritanya sudah memasyarakat. Lupus bertemakan kisah-kisah pendek karya Hilman Hariwijaya di majalah Hai -- dan kemudian dibukukan penerbit Gramedia. Ceritanya berkisar di antara ruang kelas, pacaran, dan gelak tawa, yang tak jauh dari keseharian remaja kota. Ia tersuruk di bis kota, digemari cewek, tapi juga berfungsi sebagai kepala keluarga, lantaran tak punya ayah. Meringankan beban ibunya, Lupus menjadi wartawan lepas Hai. "Tapi saya kecewa sekali dengan film ini," kata Hilman, 23 tahun, yang memang wartawan Hai. Bermula karena skenario yang dibuat pemred Hai Arswendo Atmowiloto, ditolak produser. Lalu tokoh Poppy, pacar Lupus. Untuk peran ini Hilman mengajukan Gladys Suwandi atau Yanti Sudibyo, keduanya fotomodel tenar. Tapi produser mungkin dengan alasan komersial -- menunjuk Nurul Arifin. Mengetahui ini, Hilman, yang lebih dulu ditawari peran Lupus, kontan menolak. Maka, Lupus dimainkan Ryan Hidayat, dengan pacar yang kelihatan dewasa, bukan remaja kelas satu SMA, seperti yang tersirat di buku. Di sinilah, Hilman, yang dibayar Rp 2 juta untuk episode I dan Rp 2,5 juta untuk episode II (belum dibuat), merasa amat terpukul. Lupus lahir di media cetak, sedang Si Boy lahir di Radio Prambors. Acara setiap Kamis malam ini sudah ada sejak Juni 1985 -- semacam sandiwara. Memang populer, tapi hanya di kawasan Jakarta dan sekitarnya. Jika di Bandung film Si Boy meledak, mungkin karena dipasangnya "artis panas" Meriam Bellina sebagai pacar Boy. Film yang disutradarai Nasri Cheppy ini memang menghamburkan adegan ciuman -- BSF kembali longgar, rupanya. Para remaja Bandung seperti mendapat tontonan yang "segar", sesudah film Meriam terdahulu, Ketika Musim Semi Tiba, ditarik dari peredaran. Si Boy berkisah tentang remaja kelas gedongan. Ciri-cirinya lengkap: rumah mewah, mobil Mercy, diskotek, kampus yang glamour, dan adegan merangsang di atas ranjang, antara Boy dan Vera. Kesan vulger tak dapat dihindarkan, tapi tokoh Boy dibuat alim juga, misalnya, rajin sembahyang lima waktu. Kecuali di Bandung, Boy tak disambut gempita seperti Lupus. Mungkin, karena kurang merakyat atau lantaran ceritanya tak sepopuler Lupus. Kalaupun ada persamaan bisa ditemukan pada nasib Edi Pribadi, 22 tahun, tokoh Boy dalam acara Radio Prambors, yang mirip nasib Hilman. Keduanya dikecewakan produser. "Karakter Boy yang saya bawakan d radio hanya sampai kira-kira 60 persen," kata Edi. "Waduh, film ini dibumbui adegan seks yang keterlaluan. Saya bukan munafik kalau saya memerankan Boy itu, saya bisa dikutuk seluruh keluara." Memang, semula produser mengincar Edi untuk memerankan Boy. "Saya menolak. Kalau karakter Boy betul-betul seperti di radio, saya bersedia," kata Edi lagi. Akhirnya, dites 20 pemuda, dan ketemulah Onky Alexander. Edi hanya menyumbang suara untuk pemeran Boy. Lupus dan Boy menokohkan "kepahlawanan" remaja lelaki, sedang film yang disutradarai Wim Umboh, Aku Benci Kamu, memaksa para lelaki bertekuk lutut di hadapan empat cewek. Kelompok Empat adalah novel karya Edi Suhendro yang pernah pula disiarkan di beberapa radio swasta. Yang difilmkan ini baru satu episode, menceritakan "Kelompok Empat" (di mainkan Nia Zulkarnaen. Paramitha Rusady, Iyut Bing Slamet, dan Silvana Herman) membongkar misteri di sebuah rumah tangga. Di situ seorang gadis membenci bekas pacarnya, karena pemuda itu intim dengar ibunya sendiri, yang kebetulan menjanda. Belakangan diketahui, pemuda dan gadis itu ternyata saudara kandung. Begitulah gambaran film remaja versi 1987. Semuanya dibuat serba gampang. Tak ada penggalian masalah, tak ada pesan-pesan. Apa boleh buat, remaja tampaknya haus hiburan dan produser membaca gejala ini. Episode demi episode dibuat, laba memang tak harus ditolak. Putu Setia, Tri Budianto S. (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus