Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta -Raja Keraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X genap jumenengan, atau bertahta selama 32 tahun menurut tarikh Jawa atau 31 tahun berdasar tarikh Masehi pada Maret 2020 ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam peringatan itu, digelar pula pameran busana kebesaran bertajuk Abalakuswa: Hadibusana Keraton Yogyakarta di Bangsal Pagelaran Keraton Yogyakarta. Pameran akan berlangsung sejak 8 Maret hingga 4 April 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hayu Ketua Panitia Tingalan Jumenengan Dalem menuturkan, peringatan ini menjadi tahun yang monumental bagi Keraton Yogyakarta, untuk kembali merefleksikan perjalanan 32 tahun dari sebuah kekuasaan yang mewarnai peradaban.
"Melalui busana, mozaik peradaban dari Keraton Yogyakarta juga dapat disusun dan dinarasikan kembali sebagai kekayaan intelektual budaya," ujar GKR Hayu, pada Sabtu 7 Maret 2020.
Abalakuswa berarti rangkaian busana kebesaran. Tajuk ini dipilih menjadi roh dari pameran yang erat dengan rekam jejak kekuasaan. Selain itu, busana juga menjadi ruang ekspresi politik bagi setiap periode kekuasaan. Bahkan para bangsawan menggunakan busana sebagai penentu identitas dan strata sosial.
Kondisi ini kerap ditemui di Dalem-dalem Pangeran pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VI hingga VIII yang memiliki kreativitas luas dalam mengembangkan motif batik. Di Keraton, motif batik sebagai tanda kebesaran seorang raja, seperti Parang Rusak Barong, cenderung baku dan bersifat stagnan. Sementara para pangeran memberi nuansa lain pada motif parang sehingga lahirlah varian motif parang yang beraneka ragam.
Dari kiri: GKR Condro Kirono, GKR Pembayun, dan GRAJ Nur Astuti Wijareni, mementaskan repertoar tari berjudul Bedaya Amurwabumi karya Sri Sultan Hamengkubuwono X di Dalem Yudhaningratan Yogyakarta, Senin, 4 Oktober 2010. Dok. TEMPO/Arif Wibowo
Dalam bidang seni pertunjukan, terdapat pula perubahan utamanya dalam pakaian tari. Pada saat menari dalam acara resmi, penari bedhaya mulanya berbusana dodot -- dengan bahu terbuka. Pada masa Sri Sultan Hamengkubuwono VII, busana dodot berubah menjadi rompi dengan hiasan jamang dan bulu kasuari.
Beragam sejarah dan peristiwa terekam dalam busana di Keraton Yogyakarta. Melalui pameran busana kali ini, para pengunjung diharapkan dapat melihat kembali sejarah panjang dari peradaban Keraton Yogyakarta, yang awalnya berdiri di atas wilayah bernama Pacetokan.
Di samping itu, harapannya masyarakat dapat menyelami identitas budaya khas Yogyakarta melalui rupa-rupa busana. Jam kunjung ke pameran akan dibuka setiap hari Senin-Minggu dengan waktu kunjungan Senin-Kamis: 09.00-16.00 serta Jumat, Sabtu, Minggu pada pukul 09.00-21.00 WIB.
Adapun tiket masuk ke venue pameran sebear Rp 5,000. Perhelatan pameran ini, juga akan diisi degan serangkaian workshop batik, berbusana Jawa, dan diskusi seputar tema terkait Busana dan Peradaban di Keraton Yogyakarta.
Selain itu, juga akan digelar pementasan Beksan Trunojoyo pada 25 Maret dan wayang Wong Purwo pda 4 April 2020. Kedua perhelatan ini, juga terbuka untuk masyarakat umum hanya dengan membeli tiket masuk ke venue pagelaran saja.
Sedangkan dalam sambutannya pada pembukaan Tingalan Dalem, Sabtu petang, 7 Maret 2020, di Keraton Yogyakarta, Sultan yang juga Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), mengungkap melalui pameran busana itu akan mengungkap matra busana tradisional Keraton Yogyakarta.
Tari Beksan Guntur Segara merupakan salah satu tari klasik Gaya Yogyakarta yang diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I. Berkisah tentang Panji, yang menggambarkan peperangan antara Raden Guntur Segara melawan Raden Jayasusena. TEMPO/Pribadi Wicaksono
"Pameran ini merekam jejak sejarah akulturasi peradaban dengan wastra Eropa, yang mewarnai life style kita," ujar Sultan. Menurut Sultan, banyak filosofi dan ajaran kehidupan yang terkandung dalam wastra Keraton yang memiliki denyut aktualitas.
Kini, ujar Sultan, Keraton sedang menata diri memasuki era digitalisasi. Demikian juga terhadap warisan busana serta naskah-naskahnya agar terbaca dan dikenal generasi milenial.
PRIBADI WICAKSONO