Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Agus Dermawan T.
Kritikus Seni dan Pelancong
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pesan pendek itu datang dari sahabat saya, Watie Moerany Santosa, mantan Kepala Rumah Tangga Istana Kepresidenan Bogor, yang pernah mendapat tugas belajar di Jepang. Isinya agar saya (yang suka ngelayap) tak lupa menikmati salju Pegunungan Tateyama. Ia juga mengirim catatan yang berisi cara-cara ke sana, dengan moda Japan Railways (JR), yang sudah dengan rapi disiapkan oleh Jepang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kalau berangkat dari Stasiun Shinjuku Tokyo, coba naik JR Azusa Limited Express yang menuju Stasiun Matsumoto. Perjalanan ditempuh 2,5 jam. Sesampai di Matsumoto, sambung dengan JR Otto Line ke Stasiun Shinano Omachi selama 1 jam. Dari Stasiun Shinano Omachi, naik bus ke Ogizawa yang letaknya tak jauh dari Tateyama," tulis dia.
Beberapa hari kemudian, saya mencari informasi lebih jauh mengenai seluk-beluk perjalanan ke Tateyama. Dalam sebuah kitab panduan perjalanan khusus Jepang, saya menemukan informasi tambahan: "Apabila berangkat dari Stasiun Sentral Tokyo, gunakan JR Hokuriku Shinkansen yang menuju Toyama. Perjalanan 106 menit. Lalu dari Stasiun Toyama bisa lanjut dengan kereta Toyama Chico Railroad ke Stasiun Dentetsu Toyama. Perjalanan ditempuh 74 menit! Selanjutnya: Kalau mau mengagumi koridor es fantastis di Tateyama, datanglah pada April."
Ah, rasanya lengkap sudah. Maka, pada April, saya berangkat ke Jepang, dengan tujuan utama menggumuli salju Tateyama. Tapi informasi rute perjalanan yang sudah komplet di tangan itu urung berfungsi, lantaran saya berangkat bersama rombongan, yang selama di Jepang ke mana-mana menggunakan moda bus sewaan.
Di dalam bus kami mendapat informasi bahwa Tateyama sesungguhnya menakjubkan dilihat pada semua musim. Artinya, tak hanya menarik pada April. Syahdan, pada musim gugur antara September dan Maret, Tateyama juga indah luar biasa. Daun-daun berwarna kuning, merah, dan jingga yang melambai-lambai dari jutaan pohon, berjatuhan pelan-pelan ke bumi membentuk komposisi. Dan konon, setiap yang gugur bagai diiringi petikan shamisen, sehingga hamparan gunung bagai lukisan sang dewi seni, Benzaiten.
"Orang Jepang menganggap Tateyama sebagai gunung suci, seperti halnya Fujiyama dan Hakuyama," kata Ariosito Ikimura, arek Suroboyo yang menjadi pemandu sekali-dua. Dari ceritanya, saya baru tahu bahwa Tateyama adalah gunung yang dipercaya sebagai Ibu Sejati. Sehingga sangat banyak orang Jepang datang ke Tateyama untuk menaburkan berbagai permintaan yang baik-baik. Dari memohon keberuntungan, jodoh idaman, hingga kesehatan yang baik. Sementara permohonan khusus orang berusia tua adalah mati dengan enak dan sempurna di dunia fana.
"Dulu, sebelum infrastruktur pendakian dibangun pada 1971, memang banyak orang berusia tua yang mendaki Tateyama. Mereka sengaja bersusah payah untuk sampai ke puncak dan mati di sana. Karena di situ mereka merasa mati di surga! Ini merupakan antitesis dari perilaku sebagian orang Jepang yang menyusup ke hutan Aokigahara, simbol dari mati di neraka," kata Ikimura.
Untuk menikmati keindahan Tateyama, wisatawan diajak "berjuang" dengan mampir-mampir dulu. Bus kami dihentikan di sebuah pangkalan. Dari sini, kami dibawa ke stasiun trolley bus yang siap mendaki gunung lewat terowongan. Di ketinggian 1.450 meter di atas permukaan laut (mdpl), kami diturunkan. Ternyata kami dipersilakan menikmati "kerajaan batu". Hamparan pemandangan itu sontak melahirkan pertanyaan bernada protes: "Lho, kok malah dibawa ke sini? Mana tuh gunung salju?!"
Ternyata kami diajak menyusuri kompleks Kurobeko atau Bendungan Kurobe lebih dulu. Itu adalah hamparan dam raksasa yang difungsikan sebagai penampung air pembangkit tenaga listrik.
Dengan berjalan kaki, kami menyusuri area luas itu. Di sisi-sisi jalan bersitegak bukit-bukit batu raksasa yang sudah dibentuk geometris di semua dindingnya. Irisan-irisannya yang indah mengantarkan bukit-bukit itu bagai arsitektur markas laskar dalam film science fiction. Di satu sisi tampak menjulang bukit iris yang bentuknya membulat, dengan dihiasi tangga mendaki, yang dibikin seperti melayang bersama awan. Dengan tangga itu, wisatawan dipersilakan menaiki dan memutari bangunan yang tingginya 186 meter untuk melihat pemandangan bendungan yang menggetarkan hati. Di sela-sela batu-batu iris tersebut terdapat jembatan besar yang menyeberangi danau berair hijau tosca. Perspektif danau nan tenang ini diakhiri oleh gunung cantik berkerudung salju. Tak terhitung berapa juta orang sudah ber-selfie di situ.
Setelah melihat-lihat kedigdayaan Bendungan Kurobe, muncul rasa sesal mengapa beberapa belas menit lalu saya sudah meremehkannya. Di tempat itu saya disadarkan bahwa dengan rute ini pengelola wisata sesungguhnya mengajak para turis mengapresiasi dua hal sekaligus: karya manusia (Bendungan Kurobe) dan karya Pencipta Alam Semesta (Tateyama). "Kurobeko-Tateyama" adalah rute wisata yang filosofis.
Dari Bendungan Kurobe kami digiring melangkah ke stasiun kereta kabel Kurobe. Kami pun naik gerbong di atas juluran rel yang menapak di dinding gunung curam. Kereta naik pelan-pelan dengan denyit yang kadang mengkhawatirkan. Kami diturunkan dan diarahkan memasuki stasiun ropeway, kereta gantung yang jalannya ditarik tali. Setelah beringsut-ingsut di lereng, sampailah kami di puncak Gunung Murodo, destinasi utama wisata salju Pegunungan Tateyama.
Puncak Murodo ternyata tidak cuma menyediakan sejumlah spot untuk menikmati keluasan pemandangan, tapi juga menyiapkan restoran, kafe untuk minum ocha (teh Jepang) panas, sampai toko suvenir yang menjual kerajinan khas Jepang dengan tema Tateyama. Ikimura aktif menemani kami mengamati cendera mata yang berharga serba tinggi. Begitu menemui barang yang dirasa murah harganya, ia berseru-seru kepada kami, seperti meneriakkan namanya sendiri. "Ikimura, ikimura, ikimura!", yang tentu dimaknai: ini murah. Akibatnya, orang Jepang yang bernama Ikimura menengok berkali-kali sambil berguman "Haik!"
Dari beberapa sudut-tatap di puncak Murodo, saya bisa melihat banyak pemandangan lewat mata telanjang dan lewat teropong yang sudah disediakan. Mengapa? Lantaran Murodo berada di ketinggian 2.450 mdpl, mengatasi puncak-puncak gunung lain di sekitarnya. Dari Murodo bisa terlihat ubun-ubun bersalju Gunung Bijodaira, Midagahara, dan Daikanbo, yang semuanya merupakan bagian dari Pegunungan Tateyama. Juga kolam Mikurigaike dan Syomsyo, air terjun terbaik di Jepang. Sungguh, seperti di kayangan, meskipun dingin kadang tiba-tiba menggigit. Angin yang datang menukikkan suhu yang sudah 6 derajat Celsius.
Setelah melihat-lihat pemandangan, kami memasuki padang es. Dari sini kami menjumpai pemandangan ajaib: jalan raya aspal selebar 10 meter yang diapit dinding es setinggi 17 meter. Kami pun berjalan di antara dinding yang sekeras es batu itu. Inilah yang disebut Yuki no Otani, atau Koridor Es, ikon Pegunungan Tateyama. Dinding es spektakuler ini mengapit jalan yang panjangnya sekitar 400 meter.
Bagaimana itu bisa terjadi? Ikimura bercerita: Salju dipancing menumpuk pada sehampar dataran. Tumpukan itu kemudian dikeruk dengan pola yang membentuk jalur jalan, dengan sisi yang dibikin seperti tembok. Setiap salju turun ke aspal, setiap kali itu pula dikeruk. Dan setiap kali salju menumpuk di atas dinding, segera dipadatkan sampai sekeras batu.
"Sederhana. Tapi butuh kerja keras yang luar biasa," tutur Ikimura. Karena salju ini bergantung pada musim, ketinggian dinding salju berbeda pada setiap bulan. Dinding salju paling tinggi mencapai 20 meter, jatuh pada April.
Di dinding keras itu, banyak orang menggoreskan sesuatu dengan kerikil. Ini salju cinta, celetuk seseorang. Saya pun ikut-ikutan menulis nama orang-orang yang saya cintai. Ada turis domestik asal Tokyo yang mengukir tulisan Arigato gozaimasu Tenno Akihito, yang artinya "Terima kasih, Kaisar Akihito". Kita tahu, sehari setelah April 2019, Akihito, Kaisar Jepang sejak 1989, menyerahkan takhtanya kepada putranya, Naruhito. Grafiti es itu tentu akan mencair dalam beberapa jam saja. Tapi yakin, Sang Pencipta salju Tateyama sudah ikut membacanya.
Sore telah tiba. Kami sudah digusah untuk segera pulang dan segera menghangatkan badan dengan gaya onsen (berendam air panas ala Jepang) di hotel. Sambil beranjak pergi dengan moda bus khusus yang menyusup di sepanjang Yuki no Otani, bibir saya menggumamkan lagu cinta April Love yang dinyanyikan Connie Francis pada 1960-an. Digemakan di tebing es, lagu kuno itu rasanya menjadi segar kembali. April love...
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo