Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tahukah kamu bahwa pada masa lalu, masyarakat Eropa percaya kalau burung cenderawasih Papua tak punya kaki. Asal mulanya dari seorang ilmuwan Swedia bernama Carolus Linnaeus. Dia adalah bapak sistem penamaan ilmiah tumbuhan dan hewan dunia atau binomial nomenclature.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sistem penamaan ini pertama kali digunakan pada pertengahan abad ke-18. Berbagai macam nama ilmiah tumbuhan dan hewan mempergunakan bahasa Latin. Binomial nomenclature terdiri dari dua kata, yakni binomial dan nomenclature yang masing-masing berarti dua nama dan sistem penamaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan begitu, setiap spesies flora dan fauna mempunyai dua nama, yaitu nama genus dan nama spesifik spesies tersebut. Nama genus selalu terletak di depan nama spesies. Misalkan, nama ilmiah burung cenderawasih. "Dalam hal ini, Carolus Linnaeus memberi nama Paradisea apoda yang berarti burung surga tanpa kaki," kata peneliti Balai Arkeologi Papua, Hari Suroto kepada Tempo, Selasa 12 Januari 2021.
Paradisea adalah nama genus dan dalam penulisannya harus dengan huruf kapital. Sedangkan apoda adalah nama spesies yang harus ditulis dengan huruf kecil. Dalam penulisannya, nama-nama ilmiah biasanya dicetak miring.
Dari sekian banyak tumbuhan dan hewan yang diberi nama oleh Carolus Linnaeus, terjadi satu kekeliruan, yakni ketika memberi nama ilmiah burung cenderawasih dengan nama burung surga tanpa kaki. "Padahal burung cenderawasih memiliki sepasang kaki," katanya.
Mahkota burung cenderawasih yang dijual di Pasar Seni Hamadi Kota Jayapura, Papua. Dok. Hari Suroto
Hari Suroto menjelaskan, ada cerita tersendiri di balik pemberian nama burung cenderawasih. Cerita yang berkembang pada abad ke-16 hingga 17 adalah burung cenderawasih langsung terbang dari surga. Setelah ditetaskan dari telur, burung-burung ini akan terbang ke matahari. Dan dari sana mereka akan mendapatkan bulu-bulu yang indah itu.
Lantaran tampak tidak memiliki kaki itulah, orang Eropa menganggap burung cenderawasih ini tidak berkaki. Burung cenderawasih dianggap tak pernah hinggap di bumi. "Orang-orang pada abad itu percaya bahwa seluruh hidup burung ini dihabiskan di udara," ucap Hari yang juga dosen arkeologi Universitas Cenderawasih ini.
Keyakinan itu ditambah dengan kondisi burung cenderawasih yang pernah dibawa ke Eropa dalam bentuk yang sudah diawetkan. Semua dalam kondisi kaki yang sudah terpotong.
"Ini juga yang membuat masyarakat Eropa pada waktu itu percaya kalau burung cenderawasih tidak memiliki kaki," kata Hari Suroto. "Mereka percaya burung cenderawasih selalu terbang, tidak pernah menyentuh tanah maupun bertengger di dahan pohon."