Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sekitar 60.000 koleksi arkeologi Kecamatan Barus, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatra Utara, akan dipindahkan ke tempat penyimpanan Gedung Koleksi BRIN Kawasan Sains dan Teknologi Soekarno di Cibinong, Bogor, Jawa Barat. Rencana pemindahan ini ditolah masyarakat dan Yayasan Museum Barus Raya (MBR).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mayoritas peninggalan arkeologi itu berupa pecahan keramik dan gerabah. Selebihnya ada koin emas dan perak, serta guci-guci Cina dari hasil temuan maupun ekskavasi sepanjang 1980-2005.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masyarakat menganggap pemindahan itu seperti ingin memutus hubungan kesejarahan dan kebudayaan Barus. Apalagi, akhir-akhir ini Barus mulai banyak didatangi wisatawan yang ingin melihat peninggalan sejarah tersebut.
Sejarah Barus
Barus merupakan kota kecil kecil di pesisir barat Provinsi Sumatera Utara. Luasnya 21,81 kilometer persegi atau 2.181 hektare. Kecamatan Barus terdiri dari 11 desa dan dua kelurahan. Lokasi Barus persis di sebelah utara Singkil, Ibu Kota Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh.
Jumlah penduduk Barus 17.577 jiwa (8.992 pria dan 8.585 perempuan). Dengan jumlah penduduk yang sedikit, menjadikan suasana keseharian Kota Barus relatif sepi.
Namun, Barus termasuk dalam golongan kota-kota kuno yang terkenal di seluruh Asia sejak sekurang-kurangnya abad keenam Masehi. Di masanya, Barus jadi bandar niaga kelas dunia yang ramai dan sangat sibuk. Kapal-kapal asing silih berganti memasuki dan berlabuh di Barus untuk mengangkut kamper (sering disebut kapur barus), kemenyan, dan emas. Singkatnya, Barus boleh dibilang pernah berjaya sebagai kota metropolitan di masa lalu.
Era Kejayaan Barus
Barus atau biasa disebut Fansur mungkin kota tunggal di Nusantara yang namanya disebut sejak awal abad Masehi dalam literatur-literatur berbahasa Yunani, Suriah, Armenia, Arab, India, Tamil, China, Melayu, dan Jawa.
Kejayaan Barus disebut dalam buku Geographia yang ditulis Claudius Ptolemaeus (Ptolemy, 85-165 Masehi), kartografer, astronom, dan filsuf terkenal yang juga gubernur di Yunani yang berkantor di Alexandria, Mesir, pada abad kedua. Ptolemaeus menulis di sebuah kota di pesisir barat Sumatera terdapat bandar niaga bernama Barousai, yang menghasilkan wewangian dari kapur barus.
Hasil studi Lembaga Penelitian Perancis untuk Timur Jauh (École Française d'Extrême-Orient/EFEO) dan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional membuktikan pada abad kesembilan sampai ke-12 terdapat perkampungan multietnis di Barus, seperti Tamil, Cina, Arab, Aceh, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, dan Bengkulu. Kampung-kampung ini sangat makmur.
Penelitian itu menghasilkan banyak temuan lain, seperti tembikar dari Asia Selatan dan Timur Tengah, keramik Cina, kendi berbahan halus, tembikar lokal, kaca, manik-manik, logam, mata uang dan emas, batu dan batu bata. Temuan-temuan ini menunjukkan bahwa Lobu Tua pernah jadi tempat perdagangan asing pada pertengahan abad ke-9 yang didirikan oleh para pedagang dari India Selatan atau Sri Lanka, yang kemudian disusul oleh kedatangan pedagang-pedagang dari Timur Tengah dan Pulau Jawa. Lobu Tua berfungsi sebagai tempat persinggahan pedagang asing dan tempat pemuatan bahan baku, wangi-wangian, obat-obatan dari pedalaman huta Barus.
Para pedagang di Barus masa itu tidak hanya berdagang. Mereka juga ikut dalam pembudidayaan pulaunya, termasuk penambangan emas, bekerja sama dengan orang-orang Jawa dari Kerajaan Mataram, Kediri, dan Banten. Namun, Lobu Tua mendadak ditinggalkan pada awal abad ke-12 akibat serangan musuh yang belum jelas asal-usulnya, yang disebut gergasi.
Prasasti tentang Barus
Keberadaan komunitas pedagang Sri Lanka disebutkan pada batu bertulis atau prasasti yang ditemukan pejabat Belanda bernama GJJ Deutz pada 1872. Prasasti ini diterjemahkan oleh Profesor Nilakanta Sasti pada 1931 dari Universitas Madras.
Disebutkan prasastinya bertahun Saka 1010 atau 1088 Masehi, era pemerintahan Raja Cola yang menguasai Sri Lanka, India Selatan. Dalam prasasti disebutkan adanya komunitas Tamil sebanyak 1.500 orang di Lobu Tua. Mereka mempunyai pasukan keamanan, aturan perdagangan, dan ketentuan lainnya.
Barus Mulai Ditinggalkan Abad ke-12
Namun, seperti disebut tadi, Lobu Tua mendadak ditinggalkan sekitar abad ke-12. Dalam buku Lobu Tua, Sejarah Awal Barus (2002), Claude Guillot menyebut hilangnya peradaban itu karena penghancuran kawasan tersebut oleh sekelompok orang yang tidak dikenal yang disebut gergasi.
Adapun menurut dongeng yang berkembang di masyarakat Barus, gergasi adalah sosok raksasa menyeramkan yang datang dari laut. Tafsiran lainnya, gergasi tak lain adalah tsunami.
Barus akhirnya menjadi sebuah titik temu budaya Nusantara, India, dan Timur Tengah yang khas dan megah. Tempat-tempat seperti ini memunculkan peradaban dan bahasa Melayu modern, memunculkan keragaman agama dan kepercayaan.
ABDI PURMONO
Pilihan Editor: Jalan-jalan ke Rumah King Kong, Pulau Mursala di Tapanuli Tengah