Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Berita Tempo Plus

Si Buta dari Kota Suara

Album teranyar Ray Charles, Genius Loves Company, merengkuh delapan Grammy. Sedangkan film tentang diri-nya, Ray, menjadi unggulan film terbaik Oscar tahun ini.

21 Februari 2005 | 00.00 WIB

Si Buta dari Kota Suara
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

PEMUDA buta itu keluar dari bus di sebuah ruas jalan Distrik Seattle, Washington. Usianya baru 17 saat tarikh menunjuk-kan angka 1947. Enam dekade berselang, Amerika masih disergap prasangka rasial yang mengharuskan warga Afro-Amerika duduk terpisah dari warga kulit putih meski di kabin bus yang sama. Ia penduduk baru di kota ini setelah menempuh perjalanan panjang dari Florida. Pemuda itu harus bertanya kepada seseorang. Tapi kepada siapa, di saat warna kulit juga berarti sebuah sekat?

Tiba-tiba pemuda itu mendengar sesayup suara trumpet, patah-patah. Ia mengancik kepada sumber suara, seorang pemuda hitam ceking yang bersender di dinding sebuah bangunan. Mereka bercakap sebentar sebelum saling mengungkap identitas. "Ray Robinson," si buta memperkenalkan diri. "Quincy Jones," jawab si peniup trumpet, yang kelak juga dikenal sebagai Über-producer setelah menangani Michael Jackson di era 1980-an.

Berbeda dengan Jones yang tak pernah berganti nama panggung, Ray Robinson harus mengubah nama meski kariernya berkembang bagus di kelab jazz. Seorang petinju yang lebih dulu populer, Sugar Ray Robinson, membuat manajer Ray memutuskan sang artis harus menggunakan nama tengahnya, Charles, agar penonton tidak bingung dengan dua nama yang mirip.

Untungnya, pergantian nama ini sekaligus menjadi pertanda telah khatamnya Charles dari sekadar bayang-bayang Nat "King" Cole, baik dalam teknik bernyanyi maupun bermain piano. "Ketika saya mulai menjadi Ray Charles dan melepaskan diri sebagai imitasi Nat Cole, saya melebur spirit gerejawi pada musik gospel dengan syair-syair yang lebih sekuler. Hasilnya malah mengundang kontroversi. Saya menuai banyak kecaman," ujar Charles dalam sebuah wawancara yang dipublikasikan harian San Jose Mercury News, 1994.

Pada awal sekularisasi musik gospel, apa yang dilakukan Charles sebenarnya sudah dilakukan musisi lain. Mereka membuat syair-syair religius pada lagu pop, dan sebaliknya. Namun hanya sedikit musisi yang berhasil mulus menapak di dua jalur, gospel dan "musik sekuler" tanpa mendulang kontroversi, seperti Bapak Gospel Thomas A. Dorsey, Solomon Burke, dan untuk beberapa hal, Little Richard.

Ray Charles termasuk yang mendapat kecaman tajam, seperti yang ditampilkan film Ray—dalam film ini, tokoh Ray diperankan oleh aktor Jamie Foxx. Ia pernah dimaki jemaat sebuah gereja ketika sedang berpentas. Apalagi Charles belakangan makin dikenal gila perempuan. Ia memiliki dua istri, dan juga 12 anak yang berasal dari 7 perempuan, 21 cucu, dan 5 cicit. Setelah itu, ada satu periode dalam kehidupannya yang bergelimang heroin dan kokain.

Tapi semua kontroversi itu seolah tak berbekas pada Ahad pekan silam. Jutaan pasang mata menyaksikan prosesi penyerahan piala Grammy di Los Angeles tatkala album terakhir Ray Charles, Genius Loves Company, meraih delapan piala. Ini semua termasuk untuk kategori paling bergengsi: Album Tahun Ini, dan Rekaman Tahun Ini untuk lagu Here We Go Again yang dibawakannya bersama Norah Jones. "Saya ingin menangis. Ini membuktikan betapa musik bisa begitu indah. Ini adalah soal bagaimana menjadi 100 persen dengan Ray Charles," tutur Norah Jones terbata-bata. Sebelumnya, Charles sudah mengoleksi 12 Grammy.

Genius ditata sebagai album duet. Di setiap lagu, Charles seperti mencari mitra sekaligus "lawan tanding" yang sepadan. Ia menunjukkan betapa mudahnya beradaptasi dengan berbagai langgam. Dari musik country bersama veteran Willie Nelson, sampai Celtic Soul yang memiliki banyak perangkap titinada bersama Van Morrison. Charles juga dengan lincah mengimbangi vokal bariton penyanyi soft-rock Michael McDonald, geram ekspresif bernuansa hard-rock milik Bonnie Raitt, sampai vokal alto pianis jazz Diana Krall.

Selesai? Sama sekali belum. Sang legenda yang buta total saat berumur tujuh tahun akibat glaukoma ini malah terdengar semakin bertenaga ketika "berduel" blues dengan B.B. King, Gladys Knight, atau ikon pop yang kontroversial, Sir Elton John. Dan seperti hendak memungkaskan siklus kreatifnya yang dimulai sebagai pemuja Nat "King" Cole, Charles membuhul akhir kariernya dengan merangkul putri Cole, Natalie.

Tak seperti album sejenis dari Frank Sinatra, Genius justru direkam dengan posisi Charles dan setiap penyanyi bertatap muka di studio yang sama. Dan tak ada campur tangan teknologi yang berlebihan. Ringkasnya, di album yang beredar mulai Agustus tahun lalu itu, sulit terdeteksi bahwa energi Charles sebenarnya sudah makin redup akibat kanker hati yang menamatkan hidupnya pada 10 Juni 2004, dalam usia 73 tahun. Charles tetap terlihat seperti pendekar buta yang mengontrol sebuah kota bernama suara. Tak bisa lain.

Jika ditilik ke awal karier Charles, terutama sejak hit pertamanya, Baby, Let Me Hold Your Hand (1951), yang disusul dengan sekumpulan hit seperti I Got A Woman, Hit The Road, Jack, atau I Can't Stop Loving You, praktis semua komposisi yang ditulisnya tak pernah rumit. "Progresi kordnya sederhana," ujar pianis Dwiki Dharmawan. "Namun karena kadar soul dalam musiknya sangat tinggi, in every single breath, secara keseluruhan hasilnya menjadi sangat menarik."

Adapun tentang syair yang ditulis Charles, penyanyi jazz Syaharani yang menyebut Georgia On My Mind sebagai lagu favoritnya itu melihat orisinalitas sebagai faktor utama kekuatan Charles. "Lagu-lagunya gampang. Jazz-nya standar, blues-nya juga tipe 12-bar circle blues. Simpel. Yang membuatnya menjadi dahsyat karena semua terkoneksi dengan pengalamannya. Feel-nya jadi dalam sekali. Itu yang tidak bisa dipelajari di sekolah musik," kata Rani.

Georgia On My Mind sendiri menjadi lagu Charles yang paling banyak mengundang salah tafsir. Sejatinya, lagu ini ditulis Stuart Gorrell dan Hoagy Carmichael untuk seorang gadis bernama Georgia—bukan tentang Negara Bagian Georgia. Uniknya, begitu Ray Charles menyanyikan lagu ini di hadapan anggota Kongres dan Senat Georgia pada 7 Maret 1979, sebulan kemudian lagu itu ditetapkan menjadi "lagu kebangsaan" Georgia, dan dijadikan tune penutup siaran televisi di sana, sampai sekarang.

Bagi Charles, Georgia merupakan salah satu beban trauma yang terkelam. Ia lahir di Albany, Georgia, dari ibu seorang buruh cuci, dan tak pernah mengetahui dengan jelas siapa ayahnya. Lalu datanglah sebuah petaka yang terus menghantui Charles sampai akhir hayatnya. Ketika berusia lima tahun, Charles melihat adik satu-satunya, George yang baru berumur tiga tahun, tenggelam dan mati di bak cucian ibunya. Setelah kejadian tragis itu, secara perlahan kondisi mata Charles memburuk sampai ia buta total dua tahun kemudian.

Rekonstruksi kejadian ini disajikan secara mencekam oleh sutradara Taylor Hackford lewat film Ray, salah satu film unggulan terbaik Oscar yang akan diumumkan pada 27 Februari 2005.

Sebelum syuting film dimulai, Hackford (An Officer and A Gentleman—Red) mengajak aktor Jamie Foxx yang akan berperan sebagai Charles untuk sowan kepada sang legenda. Charles yang rupanya sudah mendengar Foxx mahir bermain piano memaksa aktor itu untuk melakukan jam session dengan dua piano. Charles tak memberikan pilihan kepada Foxx selain menunjukkan kemampuan terbaik jemarinya menari di atas tuts. Hackford terpaku. Suasana berubah seperti konser duo.

Setelah dua jam Charles berdiri, memeluk Foxx, dan berkata kepada Hackford. "Dialah orangnya…. Dia mampu melakukan (peran) ini," kata Charles seperti memberi restu. Hackford lega, dan penggemar Charles di seluruh dunia terhibur dengan hasil akhir film Ray. Separuhnya karena akting Foxx yang memukau—ia dicalonkan sebagai aktor terbaik untuk Ray, dan aktor pembantu terbaik dalam Collateral. Separuhnya lagi karena kisah hidup Charles sendiri yang penuh warna. Sebuah film yang membuat jutaan penggemar Ray Charles di seluruh dunia berkata, "We can't stop loving you."

Akmal Nasery Basral


GENIUS LOVES COMPANY Ray Charles

  • Here We Go Again feat. Norah Jones
  • Sweet Potato Pie feat. James Taylor
  • You Don't Know Me feat. Diana Krall
  • Sorry Seems To Be The Hardest Word feat. Elton John
  • Fever feat. Natalie Cole
  • Do I Ever Crossed Your Mind feat. Bonnie Raitt
  • It Was A Very Good Year feat. Willie Nelson
  • Hey Girl feat. Michael McDonald
  • Sinner's Prayer feat. BB King
  • Heaven Help Us All feat. Gladys Knight
  • Somewhere Over The Rainbow feat. Johnny Mathis
  • Crazy Love feat. Van Morrison

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus