Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Warna krem gedung yang terletak di persimpangan Jalan Percetakan Negara, Rawasari, Jakarta Pusat, itu sudah kusam. Kawat berduri berarus listrik menjuntai-juntai di pagar besi di sekitar bangunan tua ini. Sesekali terlihat lelaki gendut berseragam cokelat tua lusuh mengintip dari lubang sebesar kepala manusia di pintu gerbang. Inilah "istana baru" pengusaha Adiguna Sutowo, tersangka pembunuh dan pemilik senjata api ilegal. Nama tempat itu: Rumah Tahanan Salemba.
Penjagaan tempat ini lumayan ketat. Begitu lolos dari pintu gerbang, langsung berhadapan dengan sejumlah penjaga. Dan untuk masuk lebih jauh lagi, satu pintu besi sudah menghadang. Di sana juga ada penjaganya. Di bagian dalam, berdiri tegak pagar besi yang di pucuknya melilit kawat berduri. Di balik pagar ada bangunan bercat abu-abu. Di situlah Adiguna, 47 tahun, dikurung bersama 3.792 tahanan lainnya.
Adik kandung konglomerat Pontjo Sutowo itu menjadi penghuni penjara Salemba sejak dua pekan silam. Penyebabnya, ia dituduh menembak mati Johanes B. Haerudy Natong, 28 tahun, di Fluid Club Hotel Hilton, 1 Januari lalu. Perkara ini disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pekan-pekan ini.
Ketika pertama masuk ke penjara Salemba awal Februari lalu, ia ditempatkan di blok Mapenaling Dua. Di tempat ini hanya ada dua kamar berukuran 10 x 15 meter. Adiguna berimpitan bersama 125 tahanan lain. Kepala Rumah Tahanan Salemba, Kusmin, mengatakan Adiguna tak pernah mengeluh selama ditempatkan di Salemba. "Ekspresi wajahnya biasa saja," katanya kepada Indriani Dyah Setiowati dari Tempo.
Bahwa bakal ada sedikit persoalan yang muncul, Kusmin menganggap wajar. "Adiguna kan orang kaya, mungkin ada napi yang mendekatinya. Antarnapi yang bersaing dalam merebut hatinya mungkin saja berkelahi," katanya. Dia pun sudah mengingatkan para tahanan bahwa kekerasan fisik akan diberi sanksi sekaligus dilaporkan ke polisi. Sejauh ini, kata Kusmin lagi, Adiguna sudah bisa berteman dengan sesama tahanan. "Teman dia itu banyak."
Adiguna hanya dua hari berdesak-desakan dengan tahanan lain. Selanjutnya ia dialihkan ke blok K, yang di dalamnya ada 23 kamar tahanan. Dia menempati blok K-13 bersama seorang tahanan lain. Blok K ini bak kawasan eksekutif di penjara Salemba. Putra bekas Direktur Utama Pertamina Ibnu Sutowo ini berada satu blok dengan nama beken lainnya seperti terdakwa korupsi Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam, Abdullah Puteh dan Nurdin Halid, pengusaha yang dituduh menyelundupkan gula ilegal.
Dulunya, di blok inilah pernah dikurung Gunawan Santosa, yang menembak mati mertuanya, bos PT Asaba, Boedyharto Angsono, setahun lalu. Dia juga orang berada, walaupun masih kalah kaya dibandingkan dengan Adiguna. Kini Gunawan telah dipindah ke penjara Cipinang.
Sejak menempati blok K, kata Amir Karyatim, kuasa hukumnya, Adiguna sudah bisa tertawa. "Sekarang apa saja bisa jadi bahan tertawaan. Terkadang menertawakan diri sendiri," tuturnya. Menurut Amir, Adiguna juga merasa lebih merdeka. "Suasananya kayak perkampungan," katanya. "Sekarang Adiguna sering minta dikirimi kopi dari Starbuck dan nasi padang."
Amir mengatakan, di penjara Salemba Adiguna tetap saja tak enjoy. Kendati demikian, tempat ini lebih baik dibandingkan dengan sel Kepolisian Daerah Metro Jaya yang diinapinya selama sebulan sebelumnya. Menurut Amir, saat itu Adiguna mengaku tidak bisa leluasa bergerak. "Apalagi dia mesti memakai baju tahanan dan bercelana pendek pula," katanya.
Di Polda Metro Jaya, Adiguna dikurung di sel A-10. Sejak ditahan polisi, kehidupannya berubah bak bumi dan langit. Dia, yang terbiasa dengan gaya hidup glamor, tiba-tiba harus berada di balik jeruji besi. Bekas pembalap ini juga sudah terjauhkan dari setir mobil mewah yang biasa digunakan. Dia pun mesti menanggalkan pakaian mewahnya dan memakai seragam tahanan.
Adiguna, yang biasanya dikelilingi selebriti, harus berada di lingkungan tersangka penjahat. Misalnya, penghuni sel sebelahnya di A-11, Dianto, adalah tersangka pencuri kendaraan bermotor. Dianto mengaku sering memperhatikan gerak-gerik tetangganya yang orang kaya itu ketika masih berada di sel Polda. "Dia sering terlihat murung dan diam terus. Dia juga menyendiri," kata Dianto kepada Yophiandi dari Tempo.
Menurut Dianto, kepada tahanan lain Adiguna bilang terlibat penggunaan senjata api. "Dia hanya bilang begitu," katanya. Dianto mengaku senang ada tetangga kaya. Di samping itu, dia juga terusik. "Setiap malam saya selalu mendengar batuknya yang keras. Lain waktu, dia berteriak sendirian." Karenanya, Dianto tak bisa tidur lelap. Hanya, siang hari dia melihat tetangganya itu menjadi seorang pemurah. "Sering membagi makanan," tuturnya. Selain itu, Dianto juga kerap melihat seorang wanita cantik yang membesuknya. Namanya Vika, istri Adiguna.
Adiguna mulai merasakan suasana pengap sel Polda Metro Jaya beberapa jam setelah peristiwa penembakan. Polisi menyatakan menahan Adiguna dengan bekal bukti yang cukup kuat. Di antaranya, saksi mata yang melihat langsung saat Adiguna menembak Rudy, karyawan paruh waktu di Fluid Club. Polisi juga menemukan barang bukti berupa peluru dan pistol yang diduga digunakan menembak Rudy.
Dari berbagai bukti itu, polisi menuduh Adiguna membunuh dengan sengaja. Adiguna juga terancam dengan hukuman yang lebih berat lagi, yaitu soal kepemilikan senjata api yang ternyata ilegal. Bukan hanya itu, ia juga diduga telah mengkonsumsi narkoba saat terjadinya peristiwa itu.
Adiguna, melalui kuasa hukumnya, membantah melakukan pembunuhan itu. Bahkan dia tak mengaku berada di dalam bar Fluid pada malam pesta tahun baru itu. Sementara itu, di kalangan mahasiswa berseliweran cerita upaya pembebasan Adiguna dari jerat hukum. Di antaranya muncul kabar tentang Pontjo yang menemui Kepala Polda Metro Jaya, Inspektur Jenderal Firman Gani, untuk mengurus kasus ini. Itu sebabnya, muncul reaksi keras dari mahasiswa dan masyarakat.
Mahasiswa yang umumnya rekan kuliah Rudy di Universitas Bung Karno ini khawatir Adiguna bakal lolos dari jerat hukuman. Firman tentu saja membantah semua tuduhan miring itu. Dia menyatakan polisi serius menangani kasus ini. Dan polisi berketetapan untuk menahan Adiguna.
Hanya sebulan menginap di sel Polda, Adiguna mesti berpindah tempat. Pada Rabu 2 Februari lalu, polisi menyerahkannya ke Kejaksaan Tinggi DKI. Hari itu juga Adiguna menanggalkan seragam tahanan. Dia mengenakan baju putih lengan panjang dan celana hitam. Saat berjalan, ia terus menunduk. Tangannya yang diborgol disembunyikan di balik baju. Dia tak menghiraukan pertanyaan wartawan yang meminta komentarnya.
Rupanya, perpindahan Adiguna ini juga tak lepas dari sorotan mahasiswa. Begitu tiba di kejaksaan, mahasiswa Universitas Bung Karno menyambutnya dengan aksi unjuk rasa. Di tempat yang sama, hadir sejumlah pengacara yang mengaku dari koordinator tim advokasi keadilan dan kebenaran untuk keluarga korban. Paskalis Pieter, salah seorang advokat yang datang ke kejaksaan, mengatakan keluarga korban tak berniat berdamai. "Dapatlah dibayangkan peristiwa ini. Korban orang kecil yang kuliah dan bekerja, ditembak orang yang sedang bersenang-senang," kata Gaudens Wodar, paman Rudy, kepada wartawan.
Menghadapi kasus yang menjerat dirinya, Adiguna tentu stres. Tapi kini, di balik tembok penjara Salemba, sebagaimana dituturkan pengacaranya, ia sudah bisa tertawa.
Nurlis E. Meuko dan Ramidi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo