Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari itu 28 Desember 2004, dua hari setelah tsunami menggulung sebagian Asia. Di atas hamparan lumpur pasir kecokelatan, seorang perempuan meraung sejadi-jadinya. Raut wajahnya yang menempel pada bumi yang keras. Mulutnya menganga. Dengan telapak tangan terbuka ke atas, ia menelungkup tanpa daya. Di sebelahnya tampak lengan sang anggota keluarga yang tewas itu. Itulah duka, ratapan.
Fotografer Arko Datta menyaksikan adegan itu di daerah Cuddalore, Provinsi Tamil Nadu, India. Ia membidikan kameranya. Hasilnya, sebuah ekspresi duka yang liris yang akhirnya dinobatkan sebagai World Press Photo of the Year 2004. Dengan suara bulat, para juri yang terdiri dari fotografer senior kantor berita, majalah, dan fotografer lepas, memilih satu imaji yang dibuat fotografer India yang bekerja untuk kantor berita Inggris, Reuters.
Menurut ketua dewan juri, Diego Goldberg, fotografer lepas dari Argentina, foto karya Arko Datta itu menampilkan gambar spot berita yang sangat kuat dalam pengambilan sudutnya. Sementara itu, anggota juri Kathy Ryan, editor foto The New York Times Magazine, Amerika, menilai: "Sangat jelas, bersejarah, dan begitu kuat menggambarkan emosi yang sesungguhnya."
Ya, fotografi jurnalistik memang saksi bisu sebuah peristiwa yang tergelar. Sebagai saksi mata, karya foto jurnalistik dituntut selalu hadir untuk menyuarakannya. Sejak 1955, di Amsterdam, Belanda, Yayasan World Press Photo hadir memprakarsai penganugerahan foto jurnalistik tahunan yang hingga kini dianggap kontes paling bergengsi di ajang fotografi jurnalistik di seluruh dunia. Memasuki penyelenggaraan yang ke-48 pada tahun ini, terjadi dua pemecahan rekor: jumlah peserta kontes dan foto yang ikut seleksi. Ada 4.266 pewarta foto 123 negara dan 69.190 foto ikut bersaing untuk menjadi yang terbaik di ajang ini. Tahun lalu, kontes ini diikuti 4.176 pewarta foto dan 63.093 foto.
Ajang kali ini juga, menurut Oscar Motuloh, ada sedikit pergeseran tema. Tahun lalu, World Press Photo lelah diwarnai suasana peperangan. Pemenangnya sebuah foto tentang perang di Irak. Sebuah bencana yang diciptakan ma-nusia. Kali ini pemicu bencana adalah sebuah gejala alam: tsunami. Inilah yang kemudian menjadi koridor dewan juri dalam menetapkan pilihannya. Pewarta foto jurnalistik Antara itu yakin para juri memiliki kerangka pemikiran sama dalam menentukan pilihan pada foto peristiwa tsunami.
Dari sisi itu, Oscar menambahkan, tanpa mengetahui konteksnya, juri dari antah-berantah pun akan melihat foto Arko Datta lebih layak menempati posisi pertama ketimbang pemenang kedua karya Shaul Schwarz, yakni foto bertajuk Corbis yang menampilkan seorang anak menjarah di Port-au-Prince, Haiti, pada 27 Desember 2004. Keunggulan lainnya, foto karya Datta itu sangat sopan. "Ia berhasil menggambarkan kengerian dan kekerasan dengan santun," ujarnya.
Sebenarnya, dari segi fotografis, foto hasil bidikan Datta itu biasa. Sudut gambar yang dibidik juga konvensional. Tapi karena imaji yang ditangkap Datta mewakili kedukaan masa kini, dialah yang terpilih. Tsunami yang menerjang dan meluluhlantakkan sejumlah negara di Asia, termasuk Indonesia, mendadak menjadi pusat perhatian dunia. Bencana dahsyat itu mengguncang hingga ke sudut-sudut relung hati di seantero jagat. Keunggulan inilah yang mengantarkannya menjadi pemenang. "Secara visual, foto itu sangat terkait dengan peristiwa," ujar Oscar. "Foto itu mewakili sebuah peradaban yang terguncang."
Selain karya Datta, pemenang pertama kategori sport action karya Bob Martin, Inggris. Bidikannya menampilkan orang cacat sedang melompat ke kolam renang dengan kedalaman 200 meter di Paralympic Games 2004 dan meninggalkan kaki palsunya. Foto itu dinilai lebih luar biasa dibandingkan pemenang kedua kategori sama yang sudah sering terekam sebagai obyek. Yang juga luar biasa adalah pemenang utama kategori general news, karya fotografer Brazil, F. Diorio. Foto berjudul Jornal O Estado de São Paulo itu menampilkan kebakaran di kampung kumuh Sao Paolo, Brasil, yang terekam 30 Agustus 2004. "Secara visual sangat kuat," kata Oscar.
Lantas, mengapa karya pemenang ajang bergengsi ini selalu hadir dengan potret buram? Pengamat fotografi Yudhi Soerjoatmodjo mengatakan bahwa tak mudah mendapat gambaran utuh tentang kecenderungan pemenang foto terbaik World Press Photo. Sebab, dalam setiap periode, jumlah karya yang dinilai begitu banyak dan memiliki kategori beragam. "Tapi memang yang terpilih se-lama ini masih bercerita persoalan pe-rang, bencana alam, dan penderitaan," katanya. Fotografi juga bukan matematika yang ada rumus pastinya. "Jadi, pastilah subyektifitas juri tinggi."
Nurdin Kalim, Evieta Fadjar, Suseno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo