HARI-hari ini persidangan jilbab. Sepuluh siswi SMA Negeri 68 Jakarta menggugat kepala sekolahnya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Cewek-cewek itu menuntut ganti rugi Rp 161 juta. Mereka "dikembalikan pada orangtua". Kasarnya, dikeluarkan karena ke sekolah mengenakan jilbab. Walau mereka dirugikan, sebelumnya tak ada yang memperkarakan kepala sekolah sampai ke tingkat pengadilan negeri. Padahal, mereka tak mengganggu orang lain, tetapi menjalankan keyakinannya. Dasarnya adalah Quran, Surah Al-Ahzab, ayat 59. "Apa, sih, salah kami?" tanya salah seorang di antara mereka. Urusan jilbab memang seperti langganan SMA 68 ini. Tujuh tahun silam siswinya Ratu Siti Nashiratun Nisa, berkerudung. Kepala sekolahnya, ketika itu Subandio, memanggil Ratu. Kemudian orangtuanya menerima surat dari Subandio. Isinya: Ratu diizinkan masuk setelah mematuhi seragam sekolah yang ditentukan. Surat melebihi masa skors itu tak berbatas. Ayah Ratu protes. Juga protes yang sama dari kawan-kawan Ratu. Sejak muncul di lingkungan Masjid Salman Bandung, 1977, jilbab sudah mengundang tanda tanya. Kemudian baru heboh (1982) setelah sejumlah siswi SMA 3 Bandung mengenakannya di sekolah. Para siswi itu minta dispensasi, dibolehkan olahraga dengan bercelana panjang dan berkerudung. Permintaan itu ditolak. Atty Martiana dan tujuh kawannya diharuskan bercelana pendek seperti biasanya. Karena mereka menolak, akibatnya diancam akan diberi "nilai dua" untuk pelajaran olahraga. Mereka protes, dan ramai sebelum tercapai kompromi: nilai pelajaran olahraga di rapor para siswi itu dikosongkan. Kasus serupa terjadi pula di Jember, Surabaya, dan Bogor. Di Jember, malah seorang siswi SMA I terpaksa pindah ke Bandung. Tapi di Surabaya kepala SMA 7, Muhadji Reksodidjojo, berat hati memindahkan muridnya yang berjilbab itu ke sekolah lain karena ada larangan siswi berjilbab di sekolahnya, setelah keluarnya peraturan seragam baru pada Maret 1982. Persoalan kerudung masih tak kunjung selesai. Balnak kepala sekolah masih melarang pemakaian jilbab, seperti yang berekor pada gugatan itu. Yang juga masih hangat adalah kasus Elizabeth Rini. Siswi SMA 83 Jakarta ini ditolak masuk sekolah "sebelum melengkapi dengan sejumlah persyaratan" -- karena ia pindah agama, lalu kepalanya mengenakan jilbab. Rini terpaksa mengurus Ebtanasnya sendiri, karena pihak sekolahnya lepas tangan. Apa pun dalihnya, ada juga yang alergi pada sikap beragama. Kakanwil P dan K Jawa Timur pada periode awal 1980-an, Soegijo, bahkan mengimbau pimpinan sekolah di wilayahnya agar tidak menyelenggarakan salat Jumat. Selain bab jilbab, ada beberapa yang lain. Di antaranya kasus Imran di Bandung, juga GPK (Gerakan Pengacau Keamanan) Warsidi di Lampung. Semua bermuara sama: dari keyakinan dan berkembang dari cara berpikir yang, menurut A.M. Saefuddih, "hitam-putih". Mereka menjalankan apa yang diyakini sebagai "kebenaran". Di Yogya ada Irfan Suryahardy, yang mengelola buletin Ar-Risalah terbitan BKPM tahun 1981. Sebenarnya buletin untuk dakwah dan komunikasi antarpemuda masjid. Di tangan Irfan buletin itu menjadi "media jihad" dengan semangat pokoknya yang keras. Seperti banyak kalangan muda Islam, mereka juga mengutip pikiran Khomeini. Mungkin karena itu, Ar-Risalah yang dikelola gotong royong terjual 10 ribu eksemplar ke berbagai kota. Tapi mereka hanya meminta infaq Rp 150, walau ada yang membayar sampai Rp 50 ribu. Kegiatan Irfan seperti itu membikin gerah aparat. Maklumlah, karena di daerah yang beda pendapat itu bahkan dianggap peka. Pada dinihari 4 Oktober 1983, petugas keamanan menggerebek pangkalan buletin itu di kompleks Masjid Sudirman, Yogya. Kata pihak keamanan, "Isi buletin ini mengafirkan pemerintah dan menyisipkan konsep revolusi dari luar negeri. Itu subversi." Tapi Irfan tak kapok. Anak petani dari Lombok Timur ini lalu menerbitkan Al-lkhwan. Gaya pemberitaannya tidak lebih lunak ketimbang pendahulunya. "Anak-anak muda itu berdakwah dengan materi yang disetel keras," kata Dr. Kuntowidjojo. Dosen UGM ini banyak mengenal mereka -- yang memang suka menyanjung nama Kartosuwirjo, Kahar Muzakkar, dan Daud Beureueh. Oplah buletin itu naik jadi 20 ribu. Hanya Irfan, pemimpin redaksi Al-Ikhwan, terpaksa ditahan pada 8 Februari 1989. Di persidangan ia bersikap tenang, dengan sesekali baca buku bersampul tulisan Arab. Ia menyeka keringat dengan handuk kecil putih, tapi sering senyum sinis pada majelis hakim. Ketika hakim mengetukkan palu, memvonisnya 13 tahun, Irfan berdiri. Ia berkata lantang, "Saya berterima kasih pada jaksa, hakim, dan pembela atas berakhirnya sidang ini. Namun, saya berpendapat, putusan ini benar-benar kejam, zalim, dan aniaya." Tetapi yang lebih menciptakan berita adalah Imran. Bersama kawannya dari Masjid Istiqamah, Bandung, ia terdengar bicara lugas, hampir tak senyum, dan cenderung suka menegur kesalahan orang. Bekas preman Medan yang kemudian mengaku memperdalam agama di Mekah ini kemudian jadi "idola" baru di masjid itu. Mereka mendepak pengurus lama, dan Imran dibaiat pengikutnya sebagai imam. Awal gerakan Imran terdengar 4 Agustus 1980 dalam peristiwa Masjid Istiqamah. Pada hari itu acara kaderisasi berubah jadi ajang caci maki terhadap ulama dan pemerintah. Khawatir keributan meledak, Skogar Bandung-Cimahi dan kepolisian menggerebek dan menahan 44 pemuda itu. Mereka semakin keras, bahkan mencoba membunuh dr. Syamsuddin selagi salat. Lalu ayat-ayat jihad dibahas hampir setiap hari. Hampir setiap anggota yang sudah berbaiat menyisipkan pisau di pinggang masing-masing, dan berlatih melemparkannya pada papan di belakang masjid. Jumlah "anggota pengajian" Imran ditaksir sudah 500 orang. Mereka mengganti nama masing-masing yang tadi "kafir" menjadi "nama Islam". Tak seperti Irfan, yang lebih tertarik mengecam pemerintah dan Pancasila, kelompok Imran menserapah apa saja yang mereka yakini sudah tak sesuai dengan Islam. Tengah malam 11 Maret 1981 meledaklah peristiwa Cicendo. Empat belas anggota jemaah Imran yang dipimpin Salman Hafidz dengan menumpang truk diesel D-1815-BU ke Pos Polisi Cicendo, Bandung. Ini gara-gara ditahannya motor salah seorang anggota jemaahnya, Cucu Suryadi. Senjata Garrand dipegang Maman Kusmayadi, dan yang lain membawa golok serta pisau. Setelah dua anggota jemaah, Toha dan Cucu, memberi isyarat "aman", aksi dimulai. Muhammad Edi dan Nurwan Gunawan turun dari truk. Mereka memasuki kantor polisi dengan pura-pura menanyakan sepeda motor yang ditahan itu. Tapi tiba-tiba Maman datang, menodongkan senjata. Sertu. Suhendrik dan Bharatu. Iskandar kaget. Keduanya digiring ke dalam sel, dan empat tahanan lain (entah siapa) dibebaskan oleh penyerbu itu. Salman masuk. Setelah melihat polisi yang mereka tahan itu, ia berkata, "Bilas." Maman menarik picu senjatanya. "Dorrr ...." Kedua polisi tadi tewas. Serka. Enung Suryana, komandan jaga yang baru datang, juga kebagian sebutir peluru di pahanya. Kemudian para penyerbu itu kabur. Sabtu 28 Maret jemaah Imran melakukan aksi lebih hebat lagi. Mestinya Garuda DC-9 hari itu sudah mendarat di Polonia, Medan, pada pukul 10.55. Tapi tidak, karena 5 anggota jemaah yang naik dari Palembang menguasai pesawat itu dan memaksa mendarat di Penang. Pesawat "Woyla" milik Garuda mereka bajak. Suasana tegang melingkupi para pimpinan negara di Indonesia, Malaysia, dan kemudian Muangthai, tempat pesawat itu terakhir berhenti di Don Muang -- karena ditolak mendiarat di Colombo dan Madras. Ketika berunding, para pembajak menuntut 1,5 juta dolar AS, minta 80 tahanan politik dibebaskan. Dan anehnya, "Adam Malik supaya dicopot sebagai Wakil Presiden". Selama 65 jam drama itu berlangsung. Dinihari 31 Maret, 100 orang tentara gahungan Indonesia-Muangthai mengendap mendekati "Woyla". Dari pintu belakang, pasukan itu menyergap. Tiga menit terjadi saling tembak, menggeletaklah korban bersimbah darah. Yakni pilot Herman Rante, Letnan Satu Achmad Kirang, dan lima pembajak: Wendy (adik Imran), Abu Sofyan, Zulfikar, Abdullah, Machrizal. Yang terakhir ini pimpinan pembajak. Imran telah menggores coretan hitam dalam sejarah kebangkitan Islam di Indonesia. Dia dan Salman Hafid juga telah menebusnya dengan kematian di ujung peluru pengeksekusi. Dan beberapa dari gerakan Iman kemudian juga terlibat dalam peristiwa teror Warman serta peledakan Borobudur. Sementara itu, yang baru adalah GPK Warsidi di Lampung.ZU dan Agus Basri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini