Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Suku Korowai Papua Tinggal di Rumah Pohon Demi Selamat dari Iblis

Kenapa masyarakat Suku Korowai Papua tinggal di rumah pohon. Ketinggiannya juga tak tanggung-tanggung, 12- 35 meter dari permukaan tanah.

3 Mei 2021 | 20.06 WIB

Rumah Tinggi yang ditempati oleh Suku Korowai di Mappi, Papua. Foto: Wikipedia
Perbesar
Rumah Tinggi yang ditempati oleh Suku Korowai di Mappi, Papua. Foto: Wikipedia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Masyarakat Suku Korowai tinggal di pesisir selatan Papua. Mereka hidup di rumah pohon dengan ketinggian sekitar 12 sampai 35 meter dari permukaan tanah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Peneliti Balai Arkeologi Papua, Hari Suroto mengatakan, bukan tanpa alasan masyarakat Suku Korowai membangun rumah di atas pohon. "Semakin tinggi rumah pohon, semakin aman keluarga yang tinggal di dalamnya dari ancaman pemburu kepala, binatang buas, dan tidak terjangkau oleh nyamuk malaria," kata Hari kepada Tempo, Senin 3 Mei 2021.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Masyarakat Suku Korowai tak khawatir rumah pohon itu bakal hancur tertiup angin karena sudah memperhitungkan diameter dan kekokohan pohon yang menjadi penopang. Yang penting, keluarga aman dari serangan 'laleo'. Dalam bahasa Suku Korowai, laleo adalah iblis yang kejam. Makhluk ini berjalan seperti mayat hidup dan berkeliran pada malam hari untuk mencari kerabat mereka.

Menurut kisah turun-temurun, kata Hari Suroto, anggota Suku Korowai yang bersekutu dengan lalelo akan dibunuh dan dagingnya boleh dimakan. Hukuman kanibalisme merupakan respons masyarakat terhadap sihir. "Laleo adalah iblis atau zombi yang hidup di dunia serupa manusia, tetapi semua isinya bertentangan dengan yang ada pada manusia. Setan-setan melihat malam sebagai siang hari," katanya.

Dulu, masyarakat Suku Korowai menganggap setiap materi dan orang-orang dari dunia luar sebagai laleo atau iblis. "Termasuk orang orang Papua dari daerah lain," kata Hari Suroto yang juga dosen arkeologi Universitas Cenderawasih, Papua. Beras dianggap sebagai sagu milik iblis, atap logam seperti ilalang dari iblis.

Selama beberapa waktu mereka menolak barang-barang yang dibawa masuk untuk pertukaran atau sebagai pendekatan kepada anggota Suku Korowai. Mereka juga menolak barang-barang yang bermanfaat untuk mata pencarian, seperti mata kail dan kapak logam.

Kemudian berangsur-angsur masyarakat Suku Korowai menerima tawaran barang-barang modern yang akhirnya menjadi penting, seperti korek api gas, parang logam, makanan kaleng, sampai mi instan.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus