Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Promosi Wisata Keliru, Film Suku Korowai Papua Hebohkan Kongres Amerika Serikat

Perhatian yang berlebihan tentang sistem hukum yang diterapkan Suku Korowai, Papua, di masa lalu menghebohkan kongres Amerika Serikat.

19 November 2020 | 05.35 WIB

Film Lords of the Garden yang menceritakan kehidupan Suku Korowai di Papua. Foto: iMDb
Perbesar
Film Lords of the Garden yang menceritakan kehidupan Suku Korowai di Papua. Foto: iMDb

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Suku Korowai di Boven Digoel, Papua, pernah menjadi pembahasan yang cukup panas di Kongres Amerika Serikat. Peneliti Balai Arkeologi Papua, Hari Suroto mengatakan pembahasan di Kongres Amerika Serikat itu bermula dari sebuah film dokumenter berjudul Lords of the Garden yang diproduksi pada Juli 1994.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mengutip laman iMDb, film Lords of the Garden menceritakan bagaimana Antropolog Smithsonian Institution, Paul Michael Taylor saat mendokumentasikan kehidupan masyarakat Suku Korowai di Papua. Sutradara film dokumenter ini adalah Reuben Aaronson dan Judith Dwan Hallet.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Film dokumenter ini menggambarkan Suku Korowai yang hidup di hutan, tinggal di rumah pohon, dan konon memiliki sistem hukum kanibalisme sebagai bentuk hukuman bagi pelanggar aturan adat. "Kebenaran tentang kanibalisme di masa lalu memang tidak disangkal, tapi perhatian yang berlebihan terhadap kanibalisme Suku Korowai telah dimanfaatkan oleh sejumlah agen perjalanan wisata," kata Hari Suroto kepada Tempo, Rabu 18 November 2020.

Dengan persepsi yang keliru, agen perjalanan wisata itu mengenalkan atau mempromosikan Suku Korowai di Papua sebagai kelompok masyarakat yang tinggal di pohon dan memprakikkan kanibalisme. "Perhatian yang berlebihan tentang kanibalisme Suku Korowai menghebohkan kongres Amerika Serikat pada masa itu," katanya.

Film Lords of the Garden yang menceritakan kehidupan Suku Korowai di Papua. Foto: iMDb

Congressional Black Caucus atau kelompok legislator beranggotakan keturunan Afro-Amerika tidak bisa menerima tudingan masih ada praktik kanibalisme. Kritik keras dari anggota kongres Amerika Serikat melahirkan rekomendasi agar film Lords of the Garden direvisi total.

Laman Washington Post edisi 5 Februari 1994 berjudul, 'An Unpalatable Topic?' menuliskan laporan tentang Kongres Amerika Serikat keberatan dengan rencana pemutaran film dokumenter berjudul Lords of the Garden ini. Antropolog Paul Michael Taylor yang juga menjadi bintang utama dalam film dokumenter itu menjelaskan ada persepsi yang keliru dalam memahami film tersebut.

Menurut Paul Michael Taylor, kanibalisme bukanlah cerita utama dalam film dokumenter tentang Suku Korowai. "Kami hanya memberikan gambaran menyeluruh tentang Suku Korowai di Irian Jaya," ucap Paul Michael Taylor yang merupakan antrolopog Museum of Natural History Washington. "Dan semua ini adalah fakta."

Sutradara yang juga produser film Lords of the Garden, Judy Dwan Hallet mengatakan praktik kanibalisme di Suku Korowai adalah cerita masa lalu. Hukuman itu dijatuhkan kepada anggota suku yang melanggar aturan adat, di antaranya membunuh, mencuri istri orang lain, atau merusak sistem pertahanan makanan mereka. Termasuk bagaimana Suku Korowai tinggal di rumah pohon setinggi 60 kaki atau sekitar 18 meter dari permukaan tanah.

"Dalam film dokumenter ini, kami melihat kebudayaan mereka secara menyeluruh," kata Judy Dwan Hallet. "Mereka tidak ingin dikenal sebagai kanibal, sama seperti kami juga tidak ingin dikenal sebagai orang yang setuju dengan hukuman mati."

Mengenai kanibalisme Suku Korowai, Hari Suroto yang juga dosen arkeologi Universitas Cenderawasih menjelaskan, mereka sudah tidak lagi mempraktikkan hukuman itu. "Sebenarnya bukti tentang hukuman kanibalisme itu hanya berupa ingatan kolektif yang diceritakan dari generasi ke generasi atau kisah turun-temurun," ucap dia.

Menurut cerita masyarakat Suku Korowai, hukuman kanibalisme merupakan respons mereka terhadap sihir. Perlu diketahui, Hari Suroto melanjutkan, masyarakat Suku Korowai punya musuh bersama bernama laleo atau iblis yang kejam.

"Mereka mengatakan laleo ini makhluk yang berjalan seperti mayat hidup, berkeliaran terutama pada malam hari untuk mencari manusia," kata Hari Suroto. "Inilah yang menjadi salah satu alasan Suku Korowai membangun hunian yang tinggi di pohon."

Menurut kisah turun-temurun, kata Hari Suroto, anggota Suku Korowai yang bersekutu dengan Lalelo akan dibunuh dan dagingnya boleh dimakan. "Laleo adalah iblis atau zombi yang hidup di dunia serupa manusia, tetapi semua isinya bertentangan dengan yang ada pada manusia. Setan-setan melihat malam sebagai siang hari," katanya.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus