Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Tak Harus Mahal, Cara Baru Menikmati Wisata Batik di Solo

Solo menjanjikan wisata murah meriah, namun bisa menelusuri sejarah batik dan mencicipi kuliner yang lezat.

22 Juni 2020 | 11.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Perajin tengah menyelesaikan pembuatan kain batik bermotif dua jari di rumah batik Putra Laweyan, Solo, Kamis 7 Maret 2019. Pemilik Putra Laweyan, Gunawan Muhammad Nizar terinspirasi membuat motif itu usai bertemu Sandiaga pada bulan lalu |AHMAD RAFIQ

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Solo identik dengan dua hal: wisata kuliner dan batik. Kini, kota jantung budaya Jawa di Jawa Tengah itu siap menerima wisatawan, setelah wabah Covid-19 menunjukkan tren mendatar.

Ketua Badan Promosi Pariwisata Kota Surakarta Bendoro Raden Mas (BRM) Bambang Irawan menyebut pendorong utama wisatawan ketika menyambangi Kota Solo, pertama adalah karena ingin berburu batik.
Hal ini berdasarkan data riset yang diperolehnya pada tahun 2012 silam tentang faktor d,i balik kedatangan wisatan ke Kota Solo. Bambang pun membeberkan bagaimana sejarah batik Solo bertumbuh hingga menjadi maskot kerajinan utama Kota Bengawan itu.
 
“Kota Solo ini di pertengahan abad 19 sudah menjadi pusat industri batik nasional, jadi sejarah batik di Solo memang sangat panjang,” ujar Bambang.
 
Dengan sejarah industri batik yang panjang itulah, kini Solo memiliki sejumlah kampung batik tersohor seperti Laweyan, Sondakan, dan Kauman. Popularitas batik Solo juga didukung sentra penjualannya, yang juga jadi objek wisata, seperti Pasar Klewer serta galeri milik perusahaan batik tulis terkemuka semisal Danarhadi dan Batik Keris.
 
 
Namun uniknya, ujar Bambang, Solo tidak sekedar menjadi pusat produksi batik atau ladang bisnis jual beli batik. Konsep wisata berbasis batik pun digagas dan bertumbuh saat ini.
 
“Kalau wisatawan pergi ke Solo, pagi hari dia bisa pergi ke kampung batik untuk membatik motif yang disukainya, lalu ditinggal keliling-keling kota, saat sore hari motif batik buatan wisatawan itu sudah jadi untuk oleh-oleh,” ujarnya.
 
“Kalau mau motif batik yang dibuat itu dijahit dan jadi baju, besoknya bisa diambil dan langsung dipakai. Jadi kampung-kampung batik di Solo ini menyediakan proses dari hulu sampai hilir bisa dinikmati wisatawan,” Bambang menambahkan.
 
Pria yang masih mengajar di Universitas Negeri Sebelas Maret Solo itu,  menuturkan keunikan pelaku industri batik di Solo. Menurutnya, mereka menempatkan batik tidak hanya hasil akhirnya saja, namun juga proses pembuatannya.
 
“Makanya bagaimana batik itu diproses sampai jadi bisa disaksikan wisatawan dan dilakukan mereka sendiri,” ujar Bambang.
 
Bambang menuturkan batik Solo memang memiliki kekhasan. Karena dulu industri itu didukung penuh proses pengembangannya oleh pusat pemerintahan yakni Keraton Surakarta. Sehingga mulai desain, inovasi, dan kreativitas bisa terawasi, sangat beragam dan menarik.
 
Rentang harga batik di Solo pun disebut murah dan terjangkau. Mulai Rp30.000 hingga ada yang Rp5 juta, “Kampung batik di Solo pasca pandemi ini juga sudah siap menerima wisatawan,” ujar Bambang yang merupakan cucu dari Raja Keraton Solo, Pakubuwono X itu.
 
Bambang menuturkan tak butuh biaya besar bagi wisatawan untuk melancong ke Solo. Tren wisatawan beberapa tahun terakhir juga sudah mulai bergeser.
 
Pelancong tak lagi menggunakan akomodasi berbiaya besar, tapi memilih paket-paket ekonomis. Tak lagi menginap harus di hotel namun di homestay-homestay dan rumah sewa yang murah, bisa berinteraksi dengan warga sekitar, dan berdekatan dengan destinasi khusus di Solo.
 
Pedagang melintas di depan Kraton Kasunanan Surakarta, Jawa Tengah, 3 Maret 2017. Kraton menjadi salah satu tujuan utama mereka menjual dagangan kepada wisatawan lokal usai mengunjungi tempat tersebut. TEMPO/Bram Selo Agung
 
Bahkan kini bagi para backpacker yang ke Solo, bisa menyewa sepeda onthel untuk menyambangi rumah rumah legendaris para mantan juragan batik, mantan pangeran Solo dan Mangkunegaran, yang masih terawat secara baik.
 
“Tidak harus sarapan di hotel, wisatawan saat mau bersepeda bisa sarapan di warung tengkleng, nasi liwet atau kuliner lain khas yang enak dan menarik,” ujarnya.
 
PRIBADI WICAKSONO
 
 
 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ludhy Cahyana

Ludhy Cahyana

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus