Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Di tengah hiruk pikuk kehidupan Kota Cimahi, terdapat sebuah kampung wisata budaya dengan kearifan lokal masih dijunjung tinggi dalam kehidupan sehari-hari. Tempat itu dinamakan Kampung Adat Cireundeu, sebuah lokasi yang dihuni oleh Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan. Berada di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, kampung adat ini berjarak 7,2 kilometer dari alun-alun Kota Cimahi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai masyarakat adat, masyarakat Cireundeu berusaha menjaga budaya serta tradisi di tengah zaman semakin modern. Namun, bukannya menolak perkembangan teknologi, kampung adat ini justru mengikuti dan terus mencoba memanfaatkannya, sebab, mereka memiliki prinsip "Ngindung ka waktu, mibapa ka zaman, mikukuh kabuhunan, tapi teu katalikung ku kabuhunan" yang artinya, masyarakat adat memiliki kearifan lokal sendiri berupa ciri, cara, dan keyakinan masing-masing, tapi tetap mengikuti arus zaman tanpa meninggalkan budaya dan identitas mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wisata budaya di sini tidak sekadar ramai di hari libur, tapi, hampir tiap hari ramai didatangi wisatawan. Salah satu pemandu sekaligus masyarakat adat, Tri, mengungkapkan bahwa jumlah pengunjung per bulan sekitar 2 ribu orang. "Rame tuh kemarin, terakhir di Februari. Februari itu hampir full," ujarnya kepada Tempo, Kamis, 20 Februari 2025. Tempat ini juga akan banyak dikunjungi ketika puncak perayaan upacara adat, seperti suraan
Aktivitas Wisata Kampung Cireundeu
Selama berada di sini pengunjung bisa melakukan berbagai aktivitas, mulai dari membuat rasi atau nasi singkong, egroll singkong, mikong atau mi singkong, cireng keripik, membuat kerajinan janur, dan membuat wayang golek daun singkong, belajar angklung buncis. Selain itu, pengunjung bisa hiking ke Puncak Salam, hingga berkunjung ke kebun singkong.
Jika ingin datang ke kampung adat tersebut, pengunjung harus melakukan reservasi dan memilih paket wisata. Paket setengah hari untuk dua kegiatan seharga Rp 130.000 per orang untuk 10 anggota rombongan, Rp 90.000 per orang dengan 20 anggota, Rp 75.000 per orang bagi 30 anggota, dan Rp 60.000 untuk 40 orang atau lebih. Sedangkan paket satu hari dapat memilih tiga aktivitas, harga bagi 10 orang dalam rombongan dibanderol seharga Rp 180.000 per anggota, Rp 110.000 per kepala untuk 20 anggota, Rp 90.000 bagi 30 orang, dan Rp 70 setiap orang untuk 40 orang atau lebih.
Setiap pemesan bisa memilih aktivitas yang diinginkan saat reservasi dilakukan. Harga juga sudah termasuk biaya untuk satu kali makan dengan makanan pokok berupa rasi. Saat berwisata, pengunjung bisa membeli makanan olahan singkong, seperti dendeng kulit singkong, aneka gorengan, cireng, egroll singkong, mi singkong, dan lainnya.
Larangan Selama Berwisata
Karena tempat ini kampung adat, ada hukum adat yang berlaku di masyarakat dan harus diikuti tamu. Di sekitar Puncak Salam, ada tiga wilayah yang memiliki aturan sendiri. Pertama, baladahan, lahan bagi perkebunan warga, tidak ada larangan khusus di sini. Kedua, wilayah larangan, siapapun tidak boleh masuk ke area itu. Ketiga, tanah tutupan, boleh masuk dan boleh dimanfaatkan, tapi ada hukum yang ditetapkan.
Tidak hanya itu, saat ke Puncak Salam, pengunjung tidak boleh menggunakan alas kaki serta tidak diizinkan menggunakan pakaian berwarna merah. Tri menjelaskan, Kampung Adat Cireundeu punya prinsip dekat dengan alam, jadi melepas alas kaki adalah cara agar langsung menginjak tanah dan untuk menjaga alam. "Namun, untuk baju merah, karena di Kampung Adat Cireundeu ada empat warna dasar, yaitu merah, kuning, hitam, serta putih. Warna merah itu melambangkan amarah," ujar Tri dalam bahasa Sunda.
Salah satu pengunjung, Nisa Fauziah, mengungkapkan bahwa dia cukup senang mempelajari budaya Sunda dari Kampung Adat Cireundeu. "Pastinya dapat pengetahuan baru karena mendengar langsung cerita tentang Sunda Wiwitan, makanan berbahan dasar singkong, dan budaya Sunda langsung dari pelaku budayanya sendiri," ungkap Nisa.
NIA NUR FADILLAH