Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Mataram - Gili Trawangan termasuk destinasi paling diminati turis yang berkunjung ke Lombok, Nusa Tenggara Barat. Namun jumlah turis yang semakin banyak, mengakibatkan pertumbuhan sampah Gili Trawangan juga kian melambung. Sampah di Gili Trawangan butuh solusi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menjawab tantangan itu, pengelolaan sampah pun semakin diperlukan. "Kami memiliki ide Eco Ranger untuk pemilahan sampah," kata Delphine Robbe, pegiat Gili Eco Trust, saat menemani perjalanan di Gili Trawangan, Minggu, 18 Agustus 2019. Gili Eco Trust adalah organisasi non-pemerintah yang fokus terhadap lingkungan di gugus kepulauan Gili.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Delphine sempat mengajak berkunjung melihat kondisi tempat pembuangan akhir di Gili Trawangan. Timbunan sampah tampak menumpuk tinggi di lahan yang luasnya sekitar 80 are itu. Ada beberapa ekor sapi yang juga berkeliaran di timbunan sampah itu.
Delphine bersama teman-temannya pegiat lingkungan sempat mengumpulkan data terkait volume sampah setiap hari, yang masuk ke tempat pembuangan akhir itu. "Bulan April ada 8 ton sampah per hari," ujarnya.
Namun, jumlah volume sampah tidak menentu. Ia membandingkan dengan musim ramai wisata pada Juli, Agustus, dan September. "Itu bisa 15 ton sampah per hari, karena ramai," tuturnya. Namun, tahun lalu saat Lombok diguncang gempa pada Juli, timbunan sampah sempat berkurang, karena menurunnya aktivitas wisata di Gili Trawangan.
Ihwal Eco Ranger, Delphine menganggap sangat diperlukan setidaknya untuk mengatasi permasalahan sampah melalui proses daur ulang. "Rencananya Eco Ranger akan berkeliling mengajari orang untuk memilah sampah organik dan anorganik supaya nanti pengangkutan bisa fokus ditaruh di conveyer (mesin pengolahan) sampah," tuturnya.
Misalnya, ia mencontohkan sampah organik bisa langsung digiling untuk dibuat menjadi pupuk. Begitu juga dengan sampah anorganik yang dimasukkan dalam conveyor. "Semua yang daur ulang nanti bisa dipisah sesuai kategori," katanya.
Zul salah satu pengrajin botol kaca, mendaur ulang botol kaca bekas untuk dijadikan kerajinan tangan. Foto: @giliecotrust
Saat berkeliling di sekitar timbunan sampah ada dua mesin penghancur kaca. Mesin itu digunakan untuk menghaluskan bekas botol atau gelas menjadi serbuk kaca. Dari tempat pembuangan akhir itu, Delphine sempat mengajak mampir ke rumahnya. Ada tumpukan batako di samping rumahnya. Selain itu ada pula serbuk kaca yang menumpuk di dekat tumpukan batako itu. Serbuk kaca itulah yang menjadi bahan baku untuk dicetak menjadi batako.
"Rumah saya contoh yang dibuat dengan batako (serbuk) kaca ini," tuturnya. Ia pun sempat menjelaskan singkat, bahwa serbuk kaca hingga menjadi batako cukup dicampurkan air dan lem sesuai takaran yang dibutuhkan. Dari rumahnya ia sempat mengajak berkunjung melihat produk suvenir Gili Eco Trust hasil daur ulang sampah di antaranya gelas, penutup lilin, sikat.
Keberadaan Gili Eco Trust dapat mengurai sedikit dari masalah sampah di destinasi unggulan wisata tersebut. Namun pemerintah juga harus menumbuhkan kesadaran pengelolaan sampah kepada masyarakat dan wisatawan. Agar masalah sampah di Gili Trawangan terpecahkan.