Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Toraja - Tengkorak dan tulang belulang manusia berserakan di dalam dan dinding gua yang lembab dengan stalaktit masih aktif. Peti-peti berselimut kain dan plastik berisikan jenazah dijepit bebatuan. Sesaji sirih, pinang, rokok, serta uang koin dan kertas menemani jemala. Tengkorak dan tulang belulang dalam gua itu berumur ratusan tahun. Peti-peti yang terlihat masih baru menampung jasad yang baru berumur bulanan hingga tahunan. Ada yang berumur dua bulan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Siang itu, puluhan peziarah terlihat memasuki pintu gua yang sempit di kompleks pemakaman Gua Londa, salah satu destinasi wisata di Kabupaten Toraja, Sulawesi Selatan. Pekuburan Gua Londa berada di Desa Sandan Uai, Kecamatan Sanggalangi. Gua ini berjarak tujuh kilometer dari pusat Kota Rantepao. Dari Kota Makale Tana Toraja berjarak 16 kilometer.
Susuri Pemakaman Gua di Toraja Bisa Pakai Jasa Pemandu Wisata
Bila pengunjung ingin menyusuri gua, maka bisa menggunakan jasa pemandu wisata. Pemandu menggunakan lampu petromaks untuk memberi terang cahaya di sepanjang satu kilometer. Untuk masuk ke gua setiap pengunjung hanya membayar tiket Rp 15 ribu dan Rp 50 ribu jasa pemandu dengan lampu petromaks.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pekuburan Batu Lemo di Kecamatan Makale Utara, Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan, Kamis, 17 Agustus 2023 (TEMPO/Shinta Maharani).
Julianto Dasa Bangalino, 26 tahun, merupakan salah satu pemandu di kampung itu. Julianto lebih dikenal dengan nama panggilan Igal. Dia berasal dari keturunan keluarga jenazah bermarga To’lengke yang dimakamkan di gua itu.
Keluarga To’lengke dan To’pangrapa merupakan trah yang pertama kali menemukan gua tersebut hingga menjadi makam keluarga. “Di sini makam terbagi menjadi tiga, yakni bangsawan, kalangan menengah, dan rakyat jelata sesuai kastanya,” ujar Igal yang menjadi pemandu sejak umur 15 tahun.
Sembari menyusuri gua, Igal menenteng lampu petromaks untuk menerangi perjalanan saya bersama dua pegiat Serikat Jurnalis untuk Keberagaman, Tantowi Anwari dan Yuni Pulungan. Kami ke Toraja untuk mengenal lebih dekat peninggalan-peninggalan zaman purba agama lokal suku Toraja, Aluk Todolo selepas mengisi acara workshop isu keberagaman di Makassar, yang berjarak delapan jam perjalanan dengan menumpang bus.
Sejarah Gua Londa Jadi Pemakaman Penganut Aluk Todolo
Pekuburan Batu Lemo di Kecamatan Makale Utara, Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan, Kamis, 17 Agustus 2023 (TEMPO/Shinta Maharani).
Igal menyebutkan Gua Londa menjadi pemakaman penganut Aluk Todolo, agama lokal yang menyembah arwah leluhur sejak abad ke-11. Meski agama baru atau Kristen masuk ke Toraja, namun dalam praktiknya mereka menjalankan tradisi Aluk Todolo, misalnya menyimpan mayat atau to makula, pemakaman atau rambu solo, dan ritual manene atau membersihkan jenazah dan mengganti baju maupun kain.
Orang mati di Tana Toraja dimakamkan di gua, bebatuan dan tebing sekitar pegunungan atau dikenal sebagai erong. Menurut Igal, leluhur Aluk Todolo visioner. Jasad tidak dikebumikan di tanah karena nenek moyang suku Toraja berpikir panjang untuk masa depan. “Tanah lebih baik digunakan untuk rumah dan pertanian,” kata dia.
Agama samawi, salah satunya Kristen berdampingan dengan Aluk Todolo dengan tetap mempertahankan ritual. Hanya saja, dalam prosesi upacara kematian, keluarga mendiang yang beragama Kristen menambahkan unsur kebaktian. Tradisi itu masih dijalankan keluarga Igal yang menganut Kristen.
Selanjutnya Kisah Tengkorak Sepasang Kekasih di Gua Londa
Kisah Tengkorak Sepasang Kekasih di Gua Londa
Tengkorak dan tulang belulang sepasang kekasih di pekuburan Gua Londa di Desa Sandan Uai, Kecamatan Sanggalangi, Toraja Utara, Sulawesi Selatan, Selasa, 15 Agustus 2023 (TEMPO/Shinta Maharani).
Di dalam Gua Londa, Anda juga bisa menjumpai dua tengkorak yang merupakan sepasang kekasih. Dua kekasih ini bernama Lobo dan Andwi yang mati setelah gantung diri di pohon karena hubungan mereka tidak direstui orang tua mereka. Keduanya bersaudara sepupu. Orang Toraja punya pantangan menikahkan orang dalam satu keluarga dekat atau serumpun.
Selama menyusuri gua, Igal mengingatkan agar tak memindahkan dan mengambil tulang belulang, tengkorak, dan benda apapun. Bila aturan itu dilanggar, menurut Igal membuat pengunjung celaka dan kesurupan. “Larangan itu bertujuan untuk menghormati jenazah,” ujar dia.
Di Gua Londa, pengunjung juga bisa menyaksikan keindahan erong di dinding gua, lengkap dengan tao-tao atau patung yang dipahat, menggambarkan manusia yang dikubur. Orang Toraja meletakkan jenazah berdasarkan kasta. Semakin tinggi letak jenazah,maka semakin tinggi kastanya.
Keindahan pekuburan juga ditemukan di Lo’ko Mata atau lubang batu besar di Desa Tonga. Untuk menjangkaunya, pengunjung harus melewati jalanan yang berkelok-kelok, menanjak, curam. Terletak pada ketinggian 1.400 meter di atas permukaan laut, jenazah-jenazah itu diletakkan pada bilik-bilik batu berukuran sekitar 2x2 meter persegi.
Posisi Bilik Makam Gambarkan Status Seseorang Kala Hidup
Posisi bilik menggambarkan seberapa penting orang yang dimakamkan di situ. Semakin tinggi bilik makam, semakin penting kedudukan orang yang meninggal. Tangga dari bambu digunakan untuk meletakkan jasad orang mati di tebing.
Saya menjajal naik tangga untuk melihat keindahan tao-tao, kepala kerbau, dan ukiran-ukiran di setiap bilik batu, rumah adat Tongkonan. Lo’ko Mata dikelilingi areal persawahan dengan udara sejuk di Desa Tonga Riu, Kecamatan Sesean Suloora.
Di pekuburan lainnya, Batu Lemo di Kecamatan Makale Utara, terlihat pahatan artistik leluhur Aluk Todolo. Ukiran kayu terlihat sangat detail dan rumit di bilik-bilik bebatuan tebing. Mereka mengkombinasikan ritual kematian, tradisi, dan seni.
Pohon Kuburan Bayi
Kuburan bayi di kawasan wisata Bori’ Kalimbuang Bori, Kec. Sesean, Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan, Selasa, 15 Agustus 2023 (TEMPO/Shinta Maharani).
Yang tak kalah menarik adalah pohon kuburan bayi. Tengoklah tempat pemakaman itu di Kawasan wisata Bori’ Kalimbuang. Setelah menyusuri kompleks pemakaman bangsawan yang dikelilingi batu-batu menhir sebagai penanda setiap upacara pemakaman, saya dan dua kawan berjalan menuju pepohonan Tarra berumur ratusan tahun.
Bongkahan ijuk menempel pada lubang-lubang pohon berukuran jumbon itu, sebagai penanda kuburan bayi. Bayi berumur nol hingga tiga hari dimakamkan di situ.
Suku Toraja menyebut tradisi penguburan bayi sebagai Passiliran. Pohon bagi penganut Aluk Todolo merupakan simbol rahim ibu. Bayi yang meninggal dikuburkan di batang pohon dan ditutup dengan ranting pohon. Tapi, kini warga Toraja tidak melakukan itu sejak masifnya penyebaran agama baru, di antaranya Kristen.
Perjalanan kami ditutup dengan sepintas melihat pemakaman orang Toraja atau rambu solo di Lemo, Kecamatan Makale Utara. Menuju Makassar, kami hanya bisa melongok dari balik kaca jendela bus, melihat keramaian orang-orang berpakaian serba hitam.
Orang Toraja meyakini pemakaman sebagai peristiwa penting karena jiwa seseorang memulai perjalanan panjang hingga ke akhirat dan jiwa akan bereinkarnasi. Ritual rambu solo diikuti dengan penyembelihan kerbau yang diyakini sebagai jalan untuk memudahkan perjalanan mendiang ke alam baka. Daging kerbau itu dibagikan kepada para tamu.
Orang Toraja menabung dan menghabiskan sebagian harta mereka untuk menggelar ritual rambu tuka yang mewah. Setelah keluarga merasa tabungannya cukup, mereka mengundang kerabat dan tetangga untuk datang saat prosesi rambu solo. Semakin kaya keluarga mendiang, maka upacara kematian semakin mewah.