Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eni Maulani Saragih masih mengingat jelas perkenalannya dengan Samin Tan. Pada akhir 2017, pengusaha batu bara itu menemui Eni di ruang Fraksi Golkar di Gedung Nusantara I Dewan Perwakilan Rakyat. Seorang koleganya di partai beringin yang menjadi perantara pertemuan tersebut. Setelah berbasa-basi sejenak, Samin mengutarakan maksud kedatangannya menemui Wakil Ketua Komisi Energi DPR itu. ”Ada persoalan terkait dengan perusahaan Pak Samin dengan Kementerian ESDM,” ujar Eni kepada Tempo, pertengahan November lalu.
Eni kini ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi karena terjaring operasi tangkap tangan KPK setelah kedapatan menerima suap Rp 500 juta dari Johannes Budisutrisno Kotjo, pemilik BlackGold Asia Resources Pte Ltd, pada Juli lalu. Suap itu bagian dari Rp 4,7 miliar yang diterima Eni agar membantu Johannes mendapatkan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Riau-1. Kasus ini juga menjerat Menteri Sosial dan Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Idrus Marham. Perkara Johannes bergulir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Di tengah pengusutan kasus Eni, muncul nama Samin Tan. KPK sudah memeriksanya pada September lalu.
Menurut Eni, pengusaha yang puluhan tahun malang-melintang di bisnis batu bara itu menemuinya karena ia adalah pemimpin komisi yang bermitra dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Samin meminta politikus Golkar itu menanyakan kepada Kementerian Energi tentang alasan penerbitan surat keputusan pengakhiran perjanjian karya pengusahaan batu bara antara pemerintah dan perusahaannya, PT Asmin Koalindo Tuhup, pada 19 Oktober 2017. Perusahaan itu memiliki konsesi tambang batu bara di Murung Raya, Kalimantan Tengah. Eni mengiyakan permintaan tersebut.
Dalam beberapa kesempatan rapat dengar pendapat dengan petinggi Kementerian Energi, Eni menyampaikan pesan Samin itu. Eni mengatakan ia mendapatkan jawaban dari pihak Kementerian Energi bahwa penghentian kontrak karya itu lantaran Asmin Koalindo dianggap melakukan pelanggaran berat. Tuduhannya menjaminkan kontrak untuk tujuan pembiayaan tanpa persetujuan tertulis dari Menteri ESDM sehingga bertentangan dengan ketentuan Pasal 30 angka 1 Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) antara pemerintah dan Asmin Koalindo.
Dalam surat keputusan Menteri Energi disebutkan Asmin Koalindo yang menguasai kontrak karya pertambangan batu bara seluas 21.630 hektare itu telah menandatangani perjanjian-perjanjian sebagai penjamin atas fasilitas perbankan dari Standard Chartered Bank Singapura kepada induk usahanya, PT Borneo Lumbung Energi & Metal Tbk. Penjaminan utang ini terungkap kala Asmin Koalindo digugat Standard Chartered lantaran perusahaan tersebut mengklaim sedang pailit sehingga mengajukan penundaan kewajiban pembayaran utang pada 2016. Asmin Koalindo lewat PT Borneo Lumbung Energi mempunyai utang US$ 1 miliar ke Standard Chartered Bank Singapura sejak 2012.
Atas kasus tersebut, Kementerian Energi melakukan verifikasi terhadap Samin Tan. Menurut seorang pejabat Kementerian Energi, Asmin Koalindo mendapat dua kali teguran kelalaian sesuai dengan Pasal 25 PKP2B. Dalam status default tersebut, Asmin Koalindo disebut tidak melakukan perbaikan sehingga pemerintah berhak mengakhiri kontraknya.
Menurut sumber itu, apabila terminasi dilakukan, wilayah konsesi Asmin Koalindo seluas 21.630 hektare tadi akan dikembalikan kepada pemerintah untuk ditetapkan sebagai wilayah izin usaha pertambangan khusus dan/atau diusulkan menjadi wilayah pencadangan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. ”Tahapan-tahapannya sudah kami lakukan sesuai dengan ketentuan,” kata pejabat tersebut.
Atas keputusan Kementerian Energi itu, Samin Tan—salah satu orang terkaya di Indonesia versi majalah ekonomi Amerika Serikat, Forbes, tahun 2011—mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara atas Surat Keputusan Menteri ESDM Nomor 3714K/30/MEM/2017. Gugatan tersebut dimenangi Asmin Koalindo. Salah satunya, melalui Eni Maulani Saragih, Samin meminta Kementerian Energi segera mengeksekusi putusan tersebut.
Menurut Eni, Samin mengucurkan duit senilai Rp 5 miliar kepadanya sebagai jasa melobi Kementerian Energi. Setoran besel terakhir Samin untuk Eni sebesar Rp 1 miliar sekitar Juli lalu. Pemberian itu bersamaan dengan suap untuk Eni dari bos BlackGold Natural Resources Limited, Johannes B. Kotjo.
Saat persidangan terdakwa Johannes Kotjo awal November lalu dengan agenda pemeriksaan saksi, keponakan sekaligus anggota staf Eni, Tahta Maharaya, mengakui, dari uang-uang yang disita KPK itu, Rp 1 miliar di antaranya ia ambil di kantor Samin, Menara Merdeka, Jakarta Pusat. ”Terkait dengan Samin Tan, ketemu stafnya. Saya cuma dikasih kontak sama Ibu (Eni Maulani Saragih) untuk menghubungi stafnya tersebut di kantornya Samin Tan,” ujar Tahta.
Awalnya Tahta mengaku tak tahu jumlah duit yang disimpan dalam tas hitam tersebut. Dalam tanda terima yang dikasih anggota staf Samin, menurut Tahta, hanya dituliskan kode ”buah”. Ia baru mafhum duit itu sejumlah Rp 1 miliar saat ditanya penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi. Komisi tengah mendalami pemberian duit dari Samin kepada Eni tersebut. ”Tentu kami akan mempelajarinya, sejauh apa fakta di persidangan itu bisa dikembangkan,” ucap Wakil Ketua KPK Saut Situmorang. Komisi sudah mencekal Samin sejak September lalu.
Eni membenarkan pernyataan Tahta tersebut. Namun, menurut dia, pemberian duit dari Samin atas dasar bantuan sebagai teman. Meski sifatnya bantuan, Eni kini berniat mengembalikan fulus panas tersebut ke KPK. Apalagi, kata dia, upayanya mendekati sejumlah petinggi Kementerian ESDM tak mempengaruhi keputusan mereka terhadap Asmin Koalindo. Belakangan, pada Agustus lalu, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta menganulir kemenangan Asmin Koalindo.
Kepala Bagian Hukum Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Heriyanto tidak mau berkomentar soal ini. ”Saya perlu izin ke Pak Dirjen Minerba apakah boleh menyampaikan info mengenai AKT (Asmin Koalindo Tuhup) ke media,” ujar Heriyanto. Hal senada diungkapkan Staf Khusus Menteri ESDM Hadi M. Djuraid. ”Tanya saja Direktur Jenderal,” ucapnya. Sepanjang pekan lalu, Direktur Jenderal Mineral dan Baru Bara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono belum bisa ditemui Tempo di kantornya. Dihubungi di nomor telepon selulernya, Bambang tak merespons. Pertanyaan Tempo yang dikirim melalui pesan WhatsApp dan surat belum ia balas.
Samin Tan belum bisa dimintai konfirmasi soal tuduhan ini. Saat Tempo bertandang ke kantor Samin di Menara Merdeka, para petugas keamanan menyatakan bosnya sedang tidak ada di tempat. Mereka meminta surat permohonan wawancara dititipkan di resepsionis. Sampai pekan lalu, tak ada jawaban atas permohonan wawancara itu. Anggota staf khusus Samin, Nanie, menolak mengomentari persoalan yang membelit bosnya itu. Setelah diperiksa penyidik KPK pada September lalu untuk kasus Eni Saragih, Samin juga irit bicara. ”Tak ada yang saya ketahui,” katanya.
LINDA TRIANITA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo