Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Lobi Mendesak Jagung Ternak

Kementerian Pertanian membujuk Charoen dan Japfa Comfeed menyuplai 10 ribu ton jagung sambil menunggu produk impor tiba. Surplus jagung dipertanyakan.

23 November 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Panen jagung di kawasan Margodadi, Seyegan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Oktober lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tim Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian tak mau berlama-lama memikirkan kurangnya stok jagung pakan ternak di sentra peternakan selama beberapa bulan terakhir. Setelah pemerintah membuka keran impor 100 ribu ton jagung melalui Perusahaan Umum Badan Usaha Logistik, Kementerian Pertanian mencari cara agar kelangkaan pakan di tingkat peternak teratasi sebelum jagung impor tiba.

Anggota tim disebar untuk melakukan koordinasi dengan peternak lokal. Direktur Perbibitan dan Produksi Ternak Kementerian Pertanian Sugiono, yang kebagian memimpin rapat di Balai Besar Inseminasi Buatan Singosari, Malang, Jawa Timur, Rabu dua pekan lalu, mengumumkan kepada peternak ayam petelur (layer) agar menggunakan produk pakan dari PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk dan PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk. “Karena peternak sudah ramai ribut, akhirnya diimbau, para feed mill bisa bantu tidak? Hanya dua yang mau,” kata Sugiono di kantornya, Rabu pekan lalu.

Selain diikuti perwakilan peternak, rapat di Balai Besar dihadiri pejabat Bulog, Dinas Peternakan Jawa Timur, dan Dinas Peternakan Kabupaten Malang, Blitar, Kediri, serta Tulungagung, juga Satuan Tugas Pangan Kepolisian Daerah Jawa Timur. Dalam pertemuan sekitar tiga jam itu, Sugiono justru menyayangkan hanya dua pabrik pakan ternak yang bersedia membantu pemerintah. Padahal kelangkaan pakan menyebabkan banyak peternak kecil di Jawa Timur sulit berproduksi. Harga jagung di pasar berkisar Rp 5.000-6.000 per kilogram.

Sugiono mengatakan, saat pasokan pakan mulai menipis awal Oktober lalu, beberapa perusahaan bersedia menyuplai kebutuhan peternak mandiri. Di antaranya PT Malindo Feedmill Tbk, PT Japfa Comfeed- Indonesia, PT Charoen Pokphand Indonesia, PT Sido Agung Agro Prima, dan PT Sierad Produce Tbk. “Dulu mereka murni kasih bantuan total 470 ton untuk di Jawa Tengah dan Jawa Timur,” ucap Sugiono. Ketika stok menyusut lagi awal November, Kementerian Pertanian kembali membujuk sejumlah perusahaan pabrik pakan itu agar segera menyediakan pakan bagi peternak kecil.

Tanpa tawar-menawar, rapat di Balai Besar langsung menyepakati sistem pinjam-pakai dari Japfa dan Charoen kepada Bulog. Selain itu, ditentukan sistem distribusi jagung dari gudang Bulog kepada peternak. Bulog menjual jagung seharga Rp 4.000 per kilogram di luar ongkos penyaluran.

Ihwal keberadaan jagung pinjaman dari dua perusahaan ini sebetulnya mencuat sebelum rapat di Singosari digelar, tepatnya pada Jumat tiga pekan lalu. Pada 9 November 2018, Kementerian Pertanian mengeluarkan edaran berjudul “Peternak Rakyat Apresiasi Gerak Cepat Kementan Fasilitasi Distribusi Jagung ke Berbagai Sentra Ayam”. Di situ disebutkan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan akan mendistribusikan 12 ribu ton jagung pipilan ke sentra peternak layer di Jawa.

Edaran itu membuat geli sejumlah pelaku industri peternakan dan pakan nasional. Musababnya, Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengatakan distribusi 12 ribu ton jagung diklaim bertujuan memotong jalur distribusi yang dianggap sebagai biang kelangkaan pakan ternak. “Ini bukti bahwa ketersediaan pakan jagung cukup untuk memenuhi kebutuhan para peternak lokal,” ucap Amran dalam edaran. Padahal, kata seseorang yang mengetahui asal-usul 12 ribu ton jagung itu, “Jagung-jagung tersebut hasil malak Kementan ke perusahaan.” Rencananya, Charoen dan Japfa meminjamkan total 10 ribu ton jagung, sementara sisanya disuplai pedagang mitra Bulog.

Menteri Pertanian Amran Sulaiman (tengah) saat panen jagung di Desa Lariang, Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat, Oktober lalu.

Sebelum lobi pinjaman dilakukan, sebetulnya Kementerian Pertanian lebih dulu meminta impor jagung dengan alasan terjadi keterbatasan pasokan. Dalam rapat Rabu tiga pekan lalu, Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution mengakui rapat koordinasi terbatas pada 2 November 2018 itu digelar setelah ada usul impor dari Amran. Permintaan impor datang di tengah narasi Kementerian Pertanian yang menyebutkan produksi jagung nasional tahun ini berlebih 12,98 juta ton. “Mentan bilang minta impor. Bikin surat, dong. Jangan nanti tiba-tiba tidak mengaku,” tutur Darmin.

Seseorang yang mengikuti rapat koordinasi terbatas saat itu mengatakan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita turut kesal terhadap sikap Amran. Enggar, kata dia, menangkap sinyal Amran akan mengelak sebagai pengusul impor jagung. Karena itu, dalam surat kepada Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno tentang usul penugasan Bulog dalam importasi jagung, Enggar menyebutkan Kementerian Pertanianlah yang meminta impor tersebut.

Dalam surat itu, yang salinannya diperoleh Tempo, Enggar mengatakan Amran mengirim surat nomor B-3144 tertanggal 1 November 2018 perihal pemasukan jagung untuk cadangan pemerintah kepada Darmin. Amran mengusulkan impor jagung sebanyak 100 ribu ton untuk pakan ternak mandiri karena keterbatasan pasokan. Saat itu, harga jagung kering bahan baku pakan di pasar sudah mencapai Rp 5.200 per kilogram. Berdasarkan surat itulah Darmin menggelar rapat.

Rapat koordinasi terbatas kemudian menyepakati usul impor itu. Bulog ditugasi mengimpor sekaligus menjual dengan harga Rp 4.000 per kilogram di gudang. Bila Bulog merugi dalam penugasan tersebut, pemerintah akan menggantinya dari pos anggaran cadangan stabilitas harga pangan.

Kementerian Pertanian kemudian sadar bahwa keputusan impor ini tak serta-merta membereskan masalah. Jagung di lapangan tetap langka. Harganya tak kunjung merosot. Direktorat Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian mulai berhitung, jagung impor baru akan tiba pada Desember. Padahal peternak kecil membutuhkan jagung segera.

Beberapa hari setelah rapat di Kementerian Koordinator Perekonomian, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan I Ketut Diarmita mengumpulkan pelaku industri pakan ternak. Seorang pelaku industri mengatakan Diarmita menanyakan stok jagung setiap perusahaan. Setelah itu, Diarmita meminta perusahaan mau menyisihkan sedikit stoknya untuk dipinjam pemerintah. Kementerian Pertanian ingin industri menyuplai segera kebutuhan peternak mandiri. Sayangnya, “Industri tidak mau ngasih,” kata sumber ini.

Rapat berakhir tanpa keputusan. Permintaan Diarmita tidak tembus. Amran turun tangan. Tiga pelaku industri peternakan menyebutkan Amran menelepon petinggi Japfa dan Charoen. Setelah panggilan telepon itu, barulah Charoen dan Japfa melunak. Saat dimintai konfirmasi, Kepala Divisi Pakan PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk Budiarto Soebijanto dan Direktur PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk enggan memberikan penjelasan.

Ketika ditemui setelah meneken perjanjian kerja sama pengembangan sumber daya pendidikan pertanian dengan Kamar Dagang dan Industri Indonesia, Jumat pekan lalu, Amran membantah kabar bahwa ia menelepon pemimpin Charoen dan Japfa. Di hadapan beberapa pejabat Kadin, Amran berterima kasih lantaran para pengusaha telah bersedia meminjamkan jagung kepada Bulog.

Pada 8 November, Diarmita menyurati- Bulog. Dalam surat itu, Diarmita menyatakan jagung impor baru akan tiba pada Desember. Sambil menunggu impor, kebutuhan jagung bagi peternak mandiri akan dipenuhi Charoen dan Japfa. Direktur Pengadaan Bulog Bachtiar mengatakan timnya hanya dipasrahi mendistribusikan jagung pinjaman itu. Menurut Bachtiar, Menteri Pertanian yang meminta dua perusahaan tersebut menalangi kebutuhan mendesak di lapangan. “Bukan Bulog, itu Pak Menteri Pertanian,” ujarnya. Bulog hanya bertugas mendistribusikannya ke peternak kecil dan mengganti ke pabrik begitu produk impor tiba. “Kuota yang kemarin masuk baru 73 ton, ditambah sekitar 20 ton,” tutur Bachtiar, Kamis pekan lalu.

INDUSTRI peternakan sebetulnya sudah memperingatkan soal kelangkaan jagung pada awal Oktober lalu. Menurut anggota Dewan Penasihat Gabungan Perusahaan Makanan Ternak, Sudirman, mereka berkali-kali melaporkan kelangkaan tersebut kepada Kementerian Pertanian. Kelangkaan itu dikhawatirkan akan memicu kenaikan harga jagung. “Tapi tidak ada respons,” kata Sudirman, Selasa dua pekan lalu.

Peternak mandiri yang selama ini memproduksi pakan sendiri mengeluhkan perkara yang sama. Pada 2 Oktober, Ketua Koperasi Putra Blitar Sukarman menyurati Ketut Diarmita. Dalam surat itu, yang salinannya diperoleh Tempo, Sukarman melaporkan bahwa panenan jagung dari sentra seperti Tuban, Lamongan, Ponorogo, dan Trenggalek sudah diserap perusahaan pakan ternak.

Sentra panen di Nganjuk, Kediri, dan Blitar sebagian besar sudah dikontrak perusahaan benih jagung. Peternak mandiri akhirnya membeli jagung kepada pedagang besar ketika harga sudah terkerek karena berebut dengan pabrik. Sepanjang Agustus-September, peternak membeli jagung dengan harga Rp 4.700-5.200 per kilogram, jauh melampaui harga acuan di tingkat pengguna yang sebesar Rp 4.000 per kilogram dengan kadar air 15 persen—harga acuan tingkat petani Rp 3.150 per kilogram.

Menurut Sudirman, dalam situasi kelangkaan jagung tahun ini, pabrik bisa bertahan lantaran mampu mengurangi porsi jagung dalam tiga tahun terakhir. Bahan penggantinya adalah gandum. Sisanya bahan baku lain, seperti bungkil kedelai dan minyak sawit. Adapun peternak mandiri tidak bisa mengikuti strategi industri mengatasi keterbatasan produksi jagung nasional itu. “Peternak mandiri masih bertumpu pada bahan baku utama jagung,” ujarnya.

Sudirman mengungkapkan, alasan utama industri beralih ke gandum adalah pada 2015 Kementerian Pertanian mulai mengencangkan keran impor jagung. Pada 2014, angka impor jagung 3,6 juta ton. Pada 2015, angka itu turun menjadi 1,5 juta ton. Pada 2016, impor dipangkas tinggal 500 ton, hingga tak ada impor sepanjang tahun lalu. Sebaliknya, impor gandum merangkak naik dan kini menyentuh 2,5 juta ton dibanding pada 2014, yang tak sampai 500 ribu ton. “Saat itu pemerintah mengurangi impor jagung karena menganggap produksi surplus,” kata Sudirman.

Badan Pusat Statistik sudah lama melihat ada yang keliru dalam metode penghitungan produksi jagung nasional. Seperti produksi beras, data luas lahan jagung hanya mengacu pada amatan mata (eye estimated). Menurut Direktur Statistik Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan BPS Hermanto, BPS abstain dalam hal data produksi jagung sejak 2015. “Mungkin 2019 kami bisa rilis data yang lebih presisi,” tuturnya, Rabu dua pekan lalu.

BPS mengakui tidak mudah membereskan data pangan strategis. Pada Oktober lalu, BPS baru merilis data produksi beras berdasarkan metode penghitungan baru. Hasilnya, surplus beras nasional tidak sehebat klaim Kementerian Pertanian sebelumnya. Itu sebabnya, untuk data produksi jagung yang diklaim surplus 12,98 juta ton, “Kami tidak ikut bertanggung jawab,” kata Hermanto.

PUTRI ADITYOWATI, KHAIRUL ANAM

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus