Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sukarman membawa setumpuk dokumen ke kios fotokopi di Kota Blitar, Jawa Timur. Ketua Koperasi Putra Blitar ini menyodorkan berkas sebanyak lebih dari dua rim untuk digandakan. Salinan dokumen itu harus segera diserahkan ke kantor Subdivisi Regional Perusahaan Umum Bulog Tulungagung sebelum jam kerja berakhir pada pukul 15.30 Waktu Indonesia Barat.
“Ini data pengajuan jagung dari peternak ayam Blitar. Harus masuk ke Bulog sebelum stok pakan di kandang habis,” kata Sukarman, Rabu pekan lalu. Koperasi Putra Blitar yang dipimpin Sukarman menaungi ribuan peternak ayam petelur di wilayah itu.
Pria paruh baya itu rela bolak-balik Blitar-Tulungagung, yang berjarak sekitar 40 kilometer. Ia menempuhnya hampir tiap hari demi mengurus pasokan jagung untuk pakan ayam peternak anggota koperasi. Sukarman merasa hal ini tak ada apa-apanya dibanding saat ia pontang-panting mencari suplai pakan ayam beberapa waktu lalu.
Agustus lalu, saat kebanyakan orang berpesta memeriahkan peringatan hari kemerdekaan Indonesia, para peternak ayam di Blitar justru sempoyongan. Harga jagung yang semula stabil di kisaran Rp 3.600 per kilogram tiba-tiba melambung. Di pasar, harga bahan baku pakan ayam itu terus menanjak hingga hampir Rp 6.000 per kilogram.
Sukarman bercerita, semula tak banyak peternak ayam di Blitar yang mengeluh. Sebab, peningkatan harga belum signifikan. Tapi, begitu harga meroket hingga di luar hitungan wajar bisnis ayam, mereka berteriak.
Patokannya, harga jual telur ayam tiga setengah kali lipat harga pakan. Dengan harga pakan mencapai Rp 6.000 per kilogram, seharusnya harga telur Rp 21 ribu. Namun, faktanya, produk peternakan itu hanya laku Rp 18.500 per kilogram. Angka itu bisa diterima jika harga pakan tak lebih dari Rp 5.250.
Kondisi makin parah ketika jagung seperti lenyap dari pasar. Para peternak kelabakan karena, tanpa pasokan jagung, kelangsungan usaha mereka terancam. Saat ini, di Blitar terdapat 4.421 peternak ayam petelur dengan populasi sekitar 19 juta ekor. Kebutuhan jagung mereka rata-rata 1.000-1.500 ton per hari. Telur yang dihasilkan mencapai 600 ton per hari.
Berbagai upaya ditempuh untuk membeli jagung petani, meski harganya tak masuk akal. Para peternak kecil patungan dengan perolehan yang tak sebanding dengan populasi ayam mereka. “Harus dihemat dan disiasati penggunaannya.”
RIBUAN peternak ayam se-Indonesia berencana menggeber unjuk rasa di depan Istana Negara, Jakarta, 13 November 2018. Dari Blitar, sebanyak 13 bus disiapkan untuk mengangkut rombongan menuju Ibu Kota. Surat izin pelaksanaan demo dari Kepolisian RI sudah dikantongi. Sebelumnya, peternak ayam dari seluruh Indonesia melakukan konsolidasi.
Rencana turun ke jalan itu digelar karena Kementerian Pertanian tak kunjung merespons permintaan impor jagung. Keinginan para peternak itu disampaikan melalui surat yang dilayangkan Bupati Blitar pada awal Oktober lalu. Sebelumnya, mereka menghadap Bupati Blitar Rijanto untuk meminta pemimpin daerah itu mendesak Kementerian Pertanian agar mendatangkan komoditas tersebut dari luar negeri. Sebab, mereka menilai, satu-satunya solusi mengatasi kelangkaan jagung adalah memasukkan barang dari luar.
Sukarman dan para peternak terang-terangan tak mempercayai pernyataan Menteri Pertanian Amran Sulaiman, yang menyebutkan produksi jagung nasional surplus hingga 12,98 juta ton. Dengan hasil panen raya yang diklaim berlebih itu, Amran bahkan menyatakan Indonesia mampu mengekspornya ke Malaysia dan Filipina. “Kami tak percaya jagung domestik surplus. Buktinya, tidak ada barang di mana-mana,” tuturnya.
Agenda para peternak berdemonstrasi di depan Istana Negara sampai ke Ragu-nan, kantor pusat Kementerian Pertanian. Karena itu, dua pejabat kementerian tersebut dikirim ke lapangan, yakni Direktur Jenderal Tanaman Pangan Sumardjo Gatot Irianto dan Direktur Jenderal Peternakan I Ketut Diarmita. Mereka mengadakan dialog dengan para peternak di Blitar pada 16 Oktober.
Direktur Pembibitan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Sugiono, yang bertugas memantau pasokan jagung untuk pakan ternak di Jawa Timur, menyebutkan ada yang aneh dengan kebiasaan peternak di Jawa Timur. “Mereka lebih suka membuat pakan ternak sendiri ketimbang membeli pakan produk pabrik. Ini berbeda dengan peternak di daerah lain,” katanya.
Sukarman mengatakan jagung menjadi andalan peternak sebagai bahan utama pakan ayam. Sebab, mereka tak mampu lagi membeli produk pakan pabrik. Harga pakan ayam pabrik yang diolah dari tepung kedelai dan tepung daging lebih dulu meroket karena tergerus pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. “Enam puluh persen bahan bakunya impor.”
Selain datang ke Blitar, para pejabat me-ngunjungi gudang-gudang jagung di Jawa Timur, seperti di Kediri dan Jombang. Kedua kabupaten ini memiliki area tanam jagung yang cukup luas. Pemerintah meminta pemiliknya segera melepas barang ke pasar. Tapi solusi ini hanya menyelesaikan persoalan sesaat. Sepekan kemudian, gudang-gudang jagung petani kosong.
“Kami pun ditawari jagung basah petani. Bahkan Pak Gatot dan Pak Ketut akan membelikan terpal untuk menjemur dan ongkos sewa lapangan untuk mengeringkan jagung,” Sukarman menuturkan. Namun para peternak menolak. Alasannya, mereka tak biasa mengolah jagung basah untuk pakan. Jagung basah juga dikhawatirkan berjamur pada musim hujan seperti sekarang. Pasokan jagung pun kembali berhenti.
Sukarman menambahkan, Kementerian Pertanian akhirnya menyetujui permintaan impor jagung. Selain itu, Kementerian meminta dua pabrik pakan ternak terbesar di Jawa Timur, PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk dan PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk, menggelontorkan 1.000 ton jagung kepada peternak. Japfa bertugas memasok separuh bagian ke peternak di Kabupaten Tulungagung. Separuhnya lagi disalurkan Charoen kepada peternak di Blitar. Pendistribusian diserahkan kepada Perum Bulog.
Kepala Subdivisi Regional Perum Bulog Tulungagung Krisna Murtiyanto mengaku menerima surat perintah agar membantu penyaluran jagung dari dua perusahaan itu pada 13 November 2018, bertepatan dengan rencana unjuk rasa peternak ke Istana Negara.
Pemerintah juga meminta Bulog Tulungagung mengatur surat jalan (delivery order atau DO) dari pabrik ke peternak. Mekanismenya, peternak mengajukan kebutuhan pakan kepada koordinator lapangan di tiap kecamatan. Koordinator lapangan menyerahkan data ke asosiasi peternak. Selanjutnya, asosiasi meneruskannya ke Koperasi Putra Blitar, yang dipimpin Sukarman. Koperasi bertugas memverifikasi data ke dinas peternakan setempat sebelum mengajukan pembelian (purchase order) ke Bulog.
Berdasarkan permintaan itu, Bulog meminta koperasi menyelesaikan pembayaran melalui transfer ke rekening Bulog Divisi Regional Surabaya. Setelah uang masuk, Bulog akan menerbitkan DO sebagai surat pengambilan barang ke pabrik. “Selama uang sudah masuk, proses DO keluar hanya lima menit,” kata Krisna.
Hingga kini, Bulog Tulungagung telah mengeluarkan dua DO untuk 350 ton dan 139 ton jagung ke Koperasi Putra Blitar. Adapun untuk peternak Tulungagung permintaan baru masuk sebesar 150 ton dan belum terealisasi. Sesuai dengan keputusan pemerintah, harga jagung yang harus ditebus peternak ke pabrik sebesar Rp 4.000 per kilogram. Menurut Sukarman, harga itu bisa diterima peternak. Jika ditambah ongkos transportasi, nilai penyusutan, dan biaya bongkar, harganya menjadi Rp 4.201 per kilogram di gudang koordinator lapangan.
Pasokan jagung itu untuk sementara bisa mengganjal kebutuhan. Sukarman mengatakan, ke depan, diperlukan solusi ketika suplai minim. “Jangan malu-malu mengimpor, terutama pada September-Februari yang selalu kosong,” ujarnya.
RETNO SULISTYOWATI, ARI TRI WASONO (BLITAR)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo