Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Jalan Buntu Eksekusi Bakteri

Mahkamah Agung memerintahkan Institut Pertanian Bogor, Badan Pengawas Obat dan Makanan, serta Departemen Kesehatan mengumumkan merek susu formula yang disebut mengandung bakteri sakazakii. Ketiga lembaga ini berkukuh tak akan mengumumkannya.

7 Maret 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HUJAN interupsi tiba-tiba mengguyur ruang rapat Komisi Kesehatan Dewan Perwakilan Rakyat, Rabu sore pekan lalu. Ini terjadi saat Rektor Institut Pertanian Bogor Herry Suhardiyanto mendapat giliran berbicara. Sebelumnya, pemaparan Menteri Kesehatan Endang Sedyaningsih, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Kustantinah, dan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Lukman Hakim tak mendapat reaksi seperti yang dialami Herry.

Herry hendak menjelaskan prosedur penelitian Fakultas Kedokteran Hewan yang menyigi susu formula pada 2003-2006. Menurut dia, berdasarkan prinsip netralitas, keadilan, dan etika, merek susu yang terpapar bakteri Enterobacter sakazakii tak bisa diumumkan. Belum selesai Herry merampungkan bicaranya, anggota Fraksi Amanat Nasional, Riski Sadiq, memotongnya.

”Penjelasan ini sudah disampaikan pekan lalu,” kata Riski. ”Masalahnya ini ada putusan Mahkamah Agung dan kegelisahan masyarakat. Langsung saja, mau diumumkan atau tidak?” ujar Riski lagi. Pekan sebelumnya, DPR memang bersidang untuk membahas hal yang sama dengan Dekan Fakultas Kedokteran Hewan IPB I Wayan Teguh Wibawan.

Suasana tambah panas karena anggota lain ikut-ikutan melakukan interupsi. Mereka menuntut pemerintah, IPB, serta BPOM mengumumkan merek susu yang terpapar bakteri penyebab meningitis pada bayi itu seperti perintah dalam putusan Mahkamah Agung. Para wakil rakyat bahkan mengancam akan membentuk panitia kerja untuk memaksa ketiga lembaga tersebut mengumumkan merek susu tercemar itu. ”Kalau merasa tak salah, jangan takut,” kata Mamat Abdullah dari Fraksi Golkar.

Sebelumnya, dalam putusan kasasinya, Mahkamah Agung memenangkan gugatan David Lumban Tobing yang meminta merek susu tercemar itu diumumkan. David membawa tiga lembaga tersebut ke meja hijau lantaran mereka berkeras menolak mengumumkan merek susu yang diteliti Sri Estuningsih, pakar patologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dua tahun lalu, memenangkan gugatan David. IPB meminta banding, tapi kalah. Lembaga ini kemudian mengajukan permohonan kasasi. Di tingkat ini, lagi-lagi David menang. Dalam sidangnya pada 26 April 2010, majelis hakim kasasi mengabulkan gugatan yang meminta IPB mengumumkan merek susu yang tercemar itu. ”Sekarang sudah putusan tetap,” ujar David. Dalam menggugat, selain atas nama pribadi, dia mengatasnamakan ayah dua anak yang sejak kecil mengkonsumsi susu formula.

Hampir setahun setelah keputusan itu, IPB belum juga melaksanakan perintah pengadilan. Alasan IPB, mereka belum menerima salinan putusan Mahkamah Agung itu. Alasan ini didukung pemerintah. ”Karena itu, kami belum bisa mengumumkan merek-merek susu formula yang mengandung bakteri itu,” kata Menteri Endang.

Sikap pemerintah ini kembali memantik tuntutan agar metode penelitiannya dibuka saja. Tarik-ulur pun terjadi. Awalnya IPB dan Departemen Kesehatan sepakat akan mengumumkannya. Tapi rencana ini kemudian batal. Soal ini ditegaskan Herry Suhardiyanto pekan lalu di DPR. ”Sesuai dengan etika, tak akan kami umumkan,” katanya.

l l l

PENJELASAN inilah yang membuat berang DPR, juga David Tobing. Pengacara yang beberapa waktu lalu juga menggugat penggunaan lambang Garuda di kaus para pemain PSSI itu mengajukan tuntutan penyitaan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Permintaan eksekusi itu sudah ia daftarkan Selasa pekan lalu.

Kini ia menunggu pengadilan mengumumkan permintaannya itu. ”Ini sifatnya masih sukarela,” kata David. Jika pemerintah dan IPB mengakui putusan hakim, kata David, mereka akan mengumumkan merek-merek susu formula itu. Namun, jika setelah delapan hari sejak perintah turun belum juga ada pengumuman, sebagai pihak yang menang ia akan mengajukan permintaan eksekusi paksa.

Menurut guru besar hukum perdata Universitas Indonesia, Rosa Agustina, permintaan paksa dalam eksekusi memang dimungkinkan. ”Sebab, hukum itu tak bisa diintervensi oleh alasan-alasan lain,” katanya. Jika hakim sudah memerintahkan agar merek itu diumumkan, pihak-pihak yang diperintahkan, kata Rosa, harus tunduk untuk menjalankannya.

Seperti halnya kasus perdata yang memperebutkan barang, kata Rosa, prosedur eksekusi untuk kasus susu ini juga sama saja. Bedanya hanya dalam obyek, yakni yang dituntut David adalah barang tak terlihat berupa informasi. Kerugian yang ia tuntut pun bukan kerugian materiil. ”Tapi kerugian saya tak mendapat informasi itu,” kata David.

Masalahnya, karena obyek sengketa bukan benda fisik, eksekusi tak bisa dipaksakan. Ini lantaran obyeknya tak terlihat. Menurut Ketua Mahkamah Agung Harifin Tumpa, hukum acara perdata belum mengatur tata cara eksekusi dalam obyek yang bukan fisik. Jika IPB tetap menolak mengumumkan, ”Apakah juru sita menodongkan pistol ke mereka? Tidak bisa, aturannya belum ada,” kata hakim ketua majelis kasasi kasus ini.

Jalan keluarnya, kata Harifin, adalah ganti rugi yang dikonversi ke materi. Jika setelah delapan hari proses eksekusi IPB tak juga mengumumkan, pihak yang menang bisa mengajukan penggantian berupa uang. Besarnya ditentukan oleh pemenang sengketa. Tapi David tak setuju tentang ini. ”Yang saya minta itu informasi, bukan uang,” katanya.

Sadar akan peliknya proses eksekusi putusan ini, David mencari jalan lain. Ia melaporkan kasus ini ke Komisi Informasi. Pasal 52 Undang-Undang Keterbukaan Informasi menyebutkan bahwa pihak-pihak yang sengaja menutupi informasi yang menjadi hak publik bisa dianggap melanggar pidana. Dengan demikian, polisi bisa turun tangan. ”Ini tak perlu terlebih dulu dimediasi Komisi Informasi,” katanya.

David menegaskan poin tuntutannya adalah kenapa publik tidak diberi tahu perihal penelitian yang dilakukan Sri pada 2004, yang menemukan tiga dari 46 sampel susu yang diteliti mengandung bakteri sakazakii. Padahal BPOM dan produsen susu yang tercemar itu diberi tahu. Karena itulah ia menilai hasil penelitian lanjutan perihal susu ini, yang dilakukan kembali oleh Sri dan kemudian didapati hasilnya negatif, tak relevan untuk kasus ini.

Memang, selain Sri, BPOM kemudian melakukan pengecekan terhadap 97 merek susu yang beredar di pasar. Hasilnya, tak ditemukan ada bakteri sakazakii dalam puluhan merek susu ini. Hasil penelitian Sri dan BPOM inilah yang kemudian diumumkan pemerintah, yang menyatakan kepada publik susu formula yang beredar di pasar sudah bersih dari sakazakii. Kepada Tempo, Sri pekan lalu juga menyatakan merek susu yang tercemar sakazakii sudah tak ia temukan lagi (lihat wawancara ”Sri Estuningsih: Saya Prihatin atas Reaksi Negatif Ini”).

l l l

AGAR tidak lagi mengundang pro-kontra, pemerintah kini sedang mempertimbangkan jalan tengah penyelesaian kasus ini, yakni melakukan penelitian ulang terhadap semua merek susu yang ada di pasar. Menurut Menteri Endang, penelitian juga akan melibatkan peneliti dari IPB agar tak dicurigai memakai metode berbeda, seperti hasil sebelumnya.

Tapi cara ini tetap ditolak David. Dia menegaskan bukan itu poin yang ia gugat. Ia menegaskan bahwa ia menggugat sebuah penelitian yang menyebut ada bakteri dalam susu formula yang tak disebutkan mereknya. Ia minta merek itu disebutkan agar konsumen seperti dirinya bisa lebih waspada. ”Kalau ada penelitian ulang, itu di luar persoalan yang saya gugat,” katanya.

Jika IPB tak mengumumkan merek susu itu, tampaknya jalan yang ditempuh adalah eksekusi paksa—sesuatu yang, menurut Rosa Agustina, bisa dilakukan. Pakar hukum perdata Universitas Gadjah Mada, Sudikno Mertokusumo, juga setuju dengan pandangan hukum Rosa perihal dimungkinkannya eksekusi paksa jika pihak yang digugat berkeras menolak mengumumkan merek susu seperti diputuskan Mahkamah Agung.

Sudikno justru mengkritik ”jalan tengah” penyelesaian perkara ini, yang diajukan Harifin. Ia tak setuju jika kemenangan David dikonversi dengan uang. ”Dalam dunia hukum ada pemeo, putusan hakim harus dianggap benar meski tidak benar,” katanya. ”Jadi merek susu itu harus diumumkan.”

Bagja Hidayat, Ririn Agustia, Dianing Sari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus