Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA hakim konstitusi itu tak ambil bagian dalam pembacaan putusan. Senin pekan lalu itu, ketika tujuh hakim lainnya bergantian membacakan putusan permohonan uji materi Undang-Undang Penodaan Agama, Maria Farida Indrati Soeprapto dan Harjono hanya duduk tegak di kursinya. Keduanya baru buka suara ketika Ketua Mahkamah Konstitusi Mohammad Mahfud Md. mengetukkan palu, menyatakan Mahkamah menolak permohonan uji materi undang-undang itu.
Maria rupanya mempunyai sikap berbeda dengan tujuh hakim lainnya. ”Saya setuju Undang-Undang Penodaan Agama itu dibatalkan,” kata Maria ketika membacakan dissenting opinion-nya. Beda pendapatnya ia tuangkan dalam sebelas halaman.
Maria menunjuk sejumlah alasan kenapa permohonan itu mestinya dikabulkan. Menurut dia, Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama—demikian nama resmi undang-undang itu—sudah kedaluwarsa. Isinya tak sesuai dan bertentangan dengan pasal-pasal hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar 1945. Undang-undang tersebut, ujarnya, menimbulkan diskriminasi bagi pemeluk agama tradisional dan penghayat aliran kepercayaan.
Pendapat Maria ini memang tenggelam oleh pendapat mayoritas hakim konstitusi. Menurut hakim lainnya, undang-undang itu tetap diperlukan. Maka dalam sidang pleno pun Maria kalah suara. Menurut Mahkamah, larangan penodaan agama yang diatur undang-undang tersebut dibutuhkan untuk mengendalikan ketertiban umum dan kerukunan beragama. ”Kalau dicabut, dapat menimbulkan konflik di masyarakat,” kata Akil Mochtar, salah satu hakim konstitusi, ketika membacakan pertimbangan putusan.
Meski tak bersedia membatalkan, Mahkamah setuju dengan pandangan sejumlah saksi ahli, seperti Andi Hamzah dan Azyumardi Azra, yang dihadirkan di persidangan. Para saksi tersebut menyatakan undang-undang ini perlu diperbaiki. Dalam putusannya, Mahkamah menyarankan undang-undang tersebut direvisi lewat proses legislasi di DPR.
Permohonan uji materi Undang-Undang Penodaan Agama ”masuk” ke Mahkamah pada 28 Oktober tahun lalu. Pengajunya, antara lain, Imparsial, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Adapun pemohon perorangan antara lain Musdah Mulia dan Abdurrahman Wahid. Para pemohon meminta empat pasal dalam undang-undang itu dihapus lantaran dinilai melanggar kebebasan memeluk agama dan keyakinan sebagaimana dijamin konstitusi.
Digelar sejak November lalu, lebih dari 15 saksi ahli dipanggil Mahkamah untuk didengar pendapatnya. Pro-kontra tentang perlu-tidaknya undang-undang ini pun muncul di persidangan. Rohaniwan dan guru besar filsafat Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Frans Magnis-Suseno, misalnya, mendukung pendapat pemohon yang menyatakan negara tidak memiliki kompetensi menilai suatu ajaran atau praktek keagamaan menyimpang. ”Berbeda keyakinan juga bukan berarti menodai suatu agama,” ujar Frans.
Adapun Sekretaris Komisi Hubungan Antar-Agama Konferensi Waligereja Indonesia Romo Benny Susetyo menegaskan, undang-undang ini memang harus dicabut karena sudah tak sesuai dengan perkembangan zaman. Suara yang sama dinyatakan Ketua Komisi Hukum Nasional J.E. Sahetapy. ”Undang-undang ini seharusnya masuk keranjang sampah,” kata Sahetapy.
Pendapat berbeda muncul dari Hasyim Muzadi, yang saat itu masih menjabat Ketua Umum Nahdlatul Ulama. Hasyim memandang Undang-Undang Penodaan Agama tetap diperlukan. ”Kalau dicabut, malah mengganggu keukunan umat beragama,” kata Hasyim. Pencabutan undang-undang tersebut, menurut dia, justru akan merugikan minoritas.
Pekan lalu itu, begitu Mahfud mengetukkan palu menyatakan menolak permohonan pencabutan undang-undang tersebut, teriakan ”Allahu Akbar” membahana di ruang sidang. ”Kami bersyukur. Sebab, kalau undang-undang ini dibatalkan, ini seperti tarung bebas tanpa aturan, baru berhenti kalau sudah ada yang mati,” kata Syuhada Bahri, Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia.
Kendati mentok di Mahkamah Konstitusi, para pemohon tetap tidak menyerah. ”Kami akan mencoba jalan lain, yakni lewat DPR,” ujar salah satu kuasa hukum pemohon, Uli Parulian Sihombing. Kamis pekan lalu, bersama sejumlah kuasa hukum lainnya, Uli menemui Fraksi PDI Perjuangan. Mereka meminta PDI Perjuangan menjadi motor untuk merevisi UU Penodaan Agama di legislatif.
Selain ke Dewan, Uli berencana mengadukan para hakim Mahkamah ke Komisi Yudisial. Menurut dia, majelis hakim tidak profesional membuat putusan. Salah satunya, menurut Uli, hakim telah memelintir keterangan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. ”Komnas HAM setuju undang-undang ini dicabut, tapi dalam putusan dibilang tidak setuju,” kata Uli.
Sutarto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo