Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

<font face=verdana size=1>Pembunuhan Nasrudin</font><br />Penasaran Lama Tak Bertemu Rhani

Sejarah hubungan Antasari dan Wiliardi ditelisik. Diduga bukan perkenalan sesaat.

25 Mei 2009 | 00.00 WIB

<font face=verdana size=1>Pembunuhan Nasrudin</font><br />Penasaran Lama Tak Bertemu Rhani
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

UNTUK memperjuangkan pangkatnya, Wiliardi Wizar menempuh jalur sendiri. Alih-alih mendatangi atasannya, perwira menengah kepolisian itu menyambangi Antasari Azhar, ketua Komisi Pemberantasan Korupsi yang kini nonaktif.

Di rumah Antasari, di Kompleks Giriloka II, Bumi Serpong Damai, Banten, Februari lalu, Wiliardi bertanya, ”Apakah mungkin saya mendapatkan job bintang?” Antasari, seperti pengakuannya kepada penyidik, ketika itu menjawab, ”Kalau ada kesempatan, akan saya bicarakan dengan Kepala Polri.”

Menurut Antasari, Wiliardi datang ke rumahnya diantar Yudi, staf Sigid Haryo Wibisono, pengusaha pemilik harian Merdeka. Ini bukan pertama kalinya Wiliardi ”memperjuangkan” kariernya melalui sang ketua. Mantan Kepala Kepolisian Resor Jakarta Selatan itu sebelumnya juga meminta ”posisi yang lebih baik” ketika bertemu Antasari di rumah Sigid.

Ketiga tokoh itu kini menjadi tersangka pembunuhan Direktur Utama PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen, 14 Maret 2009. Polisi menduga, Antasari memerintahkan Wiliardi membunuh Nasrudin. Sigid, yang lama dekat dengan Antasari, lalu membiayai operasi ini.

Menurut sejumlah sumber Tempo, keterkaitan Wiliardi, Antasari, dan Sigid masih menjadi fokus pemeriksaan polisi. Mungkin karena terus ditanyai soal ini, Wiliardi kabarnya sempat naik darah. Dalam pemeriksaan di ruang Unit III Kejahatan dan Kekerasan Kepolisian Metro Jaya, Senin malam pekan lalu, ia menggebrak meja di depan empat pemeriksanya.

Menurut Yohanes Jacob, pengacaranya, Wiliardi kesal karena terus dituduh mencari pangkat melalui Antasari. Padahal, kata Yohanes, Wiliardi mengatakan sudah menuruti semua kemauan bos-bosnya. ”Saya kaget,” kata Yohanes. ”Saya tidak menyangka dia akan bereaksi seperti itu.”

”Kemauan atasan” yang dimaksud Yohanes disampaikan pada akhir April lalu. Ketika itu Wiliardi baru ditangkap dan diperiksa Divisi Profesi dan Pengamanan Markas Besar Kepolisian. Di sela pemeriksaan, menurut dia, dua petinggi kepolisian datang: Wakil Kepala Badan Reserse dan Kriminal Inspektur Jenderal Hadiatmoko serta Direktur Reserse dan Kriminal Umum Kepolisian Daerah Metro Jaya Komisaris Besar Muhamad Iriawan.

Menurut Yohanes, dua opsir kepolisian itu meminta Wiliardi bersedia cepat dibuatkan berita acara pemeriksaan. Alasannya, masih menurut pengacara itu, agar penyidik bisa segera menangkap Antasari. Perintah itu dituruti, dan Wiliardi berharap konsesi: kariernya akan diselamatkan.

Dengan harapan menerima konsesi itu, menurut Yohanes, Wiliardi cepat menandatangani dua berita acara pemeriksaan. Yang pertama berisi jawaban atas 35 pertanyaan, dan yang kedua jawaban atas 11 pertanyaan. ”Jawaban-jawaban itu dibuat sesuka penyidik,” kata Yohanes. ”Wiliardi nurut saja.”

Belakangan, Wiliardi, yang kini ditahan di Markas Komando Brigade Mobil, Kelapa Dua, Depok, mencabut semua keterangannya. Setelah pencabutan ini, penyidik menyodorkan dua berita acara pemeriksaan yang ditandatangani Wiliardi. Sang komisaris besar, menurut Yohanes, dengan enteng menjawab, ”Lho, itu kan kalian yang bikin dan menjawab sendiri.”

Yohanes menduga, ”pengakuan” Wiliardi yang dicabut itu dibuat demi menyelamatkan satu dari tiga tersangka kasus ini. Namun juru bicara Markas Besar Kepolisian, Inspektur Jenderal Abubakar Nataprawira, menepis tudingan itu. Ia menegaskan, semua pemeriksaan tersangka diserahkan ke penyidik. ”Tak ada petinggi polisi yang memaksa Wiliardi,” katanya. Adapun Ajun Komisaris Besar Chryshnanda Dwi Laksana, juru bicara Kepolisian Daerah, menganggap semua itu merupakan proses penyidikan.

Pengakuan para eksekutor lapangan justru menguatkan peran polisi kelahiran Sibolga, Sumatera Utara, 49 tahun lalu itu. Menurut Slamet Situmorang, pengacara Eduardus Ndopo Mbete alias Edo, perekrut eksekutor, kliennya menunjuk Wiliardi sebagai orang yang membujuk para pembunuh Nasrudin. Kepada mereka, Wiliardi mengatakan Nasrudin berupaya menggagalkan pemilihan umum.

Menurut Slamet, Wiliardi membujuk para eksekutor selama dua pekan. Para pelaku bahkan diajak ke kantor Wiliardi di Markas Besar Kepolisian. Di sinilah para pelaku dijanjikan mendapat pekerjaan baru sebagai agen Badan Intelijen Negara, setelah misi tuntas.

Tersangka lain, Jerry Hermawan, juga menunjuk Wiliardi. Menurut pengacaranya, Bhakti Dewanto, Jerry diberi tahu Wiliardi bahwa Nasrudin ”orang yang berbahaya bagi negara dan harus dihabisi”. Wiliardi menjanjikan, ini misi aman dan para pelakunya tidak akan diusut.

Yohanes menyebutkan, sebenarnya tuduhan bahwa Nasrudin musuh negara diusulkan oleh Sigid Haryo. Skenario itu disusun dalam pertemuan Antasari dan Sigid di rumah sang pengusaha di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Namun Hermawan Pamungkas, pengacara Sigid, mengatakan semua skenario perburuan Nasrudin datang dari Antasari. Dalam pertemuan itu, Antasari mengeluh selalu diteror Nasrudin. Ia tidak menyebutkan alasan pribadi di balik teror Nasrudin. ”Sigid tak tahu ini persoalan pribadi,” ujarnya.

l l l

MOTIF pribadi itu bermula dari pertemuan Antasari dan Rhani Juliani, caddy yang kemudian beralih menjadi tenaga pemasaran Padang Golf Modernland. Antasari mengaku mengenal Rhani pada 2006 melalui sejawatnya di Kejaksaan Agung, ketika ia menjabat Direktur Penuntutan.

Pada Mei 2008, Antasari menerima Rhani di kamar 802 Hotel Grand Mahakam, Jakarta Selatan. Menurut Antasari, Rhani datang untuk menawarkan keanggotaan baru di Padang Golf Modernland. Menurut sumber Tempo, penyidik menanyakan alasan Antasari menerima Rhani di kamar. Tersangka menjawab, ”Saya penasaran karena ada caddy yang kini menjadi pemasaran, lama tak bertemu, lalu ingin menemui saya.”

Antasari mengaku bertemu Rhani seperempat jam. Pada akhir pertemuan, Nasrudin datang. Ia bertanya: ”Apa-apaan, kok Bapak berduaan dengan istri saya?” Nasrudin ternyata telah menikah siri dengan Rhani. Antasari menyatakan berusaha menenangkan Nasrudin, dan menurut dia, masalah selesai.

Beberapa hari setelah kejadian itu, Nasrudin mengirim pesan ke telepon seluler Antasari: ”Ternyata Bapak melecehkan istri saya.” Kepada penyidik, Antasari mengatakan menjawab pesan itu dengan kalimat: ”Masya Allah, saya tidak seburuk yang Bapak sangka.”

Untuk menguatkan bahwa saat itu tak terjadi sesuatu, Antasari menyebutkan, aktivis Hendardi ada di kamar yang sama ketika itu. Namun, ketika dihubungi secara terpisah, Hendardi mengatakan tidak pernah bertemu Rhani. Ia mengaku sering bertemu Antasari. ”Informasi Anda terlalu spekulatif. Itu kejadian yang sudah terlalu lama,” ujarnya kepada Anne L. Handayani dari Tempo.

Belakangan, Nasrudin mengancam Antasari untuk membuka ”peristiwa Grand Mahakam” ke media massa. Ia juga menelepon Ida Laksmiwati, istri Antasari. Informasi itu membuat Ida menelepon suaminya yang sedang berada di Bali. ”Ia menangis di telepon,” kata Antasari kepada penyidik, seperti dituturkan sumber Tempo. ”Ia bertanya, apakah saya berhubungan dengan istri orang.”

Antasari meminta Nasrudin datang ke kantornya di Komisi Pemberantasan Korupsi, untuk melakukan klarifikasi. Alih-alih menyelesaikan persoalan, menurut Antasari, Nasrudin meminta bantuan agar proyeknya dengan PT Aneka Tambang bisa berjalan.

Tak tahan dengan tekanan Nasrudin, Antasari melaporkannya ke Kepala Kepolisian Jenderal Bambang Hendarso Danuri. Kepada sang jenderal, Antasari mengaku dizalimi Nasrudin. ”Pak Kapolri menjawab, ’Ini tidak boleh dibiarkan’,” kata Antasari kepada penyidik.

Bambang lalu membentuk tim yang dipimpin Komisaris Besar Chairul Anwar, mantan Kepala Kepolisian Resor Jakarta Selatan. Lagi-lagi, nama Sigid muncul. Di rumah pengusaha ini, Antasari mengaku dipertemukan dengan Chairul. Denny Kailimang, pengacara Antasari, tak bersedia memberikan konfirmasi tentang pengakuan kliennya ini. Abubakar Nataprawira juga menolak berkomentar.

Tim Chairul belakangan merazia Nasrudin dan Rhani di sebuah hotel di Kendari, Sulawesi Tenggara. Mereka memastikan pasangan itu telah menikah, sehingga dilepaskan. ”Saya menerima laporan lisan dari Sigid soal razia ini,” kata Antasari kepada penyidik.

Razia di Kendari itu menyurutkan tekanan Nasrudin ke Antasari. ”Saya menyampaikan perkembangan ini kepada Bapak Kapolri, ketika kami bermain golf bersama,” Antasari mengatakan. Ironisnya, begitu tekanan kepada ketua komisi antikorupsi itu berkurang, Nasrudin tewas ditembak.

Ramidi dan Budi Setyarso

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus