Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

<font size=1 color=brown>Kasus Pembunuhan Munir</font><br />Bukti Baru Analisis Lama

Pollycarpus meminta hakim agung menguji kembali putusan yang menghukumnya 20 tahun penjara. Waktu tempuh penerbangan dan kerja racun jadi bukti baru.

13 Juni 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Singkat saja dia menjawab pertanyaan wartawan yang mencegatnya. ”Vonis untuk saya banyak janggalnya,” kata Pollycarpus Budihari Priyanto seraya berjalan menuju ruang sidang utama Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Selasa pekan lalu, pengadilan mulai menggelar sidang peninjauan kembali atas hukuman yang diterima bekas pilot senior Garuda Indonesia itu dalam perkara pembunuhan aktivis hak asasi manusia, Munir Said Thalib. Pollycarpus mengajukan permohonan peninjauan kembali atas vonisnya pada 2008.

Dalam berkas gugatan yang diajukan pada 30 Mei lalu, tim pengacara yang dipimpin Muhammad Assegaf mempersoalkan putusan hakim agung yang menerima gugatan peninjauan oleh Kejaksaan Agung. ”Menurut hukum acara pidana, yang berhak mengajukan peninjauan itu terdakwa dan ahli warisnya,” kata Assegaf.

Sidang peninjauan kembali yang diajukan jaksa itulah yang mengirim kembali Pollycarpus ke bui. Ia sempat bebas karena hakim kasasi menolak gugatan jaksa. Hakim di Mahkamah Agung hanya menghukum Polly untuk pemalsuan surat tugas, yang hukumannya hanya dua tahun. Vonis itu impas dengan masa penahanannya.

Selain mengutip Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Assegaf menyitir Undang-Undang Mahkamah Agung, yang menyebutkan pihak yang boleh mengajukan permohonan peninjauan kembali adalah terdakwa dan ahli warisnya. ”Di situ jelas disebutkan, jaksa bukan yang berhak mengajukan permohonan peninjauan kembali,” ujar Assegaf.

Soal ini masih jadi perdebatan. Lagi pula, ada empat kasus yang jadi yurisprudensi jaksa boleh mengajukan gugatan peninjauan kembali. Pada 1997, misalnya, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan peninjauan kembali oleh jaksa atas putusan bebas di sidang kasasi untuk terdakwa Muchtar Pakpahan. Waktu itu aktivis buruh ini didakwa berbuat makar.

Ada pula kasus korupsi di Gandhi Memorial School. Permohonan peninjauan kembali jaksa diterima Mahkamah Agung karena ada bukti akta notaris pendirian Yayasan Gandhi yang dipalsukan. ”Itu hanya yurisprudensi. Hukum tertinggi tetap undang-undang,” kata Assegaf.

Total ada 15 poin yang diajukan Assegaf untuk mematahkan putusan hakim. Salah satunya vonis bebas Muchdi Purwoprandjono. Bekas Deputi V Bidang Penggalangan Badan Intelijen Negara itu dinyatakan tak bersalah dalam pembunuhan Munir. Jaksa dan hakim tak bisa membuktikan rapat dan surat tugas Badan Intelijen Negara untuk Pollycarpus agar menghabisi ayah dua anak itu.

Jaksa dan hakim juga tidak bisa menayangkan rekaman percakapan telepon antara Muchdi dan Pollycarpus, meski keduanya tercatat saling mengontak 41 kali. Muchdi dengan enteng pula mengatakan, ”Telepon saya biasa dipakai siapa saja.”

Bukti baru yang diajukan Assegaf adalah rekaman terbang GA-974 dari Changi, Singapura, ke Schiphol, Belanda. Menurut buku log yang diajukannya, pesawat Boeing 737 itu terbang selama 12 jam 25 menit.

Artinya, jika Munir meninggal tiga jam sebelum mendarat, dan hasil forensik menyebutkan arsenik membunuh sembilan jam setelah ditelan, Munir diracun di dalam pesawat antara Singapura dan Belanda. ”Bukan di Coffee Bean atau dalam perjalanan dari Cengkareng ke Changi,” ujarnya.

Sebetulnya, ini analisis lama. Dalam dakwaan di pengadilan pertama, jaksa menuduh Polly membubuhkan racun di jus jeruk yang diminum Munir dengan menghitung kematiannya dan waktu tempuh pesawat.

Para pramugari yang bertugas kala itu bersaksi, Polly mondar-mandir di sekitar bar sebelum petugas menyajikan minuman pembuka itu. Tapi hakim memakai kesaksian lain yang menyebutkan Munir juga makan bakmi dalam perjalanan itu. Ini cocok dengan analisis forensik yang menyatakan racun warangan itu lebih cepat bekerja dalam makanan padat.

Penafsiran hakim pengadilan pertama inilah yang dianggap salah oleh hakim tingkat kasasi. Tapi, dalam sidang peninjauan kembali, jaksa mengajukan bukti baru: seorang penumpang yang melihat apa yang terjadi di Changi.

Saksi itu, Asrini Utami Putri, menyatakan melihat Munir duduk di Coffee Bean ketika transit di Changi serta mengobrol dengan Pollycarpus dan Ongen Latuihamallo, penyanyi gereja yang sering bepergian ke Belanda.

Dalam amar putusan itu, hakim mengutip kesaksian Ongen. Ia mengatakan, ketika sampai di kafe itu, ia melihat Pollycarpus baru keluar dari ruang pesanan makanan dengan memegang dua gelas minuman.

Kesaksian ini juga cocok dengan fakta yang ditemukan ketika pesawat mendarat. Munir diketahui tak memakan apa pun setelah pesawat lepas landas dari Bandara Changi. Jatah makanannya masih terbungkus rapi, dan uang saku di dompetnya masih utuh, menandakan ia tak membeli jajanan apa pun.

Ia hanya minum teh setengah cangkir. Air teh ini pun termuntahkan lagi karena Munir meminumnya ketika perutnya sudah mulas, mual, dan ia buang air besar berkali-kali. Menurut para saksi, Munir mulai mulas dan pusing 15 menit setelah pesawat lepas landas. Artinya, jika racun itu biasanya bekerja 30 menit hingga tiga jam setelah ditelan, racun itu masuk tubuh Munir di Changi.

Namun berubah-ubahnya dakwaan tentang di mana racun dibubuhkan justru jadi senjata Assegaf menyerang putusan hakim. Menurut dia, perubahan itu menunjukkan hakim telah lalai menerapkan hukum. Dua pengacara Polly di sidang peninjauan kembali, Heru Santoso dan Uki Budhaya, akan diajukan sebagai saksi yang tak pernah mendengar Ongen mengaku melihat Polly membawa dua gelas minuman di Coffee Bean.

Dua fakta itu akan diadu di pengadilan. Jaksa juga segera mengajukan permohonan peninjauan kembali atas vonis bebas Muchdi untuk mematahkan alasan gugatan Pollycarpus. ”Hakim mestinya menolak bukti yang sudah dibahas dalam sidang sebelumnya,” kata Choirul Anam, Koordinator Komite Aksi Solidaritas untuk Munir.

Bagja Hidayat


Saat Kritis di Coffee Bean
MUNIR meninggal tiga jam sebelum pesawat Garuda Indonesia GA-974 mendarat di Bandar Udara Schiphol, Amsterdam, Belanda. Perutnya kembung sesaat setelah ia masuk kabin di Bandar Udara Changi, Singapura. Lalu ia muntah hebat, pingsan, dan meninggal tiga jam kemudian. Inilah saat krusial kematian Munir menurut para saksi di pengadilan.

6 September 2004

Pukul 21.55 WIB
Munir, yang memegang tiket ekonomi kursi 40G, salah masuk ke pintu bisnis. Pollycarpus menawarkan tempat duduknya, kursi bisnis 3K. Polly memilih duduk di kelas premium.
Sepanjang penerbangan, Munir memesan bakmi goreng dan jus jeruk. Pollycarpus mondar-mandir dari bar premium ke kokpit.

Pukul 23.40 WIB
Pesawat tiba di Bandara Changi, Singapura. Munir menanti di ruang tunggu Gate D42. Ada saksi yang melihat Munir duduk di sofa Coffee Bean menghadap ruang merokok dan mengobrol dengan Pollycarpus serta Ongen Latuihamallo. Ongen mengaku melihat Pollycarpus membawa dua gelas minuman. Saksi dari pengacara Polly menyebut Ongen tak pernah bersaksi seperti itu.

7 September

Pukul 05.00 WIB
Di ruang tunggu menjelang boarding, Dr Tarmizi Hakim, dokter Rumah Sakit Harapan Kita, berkenalan dengan Munir. Dr Drupadi Dillon (istri H.S. Dillon, pengamat ekonomi) melihat wajah Munir pucat.

00.50-03.00
Kecuali teh, Munir tak memakan apa pun sejak naik pesawat. Tapi ia mulai merasa mual, pusing, lalu muntah dan buang air besar.

04.00 WIB
Di atas Madras, India. Dr Tarmizi, di kursi bisnis 1J, dibangunkan pramugari, diminta menolong Munir. Munir dibawa ke kursi bisnis 4E yang kosong. Ia diberi obat muntaber dan dua kali suntikan oleh Tarmizi.

06.00 WIB
Munir meminta tidur di lantai dekat WC agar mudah kalau mau muntah. Tapi, belakangan, ia pindah lagi ke kursi 4E. Saat Dr Tarmizi bangun dan sarapan pada sekitar pukul 10 WIB, Munir masih tampak tidur.

11.05 WIB
Di langit Hungaria, Dr Tarmizi diminta pramugari memeriksa Munir. Ternyata Munir sudah meninggal. Tiga jam kemudian, pesawat mendarat di Bandara Schiphol, Amsterdam. Jenazah Munir dibawa ke ruang otopsi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus