Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tumpukan dokumen itu tersusun rapi di meja kerja Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi Komisi Yudisial Suparman Marzuki. Dari ratusan berkas pengaduan pelanggaran perilaku hakim itu, sepuluh di antaranya tentang hakim Syarifuddin Umar. ”Sebagian besar tuduhannya suap,” kata Suparman kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Dari tanggal pengaduannya, Syarifuddin dilaporkan ke Komisi sejak September 2005. Saat itu ia menjadi ketua majelis hakim Pengadilan Negeri Jeneponto, Sulawesi Selatan, yang menolak mengadili perkara dugaan korupsi pengadaan kendaraan dinas Kabupaten Jeneponto 2003. Belakangan, putusan itu diralat Mahkamah Agung karena dinilai keliru.
Ketika menjadi hakim Pengadilan Negeri Makassar, putusan yang dibuat Syarifuddin juga kerap mendapat sorotan para aktivis antikorupsi. Indonesia Corruption Watch dan penggiat korupsi Makassar, misalnya, pernah mengadukan kejanggalan putusan bebas enam perkara korupsi yang dipegang pria kelahiran Cabenge, Soppeng, Sulawesi Selatan, itu. Yang paling disorot adalah vonis bebas 28 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Luwu periode 1999-2004 dalam perkara dugaan korupsi kas daerah Rp 1,5 miliar. ”Laporan itu masih kami telusuri,” kata Suparman.
Tak hanya ke Komisi Yudisial, perilaku Syarifuddin itu juga diadukan para penggiat antikorupsi ke Mahkamah Agung. Hanya, menurut Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch Emerson Yuntho, Mahkamah tak pernah merespons pengaduan itu. Yang mengejutkan, ujar Emerson, Mahkamah justru meloloskan hakim yang ”gemar” memvonis bebas terdakwa kasus korupsi itu untuk hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Surat pengangkatannya keluar pada 18 Maret 2009. ”Tapi, karena banyak kritik, pengangkatannya dibatalkan,” kata Emerson.
Kendati Syarifuddin kerap mendapat sorotan negatif, kariernya terus moncer. Pada awal 2010, ayah empat anak itu mendapat promosi menjadi hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Kepindahan Syarifuddin ke pengadilan yang terletak di kawasan Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat, itu banyak dipertanyakan karena dianggap tak lazim. Soalnya, ujar seorang hakim senior kepada Tempo, hakim yang dipindahkan ke Ibu Kota biasanya menjadi hakim di pengadilan negeri kota atau kabupaten di Jawa terlebih dulu. Apalagi ”jam terbang” Syarifuddin dianggap belum memenuhi syarat lantaran baru 13 tahun menjadi hakim. ”Yang masuk Jakarta itu umumnya di atas 20 tahun,” katanya.
Dari register Mahkamah Agung, Syarifuddin tercatat menjadi hakim pada awal 1998. Tiga belas tahun kariernya sebagai hakim ia jalani di sejumlah pengadilan negeri di Sulawesi Selatan. Semula ia meniti karier sebagai panitera pengganti di Pengadilan Tinggi Ujung Pandang sejak 1990. Enam tahun kemudian, ia menjadi calon hakim di Sungguminasa. Dua tahun kemudian, ia menjadi hakim pratama madya di Pengadilan Negeri Mamuju. Setelah itu, selama dua tahun ia mendapat penugasan di Pengadilan Negeri Barru.
Karier pria kelahiran 26 November 1959 itu mulai naik ketika pindah ke Pengadilan Negeri Pangkajene pada awal 2000. Saat itu ia ditunjuk menjadi wakil ketua pengadilan. Dari sana, pada akhir 2002, ia dipromosikan menjadi Ketua Pengadilan Jeneponto. Di sinilah, menurut sumber Tempo, ia mulai dekat dengan Harifin Tumpa, yang saat itu menjabat Ketua Pengadilan Tinggi Ujung Pandang. Harifin kini Ketua Mahkamah Agung.
Dari Jeneponto, suami Darmawati Sakti itu pindah ke Makassar, sampai kemudian ia dipindahkan sebagai hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dari sini, boleh jadi Syarifuddin bakal tak akan lagi mengalami ”pindah-pindahan” sebagai hakim lagi. Kariernya sebagai hakim di ujung tanduk. Rabu dua pekan lalu, ia ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi karena diduga menerima suap dalam kasus kepailitan PT Skycamping Indonesia.
Sumber Tempo di Mahkamah Agung membisikkan, kepindahan Syarifuddin ke Jakarta karena peran Harifin Tumpa. Kalau tanpa peran orang kuat, kata sumber itu, mustahil hakim yang memiliki catatan buruk seperti Syarifuddin bisa masuk Jakarta. ”Dia pakai jalur khusus,” kata sumber ini.
Harifin membantah tuduhan Syarifuddin masuk Jakarta melalui jalur khusus. Ia juga menolak disebut membantu kepindahan Syarifuddin. Sebelum penangkapan oleh komisi antikorupsi, ujar Harifin, Syarifuddin tercatat sebagai hakim bagus. Ketika bertugas di Jeneponto, kata Harifin, Syarifuddin sukses melakukan eksekusi yang tidak bisa dilakukan pendahulunya.
Adapun Syarifuddin mengaku mempunyai alasan memutus bebas sejumlah perkara yang dipegangnya. ”Putusan bebas karena terdakwa tidak bersalah,” katanya Selasa pekan lalu setelah ia diperiksa KPK. ”Putusan itu saya akan pertanggungjawabkan kepada Tuhan.”
Anton Aprianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo