Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

<font size=1 color=brown>Sengketa Pers</font><br />Tiada Maaf untuk Radar Tegal

Merasa tak dimintai konfirmasi, sebuah perusahaan tambang menggugat Radar Tegal. Dinilai tak melalui prosedur Undang-Undang Pers.

2 Mei 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NILAINYA sungguh fantastis: Rp 247,4 miliar. Jika hakim mengabulkan gugatan PT Cipta Yasa Multi Usaha ini, Radar Tegal bisa langsung bangkrut. Koran anak usaha Grup Jawa Pos, milik Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara Dahlan Iskan, itu harus menyerahkan segenap harta bendanya: kantor berikut isinya. Kalau nilai aset itu tak cukup, kekurangannya akan dijadikan utang.

Cipta Yasa menggugat Radar Tegal karena perusahaan itu tak terima disebut tak memiliki izin menggali batu di Gunung Jolang, Desa Sesepan, Slawi. Proses peradilannya kini memasuki babak akhir. Pekan ini, putusan perkara itu bakal diketuk majelis hakim Pengadilan Negeri Tegal.

Pangkal gugatan tersebut berita edisi 31 Juli 2010 pada halaman ”Slawi Metropolis”. Iman Teguh, wartawan Radar, mengutip pernyataan Kepala Bidang Pembangunan Badan Pelaksana Perizinan Terpadu Ayub Khan. Ayub mengatakan semua perusahaan galian C di Kabupaten Tegal belum memperoleh izin penambangan.

Itu karena ada perubahan pembuatan izin sejak Undang-Undang Mineral dan Batu Bara berlaku pada 2009. Sebelumnya, izin dikeluarkan pejabat provinsi, sedangkan kini diberikan pejabat kabupaten. Perpindahan kewenangan itu sedang dalam tahap konsultasi dan sosialisasi. Selama belum ada keputusan, perusahaan tambang tunduk pada peraturan bupati yang mewajibkan setiap perusahaan menyetor uang jaminan.

Lima hari setelah berita itu turun, Direktur PT Cipta Rubilo Mashino mengirim hak jawab. Ia mempersoalkan berita itu karena tak adanya konfirmasi. Rubilo mengklaim punya izin yang dikeluarkan Dinas Pertambangan Provinsi Jawa Tengah. Surat Rubilo dimuat pada edisi 4 Agustus 2010. ”Tapi sebagai berita, bukan hak jawab,” kata Diana Santoso, pemilik PT Cipta, pekan lalu. ”Seolah-olah Radar mewawancarai Pak Rubilo.”

Rubilo juga mensomasi Ayub atas pernyataannya. Melalui surat balasan, Ayub menyatakan tak pernah memberikan keterangan seperti dikutip Iman Teguh. Bermodal sanggahan ini, PT Cipta menggugat Radar Tegal ke polisi. Menurut Djarot Wijayato, pengacara PT Cipta, nilai gugatan dihitung berdasarkan nilai kontrak yang batal dengan tiga rekanan setelah berita itu turun. ”Mereka jadi ragu apakah klien kami benar belum punya izin,” katanya.

Sebelum gugatan itu dilayangkan, Radar Tegal sebetulnya sudah menempuh jalan damai. Pemimpin Umum Muhammad Sukron bahkan sudah mengirim surat kepada PT Cipta. Isinya permintaan maaf atas berita ”yang mungkin mengganggu dan berdampak tidak baik pada aktivitas dan nama baik PT CYMA”.

Ia juga mengaku menghubungi Diana untuk meminta konfirmasi. Namun, di telepon itu, meski akhirnya mengakui, awalnya Diana menyangkal sebagai pemilik PT Cipta. Diana membantah telah dimintai konfirmasi. ”Saya ini tak pernah menolak siapa pun yang menelepon,” kata perempuan 46 tahun itu.

Ihwal tak adanya konfirmasi, Pemimpin Redaksi Muhammad Abduh menjelaskan, wartawannya kesulitan menemukan kantor PT Cipta. Sewaktu memberitakan warga Sesepan memblokade jalan ke lokasi tambang, reporter sudah mencari pejabat Cipta dalam acara dialog dengan warga. ”Tapi polisi menghalang-halangi dan waktu itu hari sudah malam,” ujarnya.

Sholeh Ali, pengacara Radar dari Lembaga Bantuan Hukum Pers, mempersoalkan nilai gugatan yang menurut dia tak masuk akal dan di luar konteks. Kata Sholeh, dalam sidang ada saksi dari perusahaan rekanan Cipta Yasa yang mengaku tak membaca berita itu sebelum memutus kontrak. Pecah kongsi itu semata urusan bisnis.

Hendrayana, pengacara Radar lainnya, menyatakan gugatan Cipta ini tak melalui prosedur seperti diatur Undang-Undang Pers. Mestinya, kata dia, PT Cipta melaporkan dulu berita yang dianggap merugikan itu ke Dewan Pers. Pengadilan adalah upaya terakhir jika upaya mediasi tak tercapai. ”Toh, sudah ada hak jawab dan permintaan maaf,” kata Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum Pers ini.

Diana mengaku awalnya tak tahu perusahaannya menggugat Radar. ”Waktu itu saya sedang di Australia,” ujarnya. Baru dua pekan lalu ia mendatangi Dewan Pers di Jakarta. Menurut Diana, gugatannya ini puncak dari kekesalan karena Radar selalu menulis negatif tanpa konfirmasi terhadap pelbagai perusahaannya di Tegal.

Ia menilai berita Gunung Jolang ini disetel pesaing bisnisnya di sana. Awalnya, Diana tak mau menggugat jika Radar mau mengakui menulis berita karena disuruh pesaingnya. Sukron menjawab tak bisa memenuhinya karena menyangkut kerahasiaan narasumber. ”Gugatan ini bukan soal uang, tapi pelajaran buat prosedur jurnalistik media,” kata Diana.

Bagja Hidayat (Jakarta), Edi Faisol (Tegal), Rofiudin (Semarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus