Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEDATANGAN dua bus berlogo DPRD Kabupaten Batanghari, Jambi, mengagetkan dua penjaga gerbang kantor PT Deli Muda Perkasa di Desa Sengkatibaru, Batanghari. Jumat siang dua pekan lalu itu, Abdul Fatta melakukan inspeksi mendadak. Di belakang Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah itu ikut pula delapan anggota Komisi II. Sekelompok wartawan, yang juga turut dalam rombongan, dengan sigap membidikkan kamera mereka.
Kunjungan tak terduga itu membuat Hendri Anton, Kepala Tata Usaha PT Deli Muda, gelagapan. Ia menyilakan para tamu tak diundang tersebut duduk di ruang rapat kantornya. ”Kami ingin bertemu pimpinan perusahaan,” kata Ahmad Dailami, salah satu anggota Komisi. Hendri menjawab semua pimpinan sedang cuti dan ia menjadi penanggung jawab kantor hari itu.
Secara bergantian anggota Dewan mencecar Hendri seputar izin usaha PT Deli. Mereka minta bukti seluruh izin operasional perusahaan yang berope rasi sejak Desember 2006 itu. Hendri menjawab izin-izin perusahaannya masih diproses di Badan Perizinan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Batanghari. ”Selama ini kami memakai izin PT Tunjuk Langit Sejahtera,” katanya.
Jawaban Hendri ini kian membuat anggota Dewan antusias bertanya. Abdul Fatta langsung menanyakan bukti-bukti setoran pajak. Lagi-lagi, Hendri tak bisa menunjukkan. Alasannya, slip-slip pembayaran dan seluruh dokumen tersimpan di kantor pusat Deli Muda di Pekanbaru, Riau. ”Ini tak masuk akal, bagaimana perusahaan membayar pajak kalau tak punya izin?” kata Fatta.
Dailami menyodorkan perhitungan soal pajak yang tak dibayar PT Deli selama empat tahun. ”Total pajak yang seharusnya dibayar Rp 160 miliar,” katanya. Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini menghitungnya dari kapasitas produksi pabrik 80 ton per jam, penerimaan tandan buah segar 19 juta kilogram per bulan, produksi minyak sawit mentah 3,8 juta per bulan, serta harga jual rata-rata Rp 6.400 per kilogram. Ini, menurut dia, belum termasuk pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah.
Anggota Dewan ini lalu berkeliling melihat pabrik di sebelah kantor yang hanya dioperasikan beberapa karyawan. Satu jam kemudian mereka kembali ke bus. Anggota Dewan meminta Deli mengirimkan berkas-berkas izin dan slip pembayaran pajak ke sekretariat Komisi II secepatnya. Tapi permintaan itu, menurut Dailami, hingga kini tak dipenuhi Deli Muda.
Senin pekan lalu demo merebak di depan gedung Kejaksaan Tinggi Jambi. Para petani, yang melakukan demo, menuntut kejaksaan mengusut dugaan pengemplangan pajak oleh PT Deli Muda Perkasa ini. ”Kami geregetan penyelidikan kasus ini jalan di tempat,” kata Jamhuri, koordinator demo.
KISRUH izin PT Deli menaikkan suhu politik di Jambi tiga pekan terakhir. Kepolisian Daerah Jambi telah memeriksa 23 saksi untuk mengusut ketiadaan izin usaha ini. Dalam gelar kasus pada 30 April lalu, penyidik me rekomendasikan agar Manajer Operasional, Bijaksana Peranginangin, menjadi tersangka.
Kasusnya bermula pada akhir 2006 ketika PT Deli mengakuisisi pabrik dan kebun PT Tunjuk Langit Sejahtera. Seperti pengakuan para direktur PT Tunjuk kepada polisi, jual-beli aset itu meliputi tanah 697.196 meter persegi; bangunan pabrik, kantor, dan inventarisnya; kebun 1.033,75 hektare; plus mesin-mesin pengolah sawit yang total nilainya Rp 72 miliar.
Tapi masalahnya, PT Tunjuk ternyata tak menyertakan izin-izin operasional perusahaan dalam transaksi tersebut karena masih mengelola kebun lain. Jadi, untuk soal ini, PT Deli harus mengurus izin sendiri ke Badan Perizinan. Izin tersebut berupa surat izin tempat usaha, izin mendirikan bangunan, izin gangguan, analisis mengenai dampak lingkungan, pembuangan limbah cair, izin usaha perkebunan untuk pengolahan, dan izin usaha perkebunan untuk budi daya.
Menurut Erfan, Sekretaris Daerah Kabupaten Batanghari, tak satu pun izin dikeluarkan lembaganya. Pemerintah Batanghari punya alasan untuk ini. ”Perusahaan tersebut tak punya kebun sendiri sesuai yang disyaratkan,” ujarnya. Peraturan Menteri Pertanian mensyaratkan usaha pengolahan minyak sawit berskala besar minimal harus memiliki kebun yang menghasilkan seluas 2.000 hektare.
Tanpa mengantongi izin satu pun, PT Deli ternyata mengoperasikan pabriknya. Kapasitas pabrik Deli terhitung fantastis: 80 ton tandan sawit per jam. Menurut Erfan, kapasitas sebesar ini semestinya dipasok dari kebun kelapa sawit 6.000 hektare. Padahal, berdasarkan dokumen pengukuran poligon, hanya 309,86 hektare kebun yang efektif menghasilkan. Dari luas ini pun, sekitar 98 hektarenya juga bermasalah karena diklaim petani plasma.
Dari mana tandan-tandan sawit itu diperoleh? Dalam perjanjian jual-beli, PT Tunjuk membolehkan PT Deli membeli tandan sawit langsung ke petani plasma. Hanya, dalam prakteknya, PT Deli juga menerima tandan dari tengkulak yang tak punya kebun. Petani plasma pun memprotes karena mereka jadi korban. Sawit-sawit mereka menumpuk dan membusuk. Jikapun dibeli, pembayarannya seret.
Pemerintah Batanghari turun tangan. Pada 2008 perusahaan ini di tutup. ”Lagi pula tak sepeser pun PT Deli menyetor pajak ke pemerintah,” kata Erfan. Belakangan petani sawit kembali mengeluh karena tak ada penampung hasil kebun mereka. Pemerintah mengalah. Izin operasional perusahaan ini dibuka kembali.
Jufendiwan Herianto, Direktur PT Deli Muda, menyangkal jika dikatakan perusahaannya tak menyetor pajak. ”Itu fitnah,” katanya. ”Kami setor pajak perusahaan Rp 16 miliar setahun. Silakan cek.” Ia mengakui perusahaannya belum memperoleh izin. Itu, kata dia, karena pemerintah tak mengakui keberadaan kebunnya. ”Memang belum cukup memenuhi kapasitas 80 ton per jam,” ujarnya.
Kasus Deli Muda ini merembet masuk Senayan. Para politikus DPR menuding mulusnya operasi Deli lantaran perusahaan ini dibeking orang pen ting di Istana Presiden. Pejabat yang dimaksud adalah Sardan Marbun, anggota staf khusus presiden bidang pengaduan masyarakat, melalui kotak pos dan la yanan pesan pendek telepon seluler. ”Dia komisaris utamanya,” ujar kata Ahmad Yani, anggota Komisi Hukum DPR dari Partai Persatuan Pembangunan.
Dari dokumen yang diperoleh Tempo, nama Sardan memang tercatat dalam akta PT Deli Muda. Dalam dokumen keputusan rapat pemegang saham yang dibuat notaris Linda Herawati pada 12 November 2009 disebutkan pensiunan mayor jenderal itu dikukuhkan menjadi komisaris utama, seiring dengan pergantian anggota direksi dalam rapat sebulan sebelumnya.
Komposisinya, direktur utama dijabat Surya Darmadi, pemilik PT Darmex Argo, yang memiliki 95 persen saham PT Deli. Sementara itu, Adil Darmadi, Direktur Utama PT Palma Lestari, yang punya 5 persen saham PT Deli, didapuk sebagai direktur. Surya adalah bekas pemilik Bank Kesawan yang pernah dilaporkan ke Polda Me t ro Jaya oleh pembeli saham banknya. Akhir tahun lalu penyidikan kasus pe ngusaha asal Medan ini dihentikan.
Sardan menyatakan namanya telah dicatut pemilik PT Deli. Sardan mengaku mengenal Jufendiwan. ”Tapi saya tak tahu soal operasional perusahaan, apalagi pengemplangan pajak,” katanya. Menurut Sardan, dia tahu soal kasus perusahaan ini setelah Jufendiwan melaporkannya melalui SMS Presiden nomor 9949 yang dikelolanya. Menurut Sardan, Jufen mengadu bahwa ia ditekan agar menutup pabriknya karena dituding tak memiliki kebun sendiri. Sardan lalu mengontak Bupati Batanghari Syahirsah S.Y. agar tak menutup perusahaan ini karena punya izin sah. ”Setelah itu, saya tak pernah mengurus soal ini lagi,” katanya.
Bagja Hidayat (Jakarta), Syaipul Bakhori (Jambi)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo