Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEPUK tangan riuh membahana di ruang sidang utama Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Senin pekan lalu, puluh an wartawan yang memenuhi ruangan berukuran sekitar seperempat lapangan sepak bola itu meluapkan ke gembiraan mereka. Mereka berjabat tangan, saling tos, mengepalkan tangan, dan tersenyum puas.
Para jurnalis itu memang tengah bersukacita. Hari itu majelis hakim yang diketuai Haswandi memenangkan harian Republika dan situs berita Detik.com dari gugatan perdata Raymond Teddy. ”Gugatan dari pihak penggugat ditolak seluruhnya,” kata Haswandi saat membacakan putusan.
Majelis yang beranggotakan Artha Theresia Silalahi dan Ahmad Salihin itu menilai gugatan yang diajukan kabur lantaran tak berdasarkan Undang-Undang Pokok Pers. Selain itu, yang diajukan penggugat dalam pokok materi tidak terbukti. Berita yang ditulis kedua media tersebut, dalam pandangan hakim, bukan opini wartawan, melainkan karya jurnalistik. Sumbernya pun jelas: pejabat kepolisian. ”Berita yang dibuat Republika dan Detik.com tidak terbukti berita bohong,” kata Haswandi.
Sebelum putusan selesai dibacakan, Raymond telah meninggalkan ruang sidang. Lewat pengacaranya, Togar Manahan Nero, pria yang tinggal bersama keluarganya di Hotel Sultan, Jakarta, itu langsung menyatakan banding. Ditemui Tempo di kantornya, gedung Gracia, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu pekan lalu, Raymond menyatakan keberatan atas pertimbangan hakim.
Hakim, kata dia, hanya mendengarkan keterangan saksi yang turut menjadi tergugat, yakni Dewan Pers serta wartawan yang menulis berita itu. Adapun keterangan dari saksi, yang menyatakan bahwa sebuah berita harus berimbang, tak digunakan. ”Dalam pem beritaan media itu kan harus co ver both side,” ujarnya. ”Saya tak pernah dimintai konfirmasi.”
Kasus ini bermula dari ketidakpuas an Raymond atas pemberitaan tujuh media yang menulis perihal dirinya. Media tersebut adalah Kompas, Seputar Indonesia, Suara Pembaruan, Warta Kota, RCTI, Republika, dan Detik.com.
Pada 28 Oktober 2008, bersumber keterangan resmi juru bicara kepolisian sehari sebelumnya, ketujuh media itu menurunkan berita tentang perjudian di Hotel Sultan, Jakarta, yang diungkap polisi. Dalam berita disebut-sebut Raymond terlibat dan ditetapkan sebagai tersangka.
Sehari setelah pemberitaan itu, Raymond ditangkap dan ditahan di Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI. Tapi, hingga akhir masa penahanannya, polisi tak kunjung bisa melengkapi berkas perkara. Alhasil, pada Februari 2009, polisi pun mengeluarkan Raymond dari tahanan. ”Status masih tersangka,” kata Raymond.
Keberatan Raymond bukan pada soal penyebutan dirinya sebagai tersangka. Dia berang karena ketujuh media itu telah mencemarkan namanya lantaran menyebut status dirinya ”buron”, ”bandar judi”, ”bos judi,” dan ”gembong judi”. ”Tak ada polisi menyebut saya buron, bos judi, ataupun bandar judi,” kata sarjana hukum lulusan Universitas Kristen Indonesia, Jakarta, ini. ”Saya merasa dihakimi oleh penyebut an kata-kata itu. Saya kenal judi saja tidak,” kata pria 60 tahun itu.
Pria yang sejak 2002 mendirikan kantor pengacara ini mengaku men derita kerugian hingga miliaran rupiah karena pemberitaan tersebut. Kliennya yang, menurut dia, kebanyakan dari perusahaan asing membatalkan kontrak begitu membaca berita dirinya sebagai buron. Inilah, ujarnya, salah satu alasan dia menggugat hingga Rp 270 miliar. Menurut Raymond, dia sudah menghubungi redaksi ketujuh media itu untuk membuat bantahan. ”Namun tidak satu pun yang merespons.”
Anggota Dewan Redaksi Detik.com, Didik Supriyanto, mempunyai alasan kenapa pihaknya tidak menanggapi keberatan yang disebut Raymond. Menurut Didik, tujuan surat itu tidak jelas. Surat tersebut dibuat sebuah lembaga swadaya masyarakat yang mengaku pendukung Raymond. ”Surat itu tak memenuhi unsur hak jawab, tak jelas ditujukan ke siapa,” kata Didik.
Pada April 2009 Raymond dan pengacaranya mengadukan kasus ini ke Dewan Pers. Tim kuasa hukum Raymond kembali menunjukkan surat yang sama seperti yang dikirim ke redaksi Detik.com. Menurut Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers Wina Armada, format surat Raymond itu menyerupai siaran pers. ”Tidak bisa disebut surat pembaca atau hak jawab,” kata Wina.
Mediasi lalu dilakukan. Ketujuh me dia dipertemukan dengan pihak Ray mond. Lima bulan berlalu, Dewan Pers membuat keputusan: tujuh media harus memberikan ruang hak jawab kepada Raymond. Tapi, sebagai konsekuensinya, Raymond tak akan melakukan gugatan, baik secara pidana maupun perdata.
Ketujuh media menyetujui perintah Dewan Pers. ”Kami hanya ingin masalah ini cepat selesai,” kata Didik Supriyanto. Menurut dia, pada awal kasus ini muncul, pihaknya telah berkali-kali melakukan wawancara panjang dengan kuasa hukum Raymond untuk dimuat. ”Namun setiap selesai diwawancarai panjang, mereka menolak untuk dimuat.”
Putusan Dewan Pers itu ternyata tak membuat dua kubu yang berseteru ini berdamai. Ganjalannya: ketidaksepa katan konsep hak jawab. Di luar itu, Raymond ternyata juga tak menuruti permintaan Dewan Pers agar tidak membawa kasus ini ke pengadilan.
Pada 26 Oktober 2009 Raymond menggugat perdata tujuh media ke pengadilan. Kompas, Warta Kota, RCTI di Pengadilan Negeri Jakarta Barat; Seputar Indonesia di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; Suara Pembaruan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur; serta Republika dan Detik.com di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Selain tujuh media itu, Dewan Pers dan pihak Mabes Polri menjadi pihak yang turut tergugat.
Selain di jalur perdata, Raymond melaporkan tujuh media itu secara pidana ke Kepolisian Daerah Metro Jaya. ”Ka mi tunggu, tak ada rekomendasi dari Dewan Pers, ya kami ambil langkah mengadukan ke pengadilan,” kata Raymond. Pengaduan Raymond atas tujuh media secara pidana hingga kini belum ada kelanjutannya. Media yang diadukan tersebut hingga kini belum mendapat panggilan polisi.
Yang laju bergulir adalah gugatan perdata. Setelah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutus kasus ini, seharusnya pada Kamis pekan lalu kasus yang sama diputus di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. ”Belum siap, putusan baru kami bacakan pada 3 Juni,” ujar ketua majelis hakim yang memegang kasus ini, Lexsy Mamonto. Ketidak siapan majelis, menurut Lexsy, karena para hakim ada yang baru selesai cuti.
Lexsy berjanji akan obyektif dalam memutus perkara ini. Pihaknya, kata dia, akan menjatuhkan putusan berdasarkan fakta persidangan, bukan, misalnya, melihat putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. ”Sebagai hakim, kami punya kebebasan membuat putusan,” katanya.
Didik berharap lima media lain yang digugat Raymond juga akan mendapat putusan yang sama dengan harian Republika ataupun Detik.com. Menurut dia, karena materi gugatannya sama, logikanya putusannya semestinya sama. Harapan yang sama juga disampaikan Wina Armada. ”Keputusan yang diambil hendaknya berpihak pada terwujudnya kemerdekaan pers di Tanah Air,” kata Wina.
Erwin Dariyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo