Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Makin Sempurna <font color=#FF0000>Menuju Pucuk</font>

Pengusutan skandal tiket diplomat memasuki babak baru. Kejaksaan mulai menyelidiki dugaan gratifikasi dana hasil markup harga tiket itu. Mantan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda dan istrinya, Denok Wahyudi, disebut-sebut juga menerima “dana siluman” tersebut.

31 Mei 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA pria itu duduk berhadap-hadapan di ruang pemeriksaan lantai dasar Gedung Bundar Kejaksaan Agung. Di depan mereka, di atas meja berbentuk oval, tergeletak sejumlah dokumen dan sebuah alat perekam. Hari itu, Rabu pekan lalu, jaksa Sugeng Har yadi tengah memeriksa Endro, saksi kasus markup harga tiket diplomat. Untuk pertama kalinya, ajudan orang nomor satu di Kementerian Luar Negeri itu diperiksa setelah namanya disebut-sebut sebagai pengantar duit hasil markup ke mantan bosnya, Nur Hassan Wirajuda.

Tak kurang dari tiga jam Sugeng mencecar Endro dengan belasan pertanyaan. Tapi tak mudah mengorek peng akuan dari mulut ajun komisaris polisi itu. Beberapa kali Sugeng menghela napas lantaran pertanyaannya dija wab dengan gelengan kepala atau ”tidak tahu”.

Perubahan mulai terjadi setelah Su geng menyodorkan keterangan saksi lain yang mengungkap peran Endro sebagai ”kurir” Hassan. Endro akhirnya menye rah. ”Saya hanya mengantarkan amplop, tak tahu isinya,” kata Endro, seperti ditirukan seorang penyidik kepada Tempo. Endro sendiri memi lih menghindari wartawan setelah diperiksa.

Pengakuan Endro, kata penyidik itu, makin ”menyempurnakan” rantai aliran dana yang diduga mengalir ke Hassan. Ade Sudirman, tersangka kasus markup harga tiket, adalah orang yang mengungkap aliran tersebut. Dalam tiga kali pemeriksaan, mantan Kepala Subbagian Perjalanan Dinas Biro Keuangan Kementerian Luar Negeri itu menyebut, pada 2008 dan 2009, Hassan dan istrinya, Denok Wahyudi, menerima Rp 1,1 miliar. Sebelumnya, dalam surat pernyataan bermeterai, Ade juga menyatakan Hassan menerima Rp 1 miliar untuk membeli rumah.

Berbekal nyanyian Ade, kejaksaan mulai menyelidiki tuduhan baru kasus markup harga tiket, yakni dugaan gra tifikasi. Dalam kasus markup, yang diduga membuat negara tekor Rp 21 miliar, kejaksaan sudah menetapkan se puluh tersangka. Selain Ade Sudirman, dua di antaranya pejabat Kementerian Luar Negeri yang dicopot Februari la lu, yaitu Kepala Biro Keuangan Ade Wismar dan Kepala Bagian Pelaksana Anggaran Syarif Syam Arman. Seorang lagi Kepala Bagian Pelaksana Anggaran 2003-2007 I Gusti Putu Adnyana.

Enam tersangka lain berasal dari agen perjalanan yang terlibat dalam proyek itu. Mereka adalah Direktur Utama Indowanua Syarwanie Soeni, Direktur Utama Kintamani Herron Dolf, Direktur Utama Anugerah Dayu Wisata Nurwijayanti, Manajer Operasional PAN Travel Tjasih Litasari, Direktur Utama Shilla Tours Danny Limarga, dan Manajer Operasional Bimatama Tours Jean Hartati. Karena dianggap kooperatif, kejaksaan tak menahan keenam orang tersebut. Satu agen lagi, Laser Pratyaksa, dinilai belum kuat keterlibatannya.

Karena alasan sakit, kejaksaan juga tak menahan Ade Sudirman. Sejak ditetapkan sebagai tersangka, Feb ruari lalu, kondisi kesehatan laki-laki 56 tahun ini rontok. Ade kini terba ring di tempat tidur karena tulang kakinya mengalami kerapuhan akibat komplikasi penyakit jantung, diabetes, dan ginjal. Jaksa sudah dua kali mendatangi kediaman Ade di Cikini Timur, Bintaro, Tangerang, untuk memeriksa pria yang pernah mencalonkan diri jadi Bupati Pandeglang itu.

Menurut sumber Tempo, dalam kasus markup, penyidik sebenarnya sudah mengusulkan mantan sekretaris jenderal Imron Cotan kini Duta Besar Indonesia untuk Cina sebagai tersangka. Diperiksa tiga kali, Imron dianggap bertanggung jawab karena menandatangani surat penunjukan langsung agen, dan posisinya sebagai kuasa pengguna anggaran. Belakangan, saat gelar perkara, menurut sumber Tempo, usul menjadikan Imron tersangka di setip. Kesalahan Imron dinilai sebatas kesalahan administrasi.

Kepada Tempo yang menemui di ruang kerjanya, Rabu pekan lalu, Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Arminsyah membantah hal itu. ”Bukti pendukungnya memang belum ditemukan,” katanya. Melalui seorang temannya, Imron bersumpah tak terlibat dalam urusan ti ket ini. Imron juga membantah isi surat pernyataan Ade Sudirman, yang menyebutkan ia menerima Rp 2,35 miliar, pada Januari dan Desember 2008, melalui Ade Wismar. Ade Wismar sendiri berkali-kali membantah tudingan ini.

Ade Sudirman kembali menembakkan amunisinya. Kepada pengacaranya, Maret lalu, Ade meminta dokumen yang ia simpan di safe deposit box sebuah bank swasta diserahkan ke kejaksaan. Menurut pengacara Ade, Achmad Kholidin, langkah itu untuk membongkar tuntas borok di Pejambon. ”Ia hanya korban,” kata Achmad.

Dalam dokumen yang salinannya diperoleh Tempo, pada 2008 dan 2009, disebutkan Hassan dan istrinya, Denok, menerima Rp 1,1 miliar melalui Tusmiyati, anggota staf sekjen. Pada September 2008, Hassan juga menerima Rp 32,5 juta dari anggota staf biro keuangan, Asep Sarwedi, sebagai biaya hari raya. Tapi, kepada penyidik, Asep membantah soal ini. Imron juga tercatat menerima setoran rutin Rp 25 juta per bulan selama 2008-2009. Melalui pengacaranya, Irfan Fahmi, kasir biro keuangan Adang Sujana membenarkan adanya setoran rutin ini.

Tak hanya mengalir ke tiga orang itu, duit yang dikumpulkan dari proyek markup harga tiket itu mengalir ke sejumlah anggota staf di biro keuangan. Masih menurut dokumen itu, dari rekapitulasi pengeluaran 2008-2009, total dana yang mengalir mencapai Rp 17,3 miliar. Menurut Achmad, dokumen itu merupakan catatan tangan Ade Sudirman yang didukung kuitansi dengan kode tertentu. Kode angka satu, misalnya, untuk menteri. Adapun angka dua untuk sekjen. ”Duit itu dianggap duit siluman,” kata Achmad.

Tusmiyati sendiri tak pernah mau bersuara. Beberapa kali dicegat war tawan seusai pemeriksaan, ia tutup mulut. Hal yang sama dilakukan Asep Sarwedi. Beberapa kali Tempo mendatangi tempat kerja mereka di Pejambon, hasilnya nihil. Kepada Tempo, Rabu pekan lalu, seorang anggota staf Kementerian Luar Negeri menyatakan Tusmiyati dan Asep belakangan ini memang bersikap tertutup. Juru bicara Kementerian Luar Negeri, Teuku Faizasyah, menyatakan pihaknya menyerahkan sepenuhnya pengusutan aliran duit itu ke kejaksaan. ”Itu sudah wilayah hukum,” katanya.

Laporan ”jilid dua” versi Ade Sudirman itu tak disia-siakan kejaksaan. Menurut seorang penyidik lain, penyelidikan dugaan gratifikasi kini tengah difokuskan ke Hassan dan istrinya. Sejumlah saksi sudah diperiksa. Kepada penyidik, Tusmiyati mengaku, beberapa kali menerima amplop untuk Hassan dan istrinya dari Ade Sudirman melalui Adang Sujana. Namun Tusmiyati sama sekali tak tahu isi amplop itu.

Amplop untuk Hassan, kata dia, ia serahkan lagi ke Maria Renata, anggota staf menteri. Saat diperiksa kejaksaan, akhir Maret lalu, perempuan yang kini menjadi diplomat di Wellington, Selandia Baru, ini mengaku menyerahkan amplop ke Endro, ajudan Hassan. ”Tapi saya tak tahu isi amplop itu,” kata Renata. Adapun untuk Denok, Tusmiyati mengaku menitipkan amplop itu ke Rizaldi, anggota staf sekjen. Seorang penyidik mengatakan Rizal, yang kini menjabat diplomat di Kuala Lumpur, Malaysia, menyerahkan amplopnya kepada seorang keponakan Denok berinisial A. ”Dia juga tak tahu isinya apa,” kata penyidik.

Nah, untuk aliran dana kepada Hassan, menurut Arminsyah, pengakuan saksi memang sudah mulai terang menggambarkan aliran itu. Kendati demikian, menurut dia, masih perlu digali kesaksian lebih lanjut. ”Karena ada yang mengaku, tapi hanya mengantar amplop, bukan uang.” Adapun untuk Denok, kata Armin, ada rangkaian yang putus. Seorang penyidik menyatakan hanya keponakan Denok berini -sial A itu yang hingga kini belum diperiksa. ”Sudah dipanggil sekali, tapi dia tak datang,” kata penyidik itu.

Hassan tak bersedia ditanya soal tuduhan itu. Dihubungi di dua nomor telepon pribadinya, ia tak merespons. Permohonan wawancara Tempo melalui surat elektronik dan pesan pendek tak dibalas. Kepada Sutarto dari Tempo, ajudan pribadi Hassan, Ahmad, mengatakan bosnya sedang mendampingi kunjungan kerja Presiden ke Oslo, Norwegia, sejak Selasa pekan lalu.

Segendang sepenarian, Denok juga sulit ditemui. Saat Tempo mendatangi kediamannya di Srengseng Sawah, Jakarta Selatan, dan Apartemen Arya duta juga di Jakarta Selatan kerabatnya mengatakan Denok sedang keluar. Menurut Ahmad, sehari-hari Denok dan Hassan tinggal di Apartemen Aston Tower 2, Rasuna Said, Kuning an, Jakarta Selatan. Jumat pekan lalu, saat Tempo datang ke apartemen itu, Ahmad tak mau mempertemukan Tempo dengan Denok. ”Dia ada di atas, tak bisa turun,” katanya.

Kejaksaan sendiri belum akan memanggil Hassan. Menurut Armin, bukti yang dikantongi penyidik masih perlu diverifikasi. ”Sejauh ini kan baru peng akuan dan dokumen dari Ade Sudirman,” katanya. Saat ini pihaknya tengah berfokus melengkapi berkas sepuluh tersangka markup harga tiket untuk diajukan ke pengadilan. Di persidangan, kata Armin, pihaknya berharap ada temuan baru untuk mengembangkan dugaan gratifikasi.

Anton Aprianto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus