Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

"PR" seorang oknum polwan

Polwan sertu elisabeth purnama tavippina boru siahaan, 25, tengah diadili mahkamah militer medan. ia dituduh memimpin 8 oknum polisi melakukan serangkaian pemerasan di 6 tempat di medan.

29 Juli 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALI ini korps Polisi Wanita (Polwan) yang tercemar. Untuk pertama kalinya seorang anggotanya, Sertu. Elisabeth Purnama Tavippina boru Siahaan, 25 tahun diseret ke Mahkamah Militer Medan. Tak tanggungtanggung, Oditur Letkol. Kowad Yamini, S.H., di sidang Senin pekan lalu, mendakwa Elisabeth, Dada April sampai.Mei 1988, telah mengotaki serangkaian pemerasan di enam tempat di Kota Medan. Dalam kejahatan itu, menurut oditur, anggota Ditserse Polda Sumatera Utara (Sum-Ut) itu memimpin komplotannya yang terdiri dari 8 oknum polisi. Hebatnya lagi, dua di antara komplotannya itu berpangkat lebih tinggi dari Elisabeth, yaitu Lettu. M. Yunus. Staf Keuangan Polda Sum-Ut dan Serka. Tengku Dirham, Bintara MPP Ditserse Polda Sum-Ut. Semua anggota komplotannya itu, menurut Yamini, dipakai Elisabeth bergantian dalam setiap operasinya. Pada operasi 25 April, misalnya, ia cuma membawa Tengku Dirham, Serda. Bahari Tarigan, dan Serda. Agus Tarigan. Mereka dengan surat perintah palsu menggerebek rumah Sin Tuan di Jalan Singgalang. Di rumah itu mereka menemukan dua karung head video bekas. Elisabeth dan komplotannya memaksa Sin Tuan mengakui benda itu sebagai barang selundupan. Tapi Sin Tuan menolak paksaan tersebut. Akibatnya, Elisabeth dan teman-temannya memaksa pedagang itu naik ke mobil mereka. Di dalam mobil, komplotan itu mengancam akan menyiksa Sin Tuan. Sin Tuan pasrah. Ternyata, ia hanya dibawa keliling kota. Dalam bahasa Cina, Tengku Dirham mencoba membujuk Sin Tuan supaya memberi uang Rp 4 juta. "Kalau kau tak punya uang, kamu kan bisa pinjam dari teman-temanmu," kata Dirham. Rupanya, rayuan Dirham mengena. Di Jalan Teuku Umar terdakwa itu menelepon bininya, Ha Wei. Tak lama, sang bini datang menyerahkan uang Rp 350 ribu. Puas dengan hasil operasi itu, tiga hari kemudian Elisabeth bergerak lagi dengan Agus Tarigan dan Sertu. Syamsul Rizal. Bertiga mereka menggeledah rumah Tono di Jalan Duyung. Tak ada barang selundupan di situ. Yang ada hanyalah tiga kaset video, rekaman acara Aneka Ria Safari (TVRI) dan aneka lagu-lagu Barat. Berdasar itu, mereka menuduh Tono merekam dan mengedarkan kaset itu tanpa izin. Tono pun dibawa ke Polda Sum-Ut. Tapi di situ terdakwa tak ditahan Dia hanya dibawa ke balik dinding kantor Polda. Di situ telah menunggu adiknya, Lutansyah, yang dipanggil oknum-oknum itu untuk menyelesaikan kasus kakaknya. Dirham, yang menemui mereka, kemudian meminta bayaran Rp 3 juta agar Tono tidak ditahan. Meski Lutansyah cuma mampu membayar Rp 500 ribu, toh Dirham setuju. Pada 1 Mei 1989, kembali Elisabeth bergerak membawa Bahari Tarigan, Tengku Dirham, M. Yunus, Serda. Suharto, dan Koptu. Lukman Hakim. Di sebuah rumah di Jalan Tapanuli mereka menjumpai kaset video cabul. Kepada pemilik rumah, Rosmini, M. Yunus meminta Rp 5 juta untuk menyelesaikan perkara itu. "Kalau tidak, semua penghuni rumah ini ditahan," begitu ancaman Yunus. Persoalan baru "beres" setelah pemilik rumah membayar Rp 3,5 juta. Operasi berikutnya, pada 10 Mei, bersama Bahari Tarigan, M. Yunus, Agus Tarigan, dan Lukman Hakim, Elisabeth menggeledah rumah Sahidin di Jalan Aceh. Di sini Elisabeth mengeluarkan kartu ceki dari dalam tasnya. Lalu oknum Polwan itu menuduh rumah itu sebagai sarang judi gelap. Buktinya, ya, kartu ceki tadi. Sahidin tentu saja gelagapan ketika dimintai uang damai Rp 500 ribu. Ketika Sahidin mencoba memberi Rp 100 ribu, uangnya ditolak M. Yunus. Baru persoalan selesai setelah Sahidin membayar sebanyak yang diminta. Tapi "kesialan" Sahidin belum berakhir. Dua hari kemudian rumah familinya di Jalan Malaka, mendapat giliran digerebek Elisabeth bersama Bahari Tarigan, M. Yunus, dan Agus Tarigan. Di situ keempat oknum itu menemukan barang-barang elektronik dan blue film yang mereka tuduh hasil selundupan. Pemilik rumah Beng I, yang sedang sakit jantung, mendadak kumat ketika diminta membayar Rp 5 juta. Sebab itu, Sahidin terpaksa turun tangan. Setelah ia membayar Rp 50 ribu, urusan kembali beres. Perbuatan itu terbongkar gara-gara dua anggota komplotan Bahari Tarigan--kini buron - dan Dirham "menyeleweng". Beberapa hari kemudian kedua orang itu kembali mendatangi Rosmini. Dengan alasan "Hari Raya". mereka meminta tambahan uang dari pemilik rumah sebesar Rp 500 ribu. Kali ini rupanya pemilik rumah mengadu ke Provost Polda Sum-Ut. Petugas provost kemudian membekuk Dirham. Semua operasi itu, menurut Yamini, bisa lancar berkat surat tugas palsu yang ada di tangan mereka. Komplotan itu, begitu tuduhan oditur, telah menghapus tanggal surat-surat tugas yang sudah kedaluwarsa dan memfotokopinya, sebelum menggantinya dengan tanggal baru. "Jadi, mereka juga memalsu surat-surat," kata Yamini. Dan hasil "PR" itu kata Yamini, mereka bagi, dengan bagian terbesar untuk Elisabeth. R 920 ribu. Sementara itu, anggota komplotan yang lain - termasuk yang pangkatnya lebih tinggi memperoleh bagian lebih kecil dari bagian sang "bos". Sertu. Elisabeth di sidang mengakui kesalahannya karena perintah itu tak datang dari atasan langsungnya. Dia, katanya, terdorong melakukan kejahatan itu karena prihatin akan kebutuhan teman-temannya menjelang Hari Raya. Hanya saja, ia membantah mengotaki komplotan itu. "Masih ada orang yang pangkatnya lebih tinggi dari saya," katanya. Sebenarnya, menurut Elisabeth, dia sudah menyadari kekeliruannya sejak operasi yang kedua. Ia sudah tak enak hati ketika operasi itu "di-86-kan" (diobyekkan) teman-temannya. "Tapi saya sudah kasip," kata Elisabeth, yang masih kuliah di fakultas hukum itu. Hanya saja, seperti juga oknum lain di mahkamah, Elisabeth mohon jangan dipecat, walau nanti dipidana. Kalau nanti bertugas, "saya akan menyeleksi perintah yang datang," katanya.Monaris Simangunsong & Sarluhut Napitupulu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum