HIDUP Paula Cooper kini benar-benar di ujung kursi listrik. Kamis dua pekan lalu, nasib gadis remaja asal Indiana, Amerika Serikat, itu masih dipertimbangkan oleh mahkamah agung Indiana. Hari itu mahkamah mendengarkan kembali keterangan Paula pada pengadilan banding. Kalau putusan banding dikukuhkan mahkamah agung, maka Paula akan memegang rekor sebagai perempuan termuda yang dihukum mati di Amerika Serikat. Paula kini 19 tahun. Ia diputus hukuman mati di kursi listrik ketika ia berusia 15 tahun. Paula, 4 tahun silam, didakwa membunuh seorang guru agama, Ruth Elizabeth Pelke, 78 tahun, dengan sedikitnya 30 tikaman pisau daging. Ia dan tiga remaja rekannya juga merampok. Sayang, nenek yang renta itu hanya punya uang tak lebih dari US$ 10. Namun, mereka masih beruntung bisa menyabet mobil sedan yang diparkir di depan rumah Nenek Pelke untuk pesiar. Belakangan kontroversi berkembang atas kasus hukuman mati bagi anak gadis kulit hitam itu. Di Negara Bagian Indiana telah terjadi perubahan perundang-undangan. Dalam UU baru itu, batas minimum umur yang bisa dijatuhi hukuman mati adalah 16 tahun, naik dari UU sebelumnya, yakni 10 tahun. Saat ini di seluruh Amerika Serikat tercatat ada 27 orang yang berumur di bawah 18 tahun menunggu eksekusi hukuman mati. Di antaranya Paula Cooper. Dengan UU baru itu apakah otomatis hukuman mati bagi Paula lantas batal? Ia dijatuhi hukuman mati ketika berusia 15 tahun. Ada yang berpendapat, UU baru tidak berlaku bagi Paula. "Karena hukuman itu dijatuhkan berdasarkan UU yang berlaku saat itu" kata seorang pejabat pengadilan di Indiana. Namun, tim pengacara Paula menyatakan hukuman mati itu tidak sah. Hukuman mati bagi anak di bawah 16 tahun dinilai berlawaan dengan Amerika. Bertolak dari pernyataan mahkamah agung itu. DPR Negara Bagian Indiana itu mengesahkan "Undang-Undang Paula Cooper", yang meningkatkan batas umur itu. Namun, UU itu tetap tidak berlaku bagi Paula. Ia akan dikenai hukuman mati. Reaksi yang menentang hukuman mati antara lain dari kelompok "Thou Shalt Not Kill" (Kau tak Boleh Membunuh). Pendeta Vito Bracone dan 6 anggota kelompok itu mengunjungi Paula di penjara wanita Indiana. Berdirinya kelompok asal Italia itu, 1986, untuk menentang eksekusi hukuman mati bagi remaja. Setelah berjumpa Paula, rombongan Bracone menuju New York. Mereka menyampaikan petisi agar hukuman mati dibuang saja. Selain itu, ada pula Paus Yohanes Paulus II yang mengimbau agar Paula diampuni. Kelompok simpatisan memang banyak bermunculan menghadapi kasus hukuman mati. Terutama bagi generasi muda. Tahun 1983, ketika hakim pengadilan California Eric Younger menangani kasus pembunuhan Lee Moody, ia dibanjiri surat dari seluruh lapisan masyarakat. Mereka menyatakan simpati pada Lee Moody, 18 tahun, yang membunuh ayah kandungnya, Robert Ira Moody. Mereka yang mengikuti kasus Moody mengetahui bahwa Robert seorang ayah yang kejam. Ayah Lee Moody suka menyiksa anaknya. Bahkan sang bapak itu tega memaksa istrinya melacurkan diri. Menghadapi tekanan itu, rupanya Lee Moody tak tahan lagi. Ketika suatu hari melihat ayahnya tengah membenturkan kepala ibunya ke kompor, kesabaran anak itu hilang. Ia menghabisi ayahnya dengan senjata api. Hakim Eric Younger akhirnya menjatuhkan hukuman ringan pada anak muda itu: 5 tahun penjara dengan masa percobaan 2 tahun dan harus bekerja di organisasi sosial di luar negeri. Lee Moody akhirnya menjadi pekerja sosial di kamp pegungsi Vietnam di Hong Kong -- sesuai dengan keinginan Lee membantu orang miskin. Nasib Lee memang lebih baik ketimbang Paula. Bagaimana di Indonesia? Kasus hukuman mati untuk seorang remaja memang belum pernah terdengar. Menurut KUHP -- karena UU Peradilan Anak tak segera terwujud -- maka hakim berhak mengembalikan si anak ke orangtuanya, menjadikan anak negara, atau masuk penjara.Bunga S. dan P. Nasution (Washington)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini