Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Dan jaksa agung kecewa

Majelis hakim diketuai soenyoto hanya menjatuhkan vonis hukuman 6 bulan percobaan & denda Rp 5 juta bagi frans limasnax. dituduh penyelundup barang elektronik. jaksa agung sukarton kecewa vonis itu.

18 Maret 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UPAYA Jaksa Agung Sukarton Marmosudjono untuk memenjarakan para buron penyelundupan, nampaknya tidak terlalu mulus. Di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, misalnya. Rabu pekan lalu, majelis hakim yang diketuai Soenyoto hanya menjatuhkan vonis hukuman 6 bulan percobaan dan denda Rp 5 juta bagi Frans Limasnax, 37 tahun. Frans telah didakwa menyelundupkan sejumlah barang elektronik dan sebelumnya dianggap buron oleh kejaksaan. Ia diamati tetap bolak-balik Jakarta-Singapura dalam "pengembaraannya". "Perbuatannya baru mencoba mengimpor. Belum sampai melepas barang-barang selundupan itu ke pasaran bebas," kata Hakim Soenyoto di sidang yang secara khusus diliput TVRI itu. Memang majelis hakim mengangap bahwa Frans bersalah karena memasukkan barang-barang miliknya, hanya 9 buah video casette seharga US $ 2.385, tanpa membayar bea masuk. Tapi kesalahan itu, kata majelis, sudah setimpal dengan masa penahanan yang dijalaninya selama 7 bulan. Jaksa Agung Sukarton kecewa dengan putusan itu. "Kalau memang terbukti bersalah, kenapa hanya dijatuhi hukuman percobaan? Itu 'kan seolah-olah pengadilan tak terpanggil untuk ikut serta dalam gerakan antipenyelundupan yang sedang giat-giatnya dilancarkan pemerintah," kata Sukarton di hadapan Civitas Academica Universitas Jambi, IAIN, APDN, Muspida, dan pemuka masyarakat Jambi, Senin pekan ini. Kenapa Sukarton kecewa? Soalnya seperti diutarakan Kepala Humas Kejaksaan Agung, Soepriyadi -- sebelumnya Jaksa M. Manoi menuntut agar majelis memvonis Frans 4 tahun penjara plus denda Rp 10 juta. Lebih dari itu, Frans dinilai bukan hanya pernah mengentak dunia peradilan. Ia juga sempat membuat pusing. Semula Frans, Pongusaha PT Segatrans Persada, divonis 2 tahun penjara dan denda Rp 5 juta dalam sidang tanpa kehadirannya karena buron (in absentia) di Pengadilan Ekonomi Jakarta Utara, Juni 1986. Ia dianggap terbukti terlibat penyelundupan 2.120 kantung, yang di dokumen disebutnya bahan kimia, ternyata ketika diperiksa ditemukan kaset video, karpet, dan barang mewah lainnya pada akhir 1985. Negara dirugikan sekitar Rp 48 juta. Putusan itu, September 1986, dipatahkan pengadilan banding. Bahkan Mahkamah Agung, Agustus 1987, memutuskan agar perkara itu diperiksa ulang. Tapi sebelum kejaksaan mengajukan kembali perkara itu ke pengadilan secara in absentia, Juli 1988, Frans berhasil ditangkap di rumahnya di Jakarta Pusat. Namun, setelah Frans didudukkan di kursi pesakitan, ternyata majelis hanya menghukumnya percobaan. Tak ayal lagi, setelah berita itu ditayangkan TVRI, tersiar kabar burung. Dengan uang puluhan juta, Frans sendiri, konon, "punya peran" penting dalam proses peradilan itu. Tentu saja, Hakim Soenyoto membantahnya dengan keras. "Tidak ada suap. Tuhan Maha Tahu," kata Soenyoto. "Saya tidak akan main-main dengan perkara yang telah menjadi berita nasional itu." Dari kasus itu, pengadilan bisa-bisa jadi terdesak. Tapi baiklah ditunggu kasus lain. Misalnya saja, kasus manipulasi Sertifikat Ekspor (SE) -- dengan kerugian negara ditaksir Rp 33 milyar -- yang, pekan-pekan ini, juga diadili di Jakarta Utara. Terdakwanya, Bambang Hermawan, 41 tahun, yang pernah buron, menyerahkan diri 11 Agustus 1988, sebulan setelah pengumuman pencabutan paspor oleh pemerintah. Bambang, bersama rekannya yang masih buron, Marzuki, menurut Jaksa Dahlan H. Dani, atas nama perusahaan ekspor PT Aria Girimai (AG), CV Sugiharto, dan PT Angkasa Jaya Santika (AJS), telah mengekspor 11 juta set gasket -- bahan pembuat packing mobil -- dan 136.500 lusin botol minyak wangi ke Singapura, sejak Maret sampai September 1984. Mereka membeli gasket yang diekspor itu dari PT Sukajadi Motor, sedangkan minyak wangi dibeli dari PT YSL Cosmetic. Untuk ekspor barang itu, Bambang dan Marzuki mendapatkan fasilitas SE sebesar Rp 44 milyar lebih. Padahal, kata Jaksa Dahlan, dana SE yang seharusnya diterima mereka hanyalah sekitar Rp 11 milyar. Sebab, dari 11 juta set gasket yang diekspor itu, ternyata cuma 2 juta set saja yang betul-betul produksi PT Sukajadi. Sisanya, cuma gasket hasil impor balik dari Singapura. Sementara itu, ekspor minyak wangi dari PT YSL Cosmetic sebenarnya hanyalah 15.924 lusin botol. Selebihnya, sekitar 120 ribu botol, tak lain dari minyak wangi buatan Bambang sendiri. Tapi Bambang membantah semua tuduhan itu. PT AG dan CV Sugiharto, katanya, sebetulnya milik Marzuki. Begitu juga PT AJS adalah milik Ateng Zakaria. Dan yang melakukan pengiriman gasket dari Singapura, sambungnya, adalah Yasin Sjarief. Sementara itu, lima orang bekas buron -- yang dituduh menyelundupkan 800 ton barang elektronik dengan kapal Levana dan Selat Jaya ke Tanjung Pinang, Kepulauan Riau -- pekan-pekan ini, juga diadili di Pengadilan Tanjung Pinang. Kelima orang itu yang menyerahkan diri sejak hari pertama pengumuman pencabutan paspor adalah Kaligis, 52 tahun, Matius Kaligis, 28 tahun, Hermen, 40 tahun, Toni Pudjo, 41 tahun, serta Hirman, 42 tahun. Belakangan mereka hanya dijadikan saksi. Kaligis dan anaknya, Matius, yang mengangkut 600 ton barang selundupan itu lewat kapal Levana, menurut Jaksa Haryadi Widyasa, telah memanipulasikan jumlah barang, sehingga hanya membayar bea masuk sekitar Rp 5,5 juta. Seharusnya ia membayar Rp 1,7 milyar lebih. Sementara itu, Hermen dan Toni, yang memuat 200 ton barang selundupan di kapal Selat Jaya, menurut Jaksa Halius Hoslen, memanipulasikan bea masuk yang seharusnya Rp 1,4 milyar menjadi hanya Rp 6 juta. Namun Pengacara Kaligis dkk. menganggap bahwa keempat kliennya itu tak berniat mengelak bea masuk. "Kalau petugas Bea Cukai menganggap segala urusannya sudah beres dan mengeluarkan barang-barang itu dari gudang, mau apa lagi?" katanya. Agaknya baru di Ujungpandang, kejaksaan boleh menepuk dada. Seorang penyelundup rotan, Robby Mandolang, yang sempat buron ke Hongkong, berhasil dihukum penjara 20 tahun. Robby bukan cuma menyelundup. Ia dianggap terbukti melakukan subversi.Happy S., Agung F. (Jakarta), dan Affan B. Hutasuhut (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum