MENANGANI suatu perkara memang perlu cermat. Kalau tidak, ini akibatnya: jaksa dan polisi dihukum membayar ganti rugi karena menahan orang yang ternyata tak bersalah. Kepolisian Jakarta Pusat Komando Resort 701 dan Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, menurut Mahkamah Agung, harus membayar ganti rugi kepada seorang bekas terdakwa, Papi Abdullah, sebesar Rp 107 ribu. Mahkamah Agung menolak kasasi Kejaksaan Negeri Pusat, sebab batas waktu pengajuan permohonan kasasi telah terlampaui. Lima tahun berselang Yudi Pranoto, pedagang perabot rumah tangga di Jakarta Pusat, mengadukan Papi Abdullah, 55, ke Polres Jakarta Pusat dengan tuduhan menipu. Semula Papi ikut menjualkan barang milik Yudi dengan cara kredit. Belakangan, Papi tak sanggup membayar cicilan selama enam bulan kepada Yudi hingga tunggakannya Rp 22,5 juta. Akhirnya, karena laporan Yudi, Papi harus mendekam dalam tahanan Polsek Jatibaru selama 107 hari. Papi disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan tuduhan menipu saksi pelapor, Yudi Pranoto, dengan cara membayar utang sebanyak Rp 22,5 juta dengan cek kosong (TEMPO, September 1983). Namun, waktu itu, Hakim Sriwati berpendapat bahwa kasus Papi merupakan perkara perdata: Papi dibebaskan. Dan hari itu juga, 25 Februari 1982, Papi dibebaskan dari tahanan. Merasa namanya tercemar, dicurigai tetangga, dan kehilangan langganan yang dulu mempercayainya, asap dapur Papi terganggu, sampai-sampai saya menjual kompor," katanya, ketika itu. Maka, dengan bantuan Pengacara Marsaulina Manurung dari LBH Jakarta, Papi menggugat Kepolisian, Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, dan Yudi Pranoto untuk membayar ganti rugi sebesar Rp 50 juta. Ia pun menghendaki namanya dibersihkan melalui koran. "Saya yakin Papi pasti menang. Karena perkaranya perdata murni -- apalagi ada surat perjanjian dagang antara Papi dan Yudi," kata Marsaulina pada Happy S. dari TEMPO. Majelis Hakim yang diketuai Hakim Sriwati, ketika itu, menerima sebagian gugatan Papi. Hakim menetapkan, Yudi harus membayar ganti rugi sebesar Rp 1.070 ribu, karena sengaja menjebloskan Papi ke tahanan. Sedangkan Kepolisian dan Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat dihukum sebesar Rp 107 ribu. Sayangnya, gugatan rehabilitasi nama baik tidak dikabulkan. Maklum, ketika itu peraturan pelaksanaan tentang KUHAP baru keluar. Dengan ditolaknya kasasi kedua institusi penegak hukum ini, tak ada lagi upaya hukum lain yang memungkinkan keduanya berkilah. Kepala Kejaksaan Tinggi DKI, Soetanto, mengakui pihaknya tak dapat mengajukan peninjauan kembali. "Apa boleh buat, putusan itu memang harus dieksekusi," katanya pada Agus Basri dari TEMPO. Sedangkan Kapolres Jakarta Pusat, Letkol (Pol.) K. Ratta, tampak acuh tak acuh menanggapi putusan Mahkamah Agung itu. "Ah, biarin aja Mahkamah Agung yang memutus perkara itu yang membayar sendiri ganti rugi," kata K. Ratta. Lho? Kendati permohonan eksekusi belum dilaksanakan, Pengacara Marsaulina Manurung merasa puas. "Yang penting, aparat kepolisian dan kejaksaan jangan sembarangan saja menerima pengaduan," katanya, yang kini tidak bekerja lagi di LBH. Sayangnya, Papi, yang semula mengontrak di daerah Karet, kini, tidak diketahui alamatnya. Padahal, untuk eksekusi perlu ada kuasa khusus dari Papi. Karena itu, Marsaulina, sebagai pengacaranya, belakangan ini sibuk mencari keterangan di mana gerangan Papi Abdullah berada. Menangnya Papi di pengadilan serta keluarnya peraturan tentang pelaksanaan KUHAP memaksa polisi dan jaksa agar hati-hati dan cermat. "Kalau tidak, mereka harus memikul risikonya," kata Marsaulina. Yulia S. Madjid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini