Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Menggugat pembela sendiri

Bermula rambe, 28, dibebaskan dari tuduhan mencuri 52 kg salak. ia balik menggugat pengacaranya dahlan tanjung karena dianggap lalai memberi hak mengajukan kasasi. dahlan tak menanggapi masalah ini.(hk)

4 Oktober 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BOLEH, dong, sekali-sekali pembela digugat kliennya sendiri. Dahlan Tanjung, 43, yang telah 16 tahun berpraktek sebagai penasihat hukum di Padangsidempuan, dalam minggu ini akan tampil di Pengadilan Negeri Padang Sidempuan di Sumatera Utara: Gara-gara lalai memberi tahu hak mengajukan kasasi kliennya. Bermula Rambe, 28, yang menyeretnya ke meja hijau. Kernet bis ini menuduh pengacaranya itu telah lalai, hingga ia kehilangan kesempatan untuk kasasi ke Mahkamah Agung. "Padahal, Dahlan sudah menerima surat kuasa dan uang Rp 1 juta untuk kepentingan kasasi tersebut," kata, Ahmad Ibrahim Rambe, pengacara baru Bermula, yang menuntut ganti rugi Rp 6 juta lebih. Kisah klien menggugat pengacaranya ini merupakan ekor peristiwa tujuh tahun silam. Waktu itu Bermula diadili karena dituduh ikut mencuri 52 kg salak dari kebun Abdul Wahab di Padang Lancat. Namun, Hakim Borkat Ritonga, akhir Januari 1980, memvonis Bermula bebas murni. Menurut hakim, Bermula tak terbukti mencuri karena hanya menemani Maa'li dan Tambat, para pencuri, menjual salak tanpa tahu asal-usulnya -- dengan harapan ditraktir semangkuk mi dan sebatang rokok. Maa'li dan Tambat sendiri tak pernah diadili sebab keduanya kabur entah ke mana. Bermula, famili-familinya, dan Dahlan merayakan kemenangan dengan minum kopi dan makan kue di kantin pengadilan. Dahlan lantas menawarkan agar Abdul Wahab, yang mengadukan Bermula, digugat secara perdata untuk memulihkan nama baik Bermula. Semua setuju. Bermula lantas memberi surat kuasa agar Dahlan menggugat Wahab. Dan seorang namboru (adik ayah) Bermula memberikan duit Rp 75 ribu sebagai ongkos pendaftaran perkara. Setelah itu Bermula, yang masih lajang itu, pergi merantau. Selanjutnya Dahlan berhubungan dengan Damsi boru Rambe, 27, sang namboru -- termasuk soal biaya yang diperlukan. Ternyata, baru di tingkat pertama perkara itu ditolak. Tak putus asa, Dahlan maju ke tingkat banding. Ternyata, kalah juga. Damsi, petani, berulang kali menghubungi Dahlan untuk mengetahui apakah perkara itu akan dikasasikan atau tidak. "Tapi jawabnya, tunggulah dulu.' Begitu terus," ujar Damsi. Kesal, Damsi lalu mencari pengacara lain, dan bertemulah dengan Ahmad Ibrahim yang masih semarga dengan Damsi dan Bermula. Waktu Ibrahim mengecek perkara itu di Pengadilan Negeri Padangsidempuan ternyata, tenggang waktu untuk mengajukan kasasi telah habis. Batas waktu untuk mengajukan kasasi memang hanya 42 hari. Kalau pemberitahuan putusan banting itu akhir Juli, maka batas waktu mengajukan kasasi sampai awal September. "Habisnya batas waktu itu baru kami ketahui pada November 1981. Pengacara Dahlan pun mengajukan kasus itu ke polisi. Namun, polisi angkat tangan, hasil pemeriksaan menyatakan bahwa perkara itu perdata murni, bukan wewenang kepolisian. Dahlan lalu digugat secara perdata. "Air susu dibalas air tuba. Dulu sudah saya bela hingga bebas murni, kini malah balik menggugat saya," kata Dahlan, yang tak menganggap serius masalah itu. Katanya, soal tidak kasasi, itu karena kemauan Bermula sendiri -- karena ia merasa tak punya uang. "Bohong, kalau dia bilang setelah memberi surat kuasa lalu pergi ke Jakarta. Saya ketemu dia empat kali untuk mempersoalkan kasasi itu. Baru tahun 1984 ia ke Jakarta," kata alumnus Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada ini. Dahlan menyangkal pernah menawarkan agar Wahab dibuat perdata. Ia menyarankan agar Wahab dipidanakan dulu. Akibatnya, perkara itu ditolak, dengan alasan kasus itu belum dipidanakan. Ia juga membantah perihal duit Rp 1 juta. "Cuma Rp 200 ribu, kok. Itu pun diberikan berkala -- kadang Rp 10 ribu atau Rp 15 ribu," ujar Dahlan, yang mengaku tarifnya tertinggi hanya Rp 500 ribu di kota itu. Dahlan menduga perkaranya muncul karena diatur oleh Ibrahim. Sebab, menurut dia, Ibrahim pernah punya story dengannya. Menjelang akhir 1980, katanya, Ibrahim pernah diadili di Padangsidempuan dengan tuduhan menganiaya janda beranak lima. Karena janda itu ternyata masih famili Dahlan, maka dialah yang tampil membela bibinya itu di pengadilan, ketika sang bibi diadukan Ibrahim mencemarkan nama baiknya. Janda itu, Zuraida boru Pulungan, yang ternyata pacar Ibrahim, memang sempat memaki-maki pengacara itu di depan polisi. Dalam perkara itu Ibrahim dijatuhi hukuman 3 bulan penjara dengan masa percobaan 6 bulan. Sedangkan Zuraida kena hanya sebulan. "Kini, setelah dia punya gigi lagi, sayalah yang dijadikan korbannya yang pertama," ujar Dahlan sambil tersenyum. Ini perkara lain-lain. Erlina Agus, Laporan Bersihar Lubis (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus