ISU "mafia peradilan", yang melibat nama Ketua Umum Bina Bantuan Hukum (BBH) Sutomo Chasanduryat beserta dua orang pengacara yang juga anggota BBH, Herry Santoso dan Moh. Dino Laya, akhirnya -- seperti juga isu-isu tentang hal yang sama sebelumnya -- tidak bisa terungkap tuntas. Sebab, Sutomo, yang seharusnya diadili Dewan Kehormatan Ikadin yang diketuai S. Tasrif, Sabtu pekan lalu mengumumkan pengunduran dirinya dari organisasi advokat itu, tiga hari sebelum sidang berlangsung. "Dengan demikian, Dewan Kehormatan Ikadin tidak berwenang lagi memeriksa dan mengadili," tulis Sutomo Chasanduryat, yang sebelumnya tak lain adalah anggota Dewan Kehormatan DPP Ikadin juga. Sutomo, bersama dua anggota BBH lain yang bukan anggota Ikadin, Harry dan Dino, serta Pengacara Bambang Tri T.W. Kaffar -- bukan anggota BBH dan Ikadin -- menjelang Lebaran lalu, dihebohkan berpraktek melenceng: mengatur tuntutan dan vonis pengadilan. Kelompok pengacara itu, seperti yang kemudian diadukan DPP Ikadin ke Dewan Kehormatan, menyanggupi akan mengurus kliennya, Fritz Wuisan alias H.M. Firmansyah, agar bebas dari tuntutan hukum dan vonis hakim melalui upaya-upaya di luar peradilan, Untuk semua itu, kelompok yang diketuai Sutomo menjanjikan akan mendapat sutat dari Ketua Mahkamah Agung, dan dari pejabat-pejabat eselon satu Departemen Kehakiman. Fritz Wuisan, Direktur Utama PT Putra Sedjati Spinning Mills yang memproduksi benang tenun, dituduh menggelapkan uang oleh Musa, dari PT Benindo Sarana Pratama, sebanyak Rp 2,2 milyar. Menurut Musa, Wuisan tidak kunjung menyerahkan 3.360 bal benang tenun yang sudah dibayarnya. Di sidang itu Wuisan sebenarnya sudah didampingi tim pembela yang terdiri dari Amir Syamsuddin, Mega Budiman, dan Amiruddin Isa. Tapi, menurut kelompok Sutomo, pada akhir Februari seorang anggotanya, Moh. Dino Laya, didatangi Bambang Tri T.W. Kaffar dan Ishac Lauwerisa yang menawar kan kerja sama memberikan bantuan hukum kepada Wuisan. Kerja sama itu, kata mereka, berupa membuat laporan ke Kapolri tentang kurangnya barang-barang bukti yang diserahkan polisi kepada kejaksaan dan dianggap merugikan kepentingan terdakwa. Untuk itu, pihak BBH membuat surat kuasa Wuisan untuk tiga orang pengacara BBH, Sutomo, Herry Santoso, dan Dino Laya, serta Bambang Tri T.W. Kaffar. Sebagai imbalannya, Wuisan membayar Rp 2 juta, setelah surat ditandatangani. "Waktu itu saya membayarnya kontan -- tidak pakai cek giro," kata Wuisan, beberapa waktu lalu kepada TEMPO. Ternyata, dua hari kemudian, keempat pengacara Wuisan itu menandatangani pula surat pernyataan yang menghebohkan tadi. Dalam surat pernyataan di atas meterai disebutkan bahwa keempat pengacara itu akan membantu Wuisan untuk memperoleh keputusan bebas murni dari hakim. Pembayarannya akan dilakukan bertahap: Rp 10 juta setelah pernyataan itu dibuat, Rp 30 juta setelah turunnya surat dari Ketua Mahkamah Agung dan pejabat Departemen Kehakiman, Rp 30 juta setelah jaksa menuntut bebas murni, serta Rp 40 juta sesudah majelis hakim menjatuhkan vonis. Tapi surat yang diberi kode "sangat rahasia" itu, kata Sutomo, hanyalah dimaksudkan untuk membagi honorarium bila Wuisan menang di persidangan. Sebab, di antara empat pengacara itu ada seorang yang bukan anggota BBH, yaitu Bambang Tri. "Jadi, surat itu dibuat agar nanti tidak ada keributan, dan hanya untuk kepentingan intern dan karena itu sangat rahasia," katanya. Bahkan, karena ia ragu-ragu isi surat itu akan bocor ke luar, katanya, dua hari kemudian ia memerintahkan surat asli itu dibakar oleh anggota-anggotanya. Tapi, entah dari mana, surat itu belakangan tersiar luas. Para petinggi hukum pun menaruh perhatian terhadap isu "mafia peradilan" yang meledak menjelang Lebaran itu. Ketua Mahkamah Agung, Ali Said, kepada wartawan sempat menyebutkan tindakan kelompok advokat itu tidak masuk akal. Rekannya, Menteri Kehakiman Ismail Saleh, selain meminta Ikadin menjernihkan soal itu, juga menyerahkan penyidikan kasus itu ke kejaksaan. Sebab itu, organisasi advokat, Ikadin kemudian mengumumkan akan menyelesaikan persoalan itu di Dewan Kehormatannya. Tapi, sebelum Dewan sempat bersidang, Dewan Kehormatan BBH -- organisasi tempat Sutomo berasal -- telah lebih dahulu mengadili ketiga anggotanya. Majelis Dewan Kehormatan BBH yang diketuai Kabul Arifin, pensiunan hakim agung mengumumkan tentang tidak benarnya isu mafia peradilan tadi. Tapi majelis itu menganggap tindakan Sutomo menandatangani surat -- yang seakan-akan menjamin kliennya memenangkan perkara -- itu tidak layak dan melanggar etik advokat. Karena itu Sutomo bersama Herry Santoso mendapat peringatan keras. Sementara itu, rekannya, Dino Laya, diskors selama 6 bulan. Tapi Dewan Kehormatan Ikadin ternyata tidak menggubris keputusan organisasi BBH itu -- yang sebagian besar anggotanya terdiri dari purnawirawan ABRI. Salah seorang anggota DK DPP Ikadin menganggap keputusan DK BBH itu tidak sah. "Sebab, sejak semula sudah diakui bahwa Ikadin sebagai satu-satunya organisasi advokat," ujar anggota DK Ikadin itu. Sebab itu, DK Ikadin tetap merencanakan akan mengadili Sutomo. Panggilan DK DPP Ikadin itu dianggap para pembela Sutomo, yang terdiri dari R.O. Tambunan, Budhi Soetrisno, Amin Arioso, Ali Amangku. Bugi Supeno, A.B. Lubis, dan Purbadi Hardjoprajitno, tidak tepat: karena perkara sudah diselesaikan DK BBH. Bahkan Pengurus Harian BBH, akhir bulan lalu, mengeluarkan surat perintah kepada Sutomo agar dia tidak mematuhi perintah DK Ikadin dan bahkan diperintahkan pula mengundurkan diri dari wadah tunggal advokat itu. Perintah itu dilaksanakan Sutomo. Pekan lalu, ia resmi keluar dari Ikadin. Menurut Sutomo, yang tak lain pendiri Ikadin, organisasi advokat itu tidak lagi melindunginya sebagai anggota. Bahkan Ketua Umum Ikadin Harjono, katanya, melalui pers telah menuduhnya sebagai "mafia peradilan". "Itu sangat menyakitkan dan menjengkelkan -- saya meragukan obyektivitas mereka. Sebab itu, saya keluar. Cacing saja kalau diinjak-injak tentu akan berontak," kata Sutomo, melontarkan kekesalannya. Toh, DK DPP Ikadin bersikukuh tetap akan mengadili dan memutuskan perkara Sutomo itu, pekan ini -- walau tanpa "terdakwa". K.I., Laporan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini