Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan sistem proporsional tertutup dalam pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Artinya, putusan perkara No. 114/PUU-XIX/2022 yang dibacakan Anwar Usman pada Kamis, 15 Juni 2023 tentang Pemilu itu bakal tetap dilakukan secara terbuka. Lantas, apa alasan MK tolak sistem proporsional tertutup?
Alasan MK Tolak Sistem Proporsional Tertutup
Gugatan terhadap sistem proporsional terbuka diajukan oleh kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Demas Brian Wicaksono, politikus Partai Nasional Demokrat (NasDem), dan empat kolega lainnya sejak November 2022. Akhirnya, pada Kamis, 15 Juni 2023, Ketua MK Anwar Usman menetapkan Pemilu tetap terjadi secara terbuka dengan pertimbangan berikut.
1. Seluruh Sistem Pemilu Berpotensi Jadi Praktik Politik Uang
Menurut Wakil Ketua MK Saldi Isra, baik sistem proporsional terbuka maupun tertutup sama-sama berpotensi menimbulkan politik uang (money politics). Selain itu, keduanya juga berpeluang menghadirkan tindak pidana korupsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Berkenaan dengan dalil a quo MK berpendapat, pilihan terhadap sistem Pemilu apa pun sama-sama berpotensi terjadinya praktik politik uang,” kata Isra saat membacakan putusan di Gedung MK, Kamis (15/06/2023).
2. Sistem Proporsional Terbuka Tak Melemahkan Parpol
MK memastikan gelaran Pemilu 2024 masih menggunakan sistem proporsional terbuka. Dalam pertimbangannya, majelis hakim menilai bahwa sistem terbuka tidak serta merta melemahkan peran partai politik (parpol).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Partai politik tetap mempunyai peran sentral dalam menentukan serta memilih calon anggota DPR/DPRD yang dipandang bisa mewakili kepentingan, ideologi, rencana, dan juga program kerja partai yang bersangkutan,” ujar Isra.
3. Sistem Pemilu Terbuka Lebih Sesuai UUD 1945
Dikutip dari mkri.id, MK berpandangan bahwa Pemilu secara terbuka lebih dekat kepada sistem yang diinginkan oleh Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Namun, secara konseptual dan praktikal, sistem Pemilu apa pun termasuk sistem distrik sekalipun memiliki kelebihan dan kekurangannya masing. Oleh karena itu, sebagai pilihan pembentukan UU tetap terbuka kemungkinan disesuaikan dengan dinamika serta kebutuhan penyelenggaraan.
4. Sistem Terbuka Mendorong Caleg Bersaing Sehat
Alasan MK tolak sistem proporsional tertutup karena Pemilu terbuka dinilai menciptakan atmosfer persaingan sehat di antara kandidat dalam memperoleh suara. Calon anggota legislatif (caleg) harus berusaha mendapatkan kursi di lembaga perwakilan dengan meningkatkan kualitas kampanye dan program kerja mereka.
“Dalam sistem ini (proporsional terbuka), pemilih memiliki kebebasan untuk menentukan calon anggota legislatif yang dianggap paling mewakili kepentingan dan aspirasi. Hal ini menciptakan hubungan lebih dekat antara pemilih dengan calon wakil rakyat,” jelas Hakim Konstitusi Suhartoyo.
5. Secara Terbuka, Partisipasi Langsung dari Masyarakat
Lebih lanjut, kata Suhartoyo, kelebihan lain dari sistem proporsional terbuka adalah pemilih bisa berpartisipasi langsung dalam mengawasi wakil masyarakat di lembaga perwakilan. Pemilih diberi kesempatan untuk melibatkan diri untuk mengamati tindakan dan keputusan yang diambil pada wakil. Sehingga dinilai mampu meningkatkan akuntabilitas dan transparansi dalam sistem politik.
6. Proporsional Terbuka Lebih Demokratis
Dalam paparannya, Hakim Mahkamah Konstitusi Suhartoyo juga menyebut bahwa Pemilu terbuka lebih demokratis karena sebagai representasi politik yang didasarkan pada jumlah suara. Sehingga partai politik atau caleg akan mendapatkan kesempatan lebih adil dalam hal dukungan publik. Hal tersebut mendorong inklusivitas politik, mengakomodasi kepentingan masyarakat, dan mencegah dominasi satu kelompok dalam pemerintahan.
7. Sistem Proporsional Tertutup Berpeluang Jadi Nepotisme Politik
Alasan MK tolak sistem proporsional tertutup yang diwakili Suhartoyo, juga beranggapan bahwa pemilih dalam hal itu masyarakat, memiliki ruang terbatas untuk menentukan calon anggota DPR/DPRD. Masyarakat tidak mempunyai kewenangan secara langsung untuk memilih. Sehingga sistem tertutup berpotensi menyebabkan nepotisme politik pada internal parpol.
Menurutnya, parpol akan cenderung mendukung calon dari keluarga maupun lingkaran terdekat tanpa mempertimbangan kualitas dan kompetensi secara objektif. Praktik nepotisme tersebut dapat merusak prinsip demokrasi dan menurunkan mutu anggota lembaga legislatif.
MELYNDA DWI PUSPITA