INILAH ekor penemuan "harta karun", 73 batang emas yang
ditemukan di dasar laut Selat Malaka. Pertengahan bulan lalu
Mahkamah Militer Tinggi Sumatera/Kalimantan Barat mempidana
Mayor (L) Koesmadji Sastroningrat dengan hukuman penjara selama
dua tahun.
Bekas Asisten Intel Daeral I Belawan tersebut juga dinyatakan
dipecat dari ketentaraan. Mahkamah yang diketuai Brigjen
Syafiar, mempersalahkannya menggelapkan barang bukti
penyelundupan. Yaitu sebagian besar emas yang ditemukan di Selat
Malaka hampir 4 tahun silam.
Mahkamah membuktikan, dari 73 batang emas yang diangkat dari
laut, ternyata hanya 30 batang yang dilaporkan Koesmadji kepada
Pandaeral I, Laksamana Pertama Mardanus Aroef. Selebihnya telah
dijualnya seharga Rp 64,5 juta dan uangnya dipergunakan untuk
kepentingan sendiri. Uang itu mula-mula dititipkan kepada Jimmy
Chandra, Direktur PT Sari Tirta, belakangan sebagian diambil.
Yang masih tersisa pada Jimmy sekitar Rp 33 juta.
Tidak Menuntut
Pada sidang-sidang sebelumnya Koesmadji membantah semua tuduhan
Oditur Letkol Wan Amran. Ia, begitu pernah diakuinya, bersama
Kopral Sulaiman, bawahannya, memang mengambil sepotong kecil
emas yang dipatahkannya dari sebuah batangan. Tapi, katanya, itu
pun tidak untuk dimilikinya sendiri. Tapi dipersembahkan bagi
"si penunggu" laut.
Tapi siapakah sesungguhnya pemilik emas di dasar laut tersebut?
Sebuah kisah menarik diceritakan A Cui. Malam itu, 20 September
1976, kapal pukat harimau yang dinakhodai A Cui memasuki
perairan Pulau Kampai dalam perjalanan dari Lhok Seumawe ke
Pangkalan Brandan. Laut sebenarnya tenang-tenang saja. Tapi yang
mengagetkan A Cui adalah sebuah kapal motor kecil, tanpa lampu,
yang tiba-tiba saja muncul di haluannya.
Kapal A Cui sudah berusaha mengelak. Tapi tubrukan keras antara
kapal pukat harimau yang berbobot 15 ton dengan kapal motor
kecil itu tak dapat dihindari. Sekejap kapal motor tersebut
telah tenggelam. Syukur ketiga awaknya yang luka-luka dapat
diselamatkan. Dari merekalah diketahui, kapal gelap yang barusan
tenggelam bernama Flamboyan, berasal dari Malaysia tapi entah
hendak berlayar ke mana.
A Cui membawa awak Flamboyan ke sebuah rumah sakit di Pangkalan
Brandan. Setelah itu ia melapor kepada taukenya, Go Kek Keng
alias Sampah alias Abubakar. Pemilik kapal inilah yang bermaksud
menyelesaikan urusan tabrakan di Selat Malaka tersebut.
Tapi rupanya ketiga awak kapal I lamboyan tak mau merepotkannya
lebih lanjut. Mereka hanya minta pesangon Rp 40 ribu untuk bekal
ke Medan. Mereka juga tak berniat menuntut tenggelamnya kapal
motor yang entah siapa pemiliknya itu. Bahkan mereka juga segera
pergi --tanpa menunggu luka-luka mereka sembuh. Pesan mereka
singkat saja Sampah tak perlu melaporkan kejadian tabrakan itu
kepada polisi.
Sampah tentu saja menuruti pesan tersebut. "Saya senang mereka
tidak menuntut," kata Sampah kepada TEMPO belakangan. Tapi, yang
tak disangkanya. ternyata urusan malah jadi ruwet. Dua bulan
setelah peristiwa dengan Flamboyan, tiba-tiba muncul polisi
menyodorkan surat perintah penangkapan dan penahanan, bagi
Sampah dan A Cui. Tuduhannya pun gawat: melanggar undang-undang
subversi! "Lutut saya terasa lepas," begitu keluh Sampah ketika
itu.
Tak hanya tuduhannya yang berat. Petugas yang memeriksa
perkaranya pun tak tanggung-tanggung: Asisten Intel Kodak ll
Sum-Ut sendiri yang berpangkat kolonel. Dan ternyata, menurut
Sampah, pemeriksaan dimulai dengan pertanyaan di mana emas dari
kapal motor Flamboyan disembunyikannya?
Sampah balik bertanya "Apa di kapal itu ada emasnya, pak? "
ceritanya kemudian. Namun pertanyaannya itu membuatnya jadi
sakit. Dua orang Cina memukulinya--seorang bernama A Kau dan
yang lain Kim Seng, yang belakangan diketahui adalah tukang
kebun di rumah sang kolonel. "jangan main-main, di mana kamu
sembunyikan itu emas," sergah pemeriksa, sambil menyatakan kedua
si terperiksa tersebut dapat dihukum mati bila tidak mengaku.
"Saya jadi bingung," kata Sampah, "nabrak kapal motor saja kok
dapat dihukum mati, ya?"
Untunglah dalam penderitaannya itu Sampah dapat menghubungi
istrinya. Kemudian dapat pula minta bantuan Jimmy Chandra,
pemilik Sari Tirta yang biasa membeli hasil pukatan
kapal-kapalnya. Atas jasa Jimmy itulah Sampah dan A Cui hanya 31
hari di tangan polisi.
Tapi perkara belum selesai. Dari polisi, Sampah dan A Cui
selanjutnya diurus oleh AL. Mayor Koesmadji,ketika itu Asisten
Intel Daeral 1, berjanji akan membebaskan asal mereka berjanji:
harus membantu AL mencari Flamboyan -- baik bantuan tenaga
maupun biaya ekspedisi. Koesmadji juga berjanji, secara
tertulis, akan mengganti biaya bila ekspedisi berhasil di
samping memberikan sejumlah premi. Sampah kontan menyanggupinya.
"Pokoknya saya bisa Iepas dari hukuman mati," katanya.
Sampah memimpin sendiri ekspedisi. Untuk itu ia mengerahkan 11
kapal pukat harimau dan 80 orang penyelam. Tempat penyelaman
sebenarnya tak berat: hanya 1 mil dari pantai dan kedalaman laut
4 - 5 meter saja. Tapi sampai lima hari lima malam ekspedisi
Sampah belum juga berhasil. Pada 28 Desember 1976, setelah
Sampah mengerahkan 2 orang pawang laut, barulah Flamboyan yang
sudah tertimbun pasir dan lumpur dapat ditemukan. Kapal motor
kecil tersebut kemudian diseret ke pantai Perlis. Anggota Al.
vang sejak semula mengawasi ekspedisi segera melaporkan penemuan
Sampah tersebut kepada Koesmadji.
Hanya 29,479 kg.
Koesmadji datang ke Perlis sudah sial dengan 3 buah karung
terigu. Sebab, memang benar, dari palka Flamboyan ditemukan
sebuah peti kayu yang dikunci dengan 3 buah gembok besar. Isinya
73 batang emas yang masing-masing berbentuk segi empat, beratnya
1 kg, dan bercap 999.
Malam itu juga, menurut Sampah, Koesmadji membawa emas tersebut
ke Belawan. Dan sejak itu pula ia tak pernah dihubungi lagi.
Jangankan premi, katanya, biaya ekspedisi pun--sekitar Rp 10
juta --tak pernah diganti oleh AL. "Semua bon pengeluaran uang,"
kata Sampah, "sampai sekarang masih saya simpan." Tapi ia tak
berani menagih -- "salah-salah nanti saya ditangkap dan ditahan
lagi," ujar Sampah berusaha melupakan haknya.
Sampah baru teringat akan haknya itu lagi, ketika ia dipanggil
oditur militer, untuk dimintai kesaksian. Yaitu ketika Koesmadji
dituduh menggelapkan sebagian emas yang seharusnya menjadi
barang bukti penyelundupan.
Perkara. penyelundupan waktu itu memang sedang dibuka di
pengadilan. Yang mengherankan beberapa orang-yang tahu ikhwal
emas tersebut: mengapa jaksa hanya mengajukan barang bukti
29,479 kg dari 73 kg emas yang ditemukan dari Flamboyan? Hal itu
kemudian dipertanyakan oleh 3 orang anggota AL yang mengawasi
ekspedisi kepada panglimanya. Mereka, yang tak pernah mcnerima
premi seperti dijanjikan Koesmadji, kemudian juga membuat
pernyataan tertulis kepada Asisten Pengamanan KSAI..
Terbongkarlah skandal Flamboyan.
Koesmadji mengelak. la mengatakan sebagian emas yang
diperolehnya dari Flamboyan telah diserahkan kepada atasannya,
Pangdaeral Laks Mardanus dan beberapa pejabat lain, misalnya
Kolonel Goenarso, yang ketika itu menjabat Asisten Intel
Kowilhan I. Tapi kedua pejabat itu, dalam kesaksiannya secara
tertulis di mahkamah militer, membantah tuduhan Koesmadji.
Akan halnya Jimmy Chandra, yang terseret dalam perkara Koesmadji
dan segera diajukan ke pengadilan lain dengan tuduhan sebagai
tukang tadah, ikut serta memeriahkan perkara. Kepada Mahkamah ia
menyatakan memang menerima uang dari Koesmadji. Tapi, katanya
itu adalah pembeli saham PT Ruci Bhaskari Giri.
Dalam pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan oleh Dinas Hukum
Daeral I, lanjut Jimmy, hal itu sudah dikemukakannya. Tak jelas
adakah pemeriksa mempercayainya atau tidak. Yang pasti, katanya,
oknum Diskum tersebut memerasnya Rp l0 juta. Untuk itu Jimmy,
begitu tuturnya lebih lanjut, dapat memberikan bukti berupa giro
pembayaran dan sepucuk surat dari si pemeras.
Pernyataan Jimmy tersebut entah ada gunanya atau tidak bagi
keseluruhan penyelesaian perkara emas Flamboyan. Maka Jimmy
hanya bisa mengeluh "Inilah sulitnya berteman dengan pejabat . .
. saya memang kenal Mayor Koesmadji. Beberapa pejabat juga
sering ketempat saya . . . "
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini