Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

73 Batang Emas Flamboyan

Bekas asisten intel daeral i belawan, koesmadji di hukum penjara & dipecat karena terbukti menggelapkan barang bukti emas penyelundupan (dengan kapal motor flamboyan yang tenggelam diperairan p. kampai).(krim)

1 November 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INILAH ekor penemuan "harta karun", 73 batang emas yang ditemukan di dasar laut Selat Malaka. Pertengahan bulan lalu Mahkamah Militer Tinggi Sumatera/Kalimantan Barat mempidana Mayor (L) Koesmadji Sastroningrat dengan hukuman penjara selama dua tahun. Bekas Asisten Intel Daeral I Belawan tersebut juga dinyatakan dipecat dari ketentaraan. Mahkamah yang diketuai Brigjen Syafiar, mempersalahkannya menggelapkan barang bukti penyelundupan. Yaitu sebagian besar emas yang ditemukan di Selat Malaka hampir 4 tahun silam. Mahkamah membuktikan, dari 73 batang emas yang diangkat dari laut, ternyata hanya 30 batang yang dilaporkan Koesmadji kepada Pandaeral I, Laksamana Pertama Mardanus Aroef. Selebihnya telah dijualnya seharga Rp 64,5 juta dan uangnya dipergunakan untuk kepentingan sendiri. Uang itu mula-mula dititipkan kepada Jimmy Chandra, Direktur PT Sari Tirta, belakangan sebagian diambil. Yang masih tersisa pada Jimmy sekitar Rp 33 juta. Tidak Menuntut Pada sidang-sidang sebelumnya Koesmadji membantah semua tuduhan Oditur Letkol Wan Amran. Ia, begitu pernah diakuinya, bersama Kopral Sulaiman, bawahannya, memang mengambil sepotong kecil emas yang dipatahkannya dari sebuah batangan. Tapi, katanya, itu pun tidak untuk dimilikinya sendiri. Tapi dipersembahkan bagi "si penunggu" laut. Tapi siapakah sesungguhnya pemilik emas di dasar laut tersebut? Sebuah kisah menarik diceritakan A Cui. Malam itu, 20 September 1976, kapal pukat harimau yang dinakhodai A Cui memasuki perairan Pulau Kampai dalam perjalanan dari Lhok Seumawe ke Pangkalan Brandan. Laut sebenarnya tenang-tenang saja. Tapi yang mengagetkan A Cui adalah sebuah kapal motor kecil, tanpa lampu, yang tiba-tiba saja muncul di haluannya. Kapal A Cui sudah berusaha mengelak. Tapi tubrukan keras antara kapal pukat harimau yang berbobot 15 ton dengan kapal motor kecil itu tak dapat dihindari. Sekejap kapal motor tersebut telah tenggelam. Syukur ketiga awaknya yang luka-luka dapat diselamatkan. Dari merekalah diketahui, kapal gelap yang barusan tenggelam bernama Flamboyan, berasal dari Malaysia tapi entah hendak berlayar ke mana. A Cui membawa awak Flamboyan ke sebuah rumah sakit di Pangkalan Brandan. Setelah itu ia melapor kepada taukenya, Go Kek Keng alias Sampah alias Abubakar. Pemilik kapal inilah yang bermaksud menyelesaikan urusan tabrakan di Selat Malaka tersebut. Tapi rupanya ketiga awak kapal I lamboyan tak mau merepotkannya lebih lanjut. Mereka hanya minta pesangon Rp 40 ribu untuk bekal ke Medan. Mereka juga tak berniat menuntut tenggelamnya kapal motor yang entah siapa pemiliknya itu. Bahkan mereka juga segera pergi --tanpa menunggu luka-luka mereka sembuh. Pesan mereka singkat saja Sampah tak perlu melaporkan kejadian tabrakan itu kepada polisi. Sampah tentu saja menuruti pesan tersebut. "Saya senang mereka tidak menuntut," kata Sampah kepada TEMPO belakangan. Tapi, yang tak disangkanya. ternyata urusan malah jadi ruwet. Dua bulan setelah peristiwa dengan Flamboyan, tiba-tiba muncul polisi menyodorkan surat perintah penangkapan dan penahanan, bagi Sampah dan A Cui. Tuduhannya pun gawat: melanggar undang-undang subversi! "Lutut saya terasa lepas," begitu keluh Sampah ketika itu. Tak hanya tuduhannya yang berat. Petugas yang memeriksa perkaranya pun tak tanggung-tanggung: Asisten Intel Kodak ll Sum-Ut sendiri yang berpangkat kolonel. Dan ternyata, menurut Sampah, pemeriksaan dimulai dengan pertanyaan di mana emas dari kapal motor Flamboyan disembunyikannya? Sampah balik bertanya "Apa di kapal itu ada emasnya, pak? " ceritanya kemudian. Namun pertanyaannya itu membuatnya jadi sakit. Dua orang Cina memukulinya--seorang bernama A Kau dan yang lain Kim Seng, yang belakangan diketahui adalah tukang kebun di rumah sang kolonel. "jangan main-main, di mana kamu sembunyikan itu emas," sergah pemeriksa, sambil menyatakan kedua si terperiksa tersebut dapat dihukum mati bila tidak mengaku. "Saya jadi bingung," kata Sampah, "nabrak kapal motor saja kok dapat dihukum mati, ya?" Untunglah dalam penderitaannya itu Sampah dapat menghubungi istrinya. Kemudian dapat pula minta bantuan Jimmy Chandra, pemilik Sari Tirta yang biasa membeli hasil pukatan kapal-kapalnya. Atas jasa Jimmy itulah Sampah dan A Cui hanya 31 hari di tangan polisi. Tapi perkara belum selesai. Dari polisi, Sampah dan A Cui selanjutnya diurus oleh AL. Mayor Koesmadji,ketika itu Asisten Intel Daeral 1, berjanji akan membebaskan asal mereka berjanji: harus membantu AL mencari Flamboyan -- baik bantuan tenaga maupun biaya ekspedisi. Koesmadji juga berjanji, secara tertulis, akan mengganti biaya bila ekspedisi berhasil di samping memberikan sejumlah premi. Sampah kontan menyanggupinya. "Pokoknya saya bisa Iepas dari hukuman mati," katanya. Sampah memimpin sendiri ekspedisi. Untuk itu ia mengerahkan 11 kapal pukat harimau dan 80 orang penyelam. Tempat penyelaman sebenarnya tak berat: hanya 1 mil dari pantai dan kedalaman laut 4 - 5 meter saja. Tapi sampai lima hari lima malam ekspedisi Sampah belum juga berhasil. Pada 28 Desember 1976, setelah Sampah mengerahkan 2 orang pawang laut, barulah Flamboyan yang sudah tertimbun pasir dan lumpur dapat ditemukan. Kapal motor kecil tersebut kemudian diseret ke pantai Perlis. Anggota Al. vang sejak semula mengawasi ekspedisi segera melaporkan penemuan Sampah tersebut kepada Koesmadji. Hanya 29,479 kg. Koesmadji datang ke Perlis sudah sial dengan 3 buah karung terigu. Sebab, memang benar, dari palka Flamboyan ditemukan sebuah peti kayu yang dikunci dengan 3 buah gembok besar. Isinya 73 batang emas yang masing-masing berbentuk segi empat, beratnya 1 kg, dan bercap 999. Malam itu juga, menurut Sampah, Koesmadji membawa emas tersebut ke Belawan. Dan sejak itu pula ia tak pernah dihubungi lagi. Jangankan premi, katanya, biaya ekspedisi pun--sekitar Rp 10 juta --tak pernah diganti oleh AL. "Semua bon pengeluaran uang," kata Sampah, "sampai sekarang masih saya simpan." Tapi ia tak berani menagih -- "salah-salah nanti saya ditangkap dan ditahan lagi," ujar Sampah berusaha melupakan haknya. Sampah baru teringat akan haknya itu lagi, ketika ia dipanggil oditur militer, untuk dimintai kesaksian. Yaitu ketika Koesmadji dituduh menggelapkan sebagian emas yang seharusnya menjadi barang bukti penyelundupan. Perkara. penyelundupan waktu itu memang sedang dibuka di pengadilan. Yang mengherankan beberapa orang-yang tahu ikhwal emas tersebut: mengapa jaksa hanya mengajukan barang bukti 29,479 kg dari 73 kg emas yang ditemukan dari Flamboyan? Hal itu kemudian dipertanyakan oleh 3 orang anggota AL yang mengawasi ekspedisi kepada panglimanya. Mereka, yang tak pernah mcnerima premi seperti dijanjikan Koesmadji, kemudian juga membuat pernyataan tertulis kepada Asisten Pengamanan KSAI.. Terbongkarlah skandal Flamboyan. Koesmadji mengelak. la mengatakan sebagian emas yang diperolehnya dari Flamboyan telah diserahkan kepada atasannya, Pangdaeral Laks Mardanus dan beberapa pejabat lain, misalnya Kolonel Goenarso, yang ketika itu menjabat Asisten Intel Kowilhan I. Tapi kedua pejabat itu, dalam kesaksiannya secara tertulis di mahkamah militer, membantah tuduhan Koesmadji. Akan halnya Jimmy Chandra, yang terseret dalam perkara Koesmadji dan segera diajukan ke pengadilan lain dengan tuduhan sebagai tukang tadah, ikut serta memeriahkan perkara. Kepada Mahkamah ia menyatakan memang menerima uang dari Koesmadji. Tapi, katanya itu adalah pembeli saham PT Ruci Bhaskari Giri. Dalam pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan oleh Dinas Hukum Daeral I, lanjut Jimmy, hal itu sudah dikemukakannya. Tak jelas adakah pemeriksa mempercayainya atau tidak. Yang pasti, katanya, oknum Diskum tersebut memerasnya Rp l0 juta. Untuk itu Jimmy, begitu tuturnya lebih lanjut, dapat memberikan bukti berupa giro pembayaran dan sepucuk surat dari si pemeras. Pernyataan Jimmy tersebut entah ada gunanya atau tidak bagi keseluruhan penyelesaian perkara emas Flamboyan. Maka Jimmy hanya bisa mengeluh "Inilah sulitnya berteman dengan pejabat . . . saya memang kenal Mayor Koesmadji. Beberapa pejabat juga sering ketempat saya . . . "

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus