Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Gigitan Ular Buat Karta & Sengkon

Usaha pembebasan terpidana Karta & Sengkon, sedang diupayakan lembaga herziening/peninjauan kembali keputusan hakim sudah dicabut. Satu-satunya cara yang bisa ditempuh: mohon Grasi.

1 November 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KARENA di gigit ular, Sengkon dicurigai penduduk Bojongsari, Bekasi, sebagai pelaku pembunuhan dan perampokan keluarga Sulaiman di desa itu. Sebab, sehari sebelum itu di muka umum Sengkon bersumpah, "biarlah saya dipatuk ular, kalau saya yang membunuh suami istri Sulaiman." Ternyata malamnya Sengkon benar-benar dipatuk ular. Kecurigaan penduduk inilah yang menjadi dasar bagi polisi untuk menangkap Sengkon. Cerita itu diungkapkan kembali, oleh Karta (45 tahun), teman Sengkon yang juga dihukum dalam perkara pembunuhan itu. Karta, ditangkap polisi ketika sedang sakit, tiga hari setelah Sengkon ditangkap, 11 Desember 1974. Keduanya dituduh meiakukan pembunuhan dan perampokan terhadap suami istri Sulaiman, yang terjadi sebulan sebelum penangkapan . Karena tidak merasa bersalah Karta dan Sengkon menolak tuduhan itu. Tetapi polisi tidak mau terima--Sengkon menurut Karta sempat dipukuli --dan keduanya dipaksa untuk menandatangani berita acara pemeriksaan. Desember 1977, Sengkon dijatuhi hukuman 12 tahun penjara oleh Pengadilan Bekasi, sementara Karta mendapat ganjaran 7 tahun penjara. Ketika ditemui di LPK Cipinang minggu lalu, Karta masih menyesalkan keputusan hakim itu. Sebab ada tiga saksi yang membenarkan Karta sedang jakit ketika perampokan terjadi. Tetapi hakim tetap mcnghukumnya. Bapak Dari 12 orang anak--tertua 17 tahun itu mengatakan, sekarang keluarganya sudah porak poranda, dan cerai berai. "Kalaupun sekarang bebas, saya tidak tahu pulang ke mana, karena kebun dan rumah sudah terjual untuk biaya perkara ini," ujar Karta kepada Albert Hasibuan dari DPR yang menjenguknya. Nasib yang menimpa temannya, Sengkon, lehih parah lagi. Saat ini Sengkon tergeletak dalam keadaan gawat di rumah sakit LPK Cipinang, akibat penyakit TBC yang dideritanya. Nasib kedua petani, nyaris tidak akan terbuka lagi, kalau seorang famili Sengkon, Gunel (35 tahun) tidak masuk LPK Cipinang karena mencuri Gunel tanpa disangka, mengaku melakukan perampokan terhadap keluarga Sulaiman. Pengakuan ini tidak disia-siakan oleh Karta. Melalui seorang keluargnya di luar penjara, informasi itu dilaporkan Kepada polisi. Akhirnya Gunel dihadapkan ke Pengadilan Bekasi, tempat Karta dan Sengkon dihukum. Gunel mengaku kesalahannya sebagai pembunuh suami istri Sulaiman. Dan 15 Oktober 1980 dijatuhi hukuman 12 tahun penjara, sementara dua temannya yang membantu perampokan disertai pembunuhan itu, diganjar 10 tahun dan6 tahun penjara. Gunel (35 tahun), suami dari dua orang istri dengan 10 orang anak, tidak menyesali pengakuannya. "Saya kasihan kepada Sengkon, karena dia tidak tahu menahu soal sebenarnya," ujar Gunel, kepada TEMPO di LPK Cipinang. Diakuinya saudara sepupunya yaitu Sengkon, memang sering tersangkut kasus kriminal, tetapi dalam perampokan keluarga Sulaiman, Sengkon tak turut campur. Tidak Naik Banding Terungkapnya pelaku sebenarnya dalam kasus perampokan dan pembunuhan keluarga Sulaiman, ternyata sampai saat ini belum menolong nasib buruk yang menimpa Karta dan Sengkon. Sebab keputusan untuk mereka sudah mempunyai kekuatan pasti--karena tidak ada yang banding terhadap putusan Pengadilan Negeri Bekasi. "Habis saya buta hukum pak, tidak tahu apa itu banding," kata Karta. Ketika putusan hakim diucapkan, ia menyatakan pikir-pikir, dan kemudian tidak mau menandatangani pernyataan Menerima Hukuman yang disodorkan jaksa padanya. Albert Hasibuan, pengacara dan anggota DPR dari Komisi lll, yang berniat membantu Karta dan Sengkon, memang belum melihat upaya hukum untuk membantu, kecuali minta grasi kepada Presiden. Sebab lembaga herzeining -peninjauan kembali keputusan hakim yang berkekuatan pasti sudah dicabut Mahkamah Agung, sepuluh tahun yang lalu Sementara penggantinya di UU Pokok Kekuasaan Kehakiman, belum ada peraturan pelaksanaannya. "Akan tetapi dalam pertemuan saya dengan Menteri Mudjono sudah disepakati, untuk keadilan, prosedur hukum harus mundur," ujar Albert Hasibuan. Kesepakatan itu akan disampaikan pula kepada Mahkamah Agung. Lembaga herzeining yang selama ini jarang disebut, kembali menjadi masalah karena adanya kasus Karta dan Sengkon ini. Prof. R. Soebekti, bekas Ketua MA membenarkan, dia yang mencabut Iembaga itu, setelah menghidupkannya pada 1969. "Sebab waktu itu ada paket undang-undang di DPR yang memuat lembaga itu," kata R. Soebekti: Tapi kemudian ternyata paket itu tidak kunjung keluar, sampai Pemilu 1971. Satu-satunya cara yang bisa ditempuh sekarang ini menurut Soebekti, "hakim yang mengadili atau Mahkamah Agung memohon grasi kepada Kepala Negara."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus