KARENA di gigit ular, Sengkon dicurigai penduduk Bojongsari,
Bekasi, sebagai pelaku pembunuhan dan perampokan keluarga
Sulaiman di desa itu. Sebab, sehari sebelum itu di muka umum
Sengkon bersumpah, "biarlah saya dipatuk ular, kalau saya yang
membunuh suami istri Sulaiman." Ternyata malamnya Sengkon
benar-benar dipatuk ular. Kecurigaan penduduk inilah yang
menjadi dasar bagi polisi untuk menangkap Sengkon.
Cerita itu diungkapkan kembali, oleh Karta (45 tahun), teman
Sengkon yang juga dihukum dalam perkara pembunuhan itu. Karta,
ditangkap polisi ketika sedang sakit, tiga hari setelah Sengkon
ditangkap, 11 Desember 1974. Keduanya dituduh meiakukan
pembunuhan dan perampokan terhadap suami istri Sulaiman, yang
terjadi sebulan sebelum penangkapan .
Karena tidak merasa bersalah Karta dan Sengkon menolak tuduhan
itu. Tetapi polisi tidak mau terima--Sengkon menurut Karta
sempat dipukuli --dan keduanya dipaksa untuk menandatangani
berita acara pemeriksaan. Desember 1977, Sengkon dijatuhi
hukuman 12 tahun penjara oleh Pengadilan Bekasi, sementara Karta
mendapat ganjaran 7 tahun penjara.
Ketika ditemui di LPK Cipinang minggu lalu, Karta masih
menyesalkan keputusan hakim itu. Sebab ada tiga saksi yang
membenarkan Karta sedang jakit ketika perampokan terjadi. Tetapi
hakim tetap mcnghukumnya. Bapak Dari 12 orang anak--tertua 17
tahun itu mengatakan, sekarang keluarganya sudah porak poranda,
dan cerai berai. "Kalaupun sekarang bebas, saya tidak tahu
pulang ke mana, karena kebun dan rumah sudah terjual untuk biaya
perkara ini," ujar Karta kepada Albert Hasibuan dari DPR yang
menjenguknya. Nasib yang menimpa temannya, Sengkon, lehih parah
lagi. Saat ini Sengkon tergeletak dalam keadaan gawat di rumah
sakit LPK Cipinang, akibat penyakit TBC yang dideritanya.
Nasib kedua petani, nyaris tidak akan terbuka lagi, kalau
seorang famili Sengkon, Gunel (35 tahun) tidak masuk LPK
Cipinang karena mencuri Gunel tanpa disangka, mengaku melakukan
perampokan terhadap keluarga Sulaiman. Pengakuan ini tidak
disia-siakan oleh Karta. Melalui seorang keluargnya di luar
penjara, informasi itu dilaporkan Kepada polisi. Akhirnya Gunel
dihadapkan ke Pengadilan Bekasi, tempat Karta dan Sengkon
dihukum. Gunel mengaku kesalahannya sebagai pembunuh suami istri
Sulaiman. Dan 15 Oktober 1980 dijatuhi hukuman 12 tahun penjara,
sementara dua temannya yang membantu perampokan disertai
pembunuhan itu, diganjar 10 tahun dan6 tahun penjara.
Gunel (35 tahun), suami dari dua orang istri dengan 10 orang
anak, tidak menyesali pengakuannya. "Saya kasihan kepada
Sengkon, karena dia tidak tahu menahu soal sebenarnya," ujar
Gunel, kepada TEMPO di LPK Cipinang. Diakuinya saudara sepupunya
yaitu Sengkon, memang sering tersangkut kasus kriminal, tetapi
dalam perampokan keluarga Sulaiman, Sengkon tak turut campur.
Tidak Naik Banding
Terungkapnya pelaku sebenarnya dalam kasus perampokan dan
pembunuhan keluarga Sulaiman, ternyata sampai saat ini belum
menolong nasib buruk yang menimpa Karta dan Sengkon. Sebab
keputusan untuk mereka sudah mempunyai kekuatan pasti--karena
tidak ada yang banding terhadap putusan Pengadilan Negeri
Bekasi. "Habis saya buta hukum pak, tidak tahu apa itu banding,"
kata Karta. Ketika putusan hakim diucapkan, ia menyatakan
pikir-pikir, dan kemudian tidak mau menandatangani pernyataan
Menerima Hukuman yang disodorkan jaksa padanya.
Albert Hasibuan, pengacara dan anggota DPR dari Komisi lll, yang
berniat membantu Karta dan Sengkon, memang belum melihat upaya
hukum untuk membantu, kecuali minta grasi kepada Presiden. Sebab
lembaga herzeining -peninjauan kembali keputusan hakim yang
berkekuatan pasti sudah dicabut Mahkamah Agung, sepuluh tahun
yang lalu Sementara penggantinya di UU Pokok Kekuasaan
Kehakiman, belum ada peraturan pelaksanaannya. "Akan tetapi
dalam pertemuan saya dengan Menteri Mudjono sudah disepakati,
untuk keadilan, prosedur hukum harus mundur," ujar Albert
Hasibuan. Kesepakatan itu akan disampaikan pula kepada Mahkamah
Agung.
Lembaga herzeining yang selama ini jarang disebut, kembali
menjadi masalah karena adanya kasus Karta dan Sengkon ini. Prof.
R. Soebekti, bekas Ketua MA membenarkan, dia yang mencabut
Iembaga itu, setelah menghidupkannya pada 1969. "Sebab waktu itu
ada paket undang-undang di DPR yang memuat lembaga itu," kata R.
Soebekti: Tapi kemudian ternyata paket itu tidak kunjung keluar,
sampai Pemilu 1971. Satu-satunya cara yang bisa ditempuh
sekarang ini menurut Soebekti, "hakim yang mengadili atau
Mahkamah Agung memohon grasi kepada Kepala Negara."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini